Linghu Qiu yang pertama masuk gerbang bulan beringsut memberi jalan, membuat gestur mengundang ke arah luar.
Kedua orang di dalam paviliun menoleh mendengar suara, di bawah sinar bulan tampak seseorang mendekat, tak lain adalah Pei Sanniang.
Sikap Linghu Qiu terhadap Pei Sanniang bisa dibilang sangat bersulang. Sebelumnya saat bertemu Pei Sanniang tidak sekaliber ini sopannya, terlihat tidak mudah mengundang orang ini datang.
Mencari orang sampai larut malam baru bisa mengundangnya datang, memang tidak mudah. Dia tidak bisa langsung menghubungi istana, juga tidak bisa masuk ke dalam istana. Hanya bisa mencari Pintu Daqiu terlebih dahulu, menemukan rekan seperguruan Pei Sanniang, meminta bantuan rekan tersebut untuk menghubungi Pei Sanniahg, baru bisa memanggil Pei Sanniang keluar dari istana untuk bertemu.
"Sajikan teh!" Niu Daomei memiringkan kepala sambil berkata, dalam hatinya agak lega. Kedatangan Pei Sanniang berarti separuh pekerjaan sudah berhasil.
"Siap!" Hei Mudan mengibarkan roknya, bergegas kembali untuk mempersiapkan teh.
Sementara Niu Daomei sudah berjalan cepat menyambut, memberi hormat dengan tangan tergenggam, "Mengganggu kakak pertama di tengah malam ini adalah kesalahanku."
Pei Sanniang dengan wajah datar berkata, "Kalau ada urusan cepatlah bicara!"
"Mana mungkin tamu terhormat berdiri bicara di sini. Silakan masuk!" Niu Daomei menyingkir memberi jalan, mengangkat tangan mengundang.
Pei Sanniang meliriknya, tanpa sungkan melangkah besar menuju dalam rumah.
Niu Daomei yang menyusul kemudian melihat Linghu Qiu, mengatupkan tangan sebagai ucapan terima kasih.
Linghu Qiu menggelengkan kepala tersenyum getir. Rasa meminta bantuan memang tidak enak, baru saja dicemooh. Orang bertanya padanya, apakah benar merasa punya harga diri... Syukurlah, dengan mengesampingkan gengsi, akhirnya bisa mengundang orang datang.
Ketiga orang masuk bergiliran. Hei Mudan menyajikan teh. Pei Sanniang yang duduk tegak tidak menunjukkan niat untuk minum teh, kembali bertanya, "Cepatlah bicara, aku masih ada urusan. Jika ingin meminta Yang Mulia menahan kekuatan, kalian salah orang. Aku tidak punya harga diri sebesar itu."
"Baiklah," Niu Daomei tak mau berpanjang lebar. Dari lengan bajunya, dia meraba selembar kertas dan mendorongnya ke hadapan sang wanita. "Kakak Pei, mungkin lebih baik melihat ini dulu."
"Apa ini?" Pei Sanniang bertanya.
Niu Daomei: "Hal yang memaksaku ke jalan buntu!"
Selembar kertas mengancam nyawa? Keraguan muncul di hati Pei Sanniang. Tangannya meraih kertas itu dan mulai memeriksa.
Linghu Qiu penasaran, menjulurkan lehernya. Dia mengenali dokumen tersebut sebagai surat rahasia dari Sekte Giok Surgawi yang ditujukan pada Niu Daomei oleh Feng Entai. Namun maksud di balik penunjukkan ini pada Pei Sanniang masih menjadi teka-teki baginya.
Setelah membaca isi surat, Pei Sanniang mulai memahami dilema Niu Daomei. Sebagai saksi mata malam itu, dia tahu penerimaan Niu atas tugas berisiko itu semata karena Feng Entai. Meski telah melapor demikian pada Kaisar, kemarahan sang penguasa atas pelecehan Putri Mahkota tetap tak terbendung. Tak satu pun peran Sekte Giok Surgawi disebut dalam pengumuman resmi.
Sepanjang perjalanan ke pegunungan salju, Niu Daomei masih menjaga harga dirinya. Meski ada ikatan pertemanan, takhta kekaisaran tak bisa diganggu gugat. Dalam hati, Pei Sanniang menghela napas. Ini urusan di luar tanggung jawabnya. Hubungan mereka pun tak cukup erat untuk mempertaruhkan nyawa demi membelanya. Sebagai anggota junior sekte, pengaruhnya terbatas. Apalagi sikap resmi sektenya sendiri masih ambigu dalam kasus ini.
"Apa hubungannya denganku?" Pei Sanniang meletakkan kertas itu dan mendorongnya kembali.
Niu Daomei: "Aku pernah menghubungi sektemu..."
Pei Sanniang memotong: "Aku dengar. Sikap sektemu seharusnya sudah kau ketahui. Untuk urusan yang sudah diputuskan sektemu, apa gunanya kau mencariku?"
Niu Daomei: "Kak Pei, sektemu tidak memberiku celah hidup, Sekte Giok Surgawi tidak memberiku jalan keluar, Yang Mulia Kaisar pun tidak mengizinkanku hidup. Dalam situasi seperti ini, orang luar juga takkan memberiku kesempatan. Saya sudah tidak punya jalan keluar, menurutmu apa yang harus kulakukan?"
Pei Sanniang terdiam sejenak, akhirnya menghela napas: "Saudara Niu, kita pernah berkenalan dan aku memang berutang budi padamu. Bukan aku tidak mau menolong, seandainya bisa membantumu pasti takkan kuragukan. Tapi kau sendiri tahu, dalam hal ini sungguh aku tidak mampu membantumu."
Niu Daomei: "Aku mengundang Kak Pei ke sini hanya berharap Kakak bisa menyampaikan maksudku pada Yang Mulia Kaisar."
Pei Sanniahg: "Perlukah? Jangan marah dengar ini - Baginda sama sekali tidak menganggapmu penting! Beliau adalah penguasa visioner yang tegas. Kau pasti sudah paham apa yang ingin dilakukannya. Perkataanmu tidak akan didengarnya, Beliau juga takkan mudah mengubah keputusan hanya karena perkataan seseorang. Jun Wu Xi Yan! Bagaimana mungkin titah kerajaan diubah sembarangan? Perintah yang sudah dikeluarkan takkan ditarik kembali!"
Niu Daomei: "Tunggu Kakak dengar dulu penjelasanku sebelum menolak."
Pei Sanniang mengambil cangkir teh: "Karena sudah datang, tak ada salahnya mendengarmu!"
"Kakak Pei yang baik hati!" Niu Daomei pertama-tama memberi hormat dengan tangan tergabung, lalu berkata dengan serius: "Kakak Pei, situasi saya sudah Kakak ketahui. Pesan yang saya sampaikan lewat Kakak sangat sederhana: Tolong sampaikan pada kaisar bahwa saya bersedia bekerja sama dengan maksudnya untuk mengobarkan badai darah ini. Yang saya minta hanyalah belas kasihannya untuk memberi saya jalan keluar. Saya hanya ingin menyelamatkan nyawa!"
Pei Sanniang yang telah menyeruput beberapa teguk teh meletakkan cangkirnya, bertanya: "Bagaimana caranya memberi jalan keluar?"
Niu Daomei: "Saya tidak bisa mengubah keputusan Sekte Daqiu, Aliran Xuanbing, maupun Sekte Tianhuo. Tapi kaisar bisa. Asalkan kaisar memberi tahu ketiga sekte ini—ini bukan perkara besar—pasti mereka akan menghargai permintaan kaisar. Biarkan salah satu dari tiga sekte ini yang mengatur lelang untuk saya. Saya akan menjual semua barang yang saya pegang, dan uang hasil penjualannya akan saya serahkan seluruhnya kepada sekte yang membantu saya, tidak ambil satu wen pun."
"Lelong?" Pei Sanniang menggelengkan kepala: "Menurutmu siapa yang berani terang-terangan membeli barang ini?"
Niu Daomei: "Makanya perlu kerja sama dari anggota tiga sekte. Pilih lokasi yang tepat—tempat yang memungkinkan pembeli pergi diam-diam. Asal syaratnya memadai, pasti ada yang mau menyamar dan menawar. Dengan begitu barang saya bisa terjual, dan saya pun bisa kabur menyelamatkan diri!"
Pei Sanniang: "Menurutmu apakah pentingnya dirimu sampai-sampai Yang Mulia harus repot seperti ini? Ada cara yang lebih mudah kenapa harus cari masalah? Menurutmu Yang Mulia mau bertele-tele untukmu?"
Niu Daomei mengucapkan kata demi kata dengan tegas: "Saya sudah tidak punya pilihan lain!"
Pei Sanniang: "Ada tidaknya jalan mundur bukanlah urusan Yang Mulia. Kau harus paham, Yang Mulia takkan peduli apakah kau punya jalan mundur atau tidak. Kalau tidak, kenapa sampai begini keadaannya?"
Niu Daomei meraih surat rahasia di meja lalu mengibaskannya, "Karena itu tolong sampaikan pada kaisar: Jika pilihanku hanya jalan buntu, maka terpaksa aku harus mempermalukan Yang Mulia!"
"Dengan kemampuanmu?" Pei Sanniang tersenyum sinis, "Saudara Niu, jangan-jangan kau terlalu menganggap remeh diri sendiri?"
Niu Daomei membentak dengan lantang: "Bagaimana jika aku menghancurkan dokumen ekspor 100.000 kuda perang ini di depan umum?"
Pei Sanniang: "Itu sama saja mencari maut!"
Niu Daomei mengangkat kedua tangan: "Aku sudah tak punya jalan mundur. Mau ke kiri-kanan sama-sama mati. Apa lagi pilihanku? Haruskah aku bekerja sama dengan kaisar untuk membunuh diriku sendiri? Atau kaisar mau memaksaku mati sambil memujinya? Saat sekarat pun tak boleh menggigitnya? Benar, aku tak bisa menggigitnya. Tapi setidaknya bisa menjadikan metode liciknya sebagai bahan tertawaan! Kaisar Qi jadi bahan olok-olokan, pasti harga dirinya tercabik!"
Pei Sanniang mengernyitkan kening.
Linghu Qiu tersadar, matanya tertancap pada surat rahasia itu. Akhirnya ia paham maksud Niu Daomei memperlihatkan surat ini. Dalam hati ia berdecak kagum: Pemuda ini benar-benar luar biasa! Meski terpojok di ujung tanduk, masih bisa menemukan peluang hidup. Inilah sesungguhnya prinsip 'Menempatkan Diri dalam Bahaya untuk Bertahan Hidup'!
Pei Sanniang kembali meneguk teh perlahan beberapa kali, merenung sejenak sebelum berkata pelan: "Maksud Yang Mulia sudah jelas. Jika tiga sekte menyiapkan tempat lelang yang memadai, memberi kesempatan orang membawa barang lelang kabur, bukankah tujuan Yang Mulia akan gagal? Tidakkah ini sama saja mempermalukan beliau? Apa mungkin Yang Mulia harus mengingkari janjinya di depan mata dunia dengan membatalkan dokumen perbatasan itu? Jika begini, menurutmu apakah Yang Mulia masih perlu mengulurkan tangan padamu?"
Niu Daomei: "Karena aku bisa mengajukan strategi darurat ini, tentu sudah mempersiapkan solusi untuk Yang Mulia."
Pei Sanniang: "Coba jelaskan."
Niu Daomei: "Ketika di Kota Bintang Jatuh, aku pernah dikejar-kejar. Belakangan baru tahu ada burung Xunxiang yang bisa dilacak selama umpan wangi dipasang pada dokumen itu... Target akan terus terlacak, mungkin lebih aman daripada menyimpannya di tanganku yang berisiko dirampas. Dengan ini aku bisa selamat, tujuan Yang Mulia tercapai, dan dokumen 100.000 kuda perang bisa ditukar uang. Tiga keuntungan sekaligus, kenapa tidak? Kak Pei, ibukota Qi yang megah ini pasti bisa menyiapkan alat rekayasa sederhana ini, bukan?"
Linghu Qiu tersenyum tipis. Taktik pemerasan dan bujukan ini sungguh efektif. Pasti Hao Yuntu tak punya alasan menolak. Pantas sebelumnya dia bilang bisa membuat kaisar mengubah keputusan asal bertemu Pei Sanniang. Benar-benar strategi brilian, jalan keluar dari situasi buntu!
Meletakkan cangkir teh, Pei Sanniang berdiri, "Masih ada urusan lain? Kalau tidak, aku pulang dulu."
Niu Daomei ikut bangkit, memberi hormat sambil berkata: "Kakak Pei, nasibku menghindari ujian ini sepenuhnya bergantung padamu! Jika bisa lolos, di masa depan pasti kubalas budi!"
"Maksudmu aku paham, tapi malam ini belum bisa kusampaikan pesanmu."
"Mengapa?"
"Saat shichen begini, Yang Mulia seharusnya sudah beristirahat. Mengganggu tidak pantas. Besok pagi akan kusampaikan, tapi tak bisa jamin Yang Mulia mau menyetujui."
"Cukup sudah rasa syukurku jika Kakak Pei mau menyampaikan pesan. Tak berani mengharap lebih. Pasti Yang Mulia juga takkan tergesa-gesa bertindak malam ini."
"Besok pagi jika ada kabar akan kukabari. Jika aku tak datang... ini sudah batas kebaikanku. Saudara Niu, semoga Dewa melindungimu!" Pei Sanniang meninggalkan kata-kata itu dan pergi tanpa ragu.
Niu Daomei mengantar tamu hingga ke pintu gerbang.
Kembali ke kamar, Linghu Qiu menepuk bahu Niu Daomei sambil tertawa, "Adik sungguh ahli! Teknik bertahan hidup di ujung tanduk! Dengan ancaman bunuh diri mempermalukan Hao Yuntu, Pei Sanniang pasti melapor. Setelah tahu, Hao Yuntu takkan bisa menolak. Kini aku tak perlu lagi sibuk kabur!"
Hei Mudan mencebikkan bibir, matanya berbinar penuh kekaguman memandang Niu Daomei.
“Semoga saja!” Niu Daomei menunjukkan ekspresi merendah sambil menggelengkan kepala dan melambaikan tangan, tersenyum getir dengan wajah seolah terpaksa.
