Di mahkota pohon, dua sesepuh tertinggi yang menyaksikan pertarungan itu saling pandang setelah perkelahian usai.
Chun Xinliang bergumam bertanya: "Bukannya Niu Daomei masih dalam Tahap Fondasi? Kalaupun dia sudah mencapai kultivasi Pil Emas, bagaimana mungkin dia bisa menerima pukulan itu tanpa reaksi sama sekali? Jangan-jangan tingkat kultivasinya melebihi kita berdua?"
Ada alasan di balik keraguan ini. Membandingkan tingkat kultivasi bagaikan orang dewasa melawan anak kecil. Sekalipun anak kecil menubruk dengan sekuat tenaga, meski tak melukai, mustahil orang dewasa tetap diam kecuali tubuhnya sangat perkasa.
Tu Kuai bergumam, "Memang agak aneh. Nanti kita tanyakan ada apa sebenarnya."
Para anggota Gua Adamantium-Ungu yang menyaksikan di pinggir lapangan saling pandang. Ekspresi Yan Li sulit dibaca, mungkin sedang menahan tawa.
Durasi perkelahian sebenarnya singkat. Jika ingin disebut lama, hanya saat Niu Daomei bertahan dari hujaman bola-bola api sebelum membalas serangan. Begitu dia menghela napas dalam-dalam, menghunus pedang, dan membalas dengan telapak tangan, ujian pun berakhir dengan cepat.
Pertarungan ini berakhir secara mendadak. Mereka yang berpengalaman pasca peristiwa menyadari: kedua belah pihak menggunakan taktik menunggu kesempatan untuk mengakhiri pertarungan dalam satu gerakan.
Gong Linche memiringkan kepala dan berbisik ke telinga Yan Li: "Pakai bahan peledak?"
Yan Li paham maksud seniornya. Tanpa bahan peledak, mustahil Niu Daomei tak bereaksi sama sekali terhadap serangan solid Kun Linshu. Seberapa tinggi pun kultivasi Niu Daomei, tak mungkin mencapai tingkat yang tak masuk akal itu. Ini jelas ada yang tak beres.
"Sepertinya iya," balas Yan Li dengan suara rendah sambil mengangguk pelan.
Gong Linche kembali bergumam bertanya, "Tahu tidak obat apa yang digunakan?"
Yan Li: "Entah."
Gong Linche: "Kamu dekat dengannya, nanti cari cara menyelidiki."
"Hmm." Yan Li mengangguk halus, dia juga penasaran.
Qian Fucheng yang terpaku di luar lapangan, saat ini sebuah perasaan dingin menyergap. Begitu memikirkan berbagai akibat, seluruh tubuhnya linglung.
Phoenix api yang dicekik Yun Ji, melihat senior seperguruan yang terluka parah dan berada di bawah pedang lawan, tak kuasa menahan air mata mengalir membasahi wajah.
Bahkan orang luar pun menyadari kejanggalan, Kun Linshu yang berada di tengah situasi tentu juga tahu. Sikap acuh tak acuh Niu Daomei sebelumnya adalah taktik untuk memancing serangan lawan, menggunakan siasat satu jurus kemenangan.
Rasa sakit fisik sudah sama sekali tak dipedulikannya, dengan senyum sinis berkata: "Jika bukan karena pedang di tanganmu, mungkin aku takkan kalah."
Niu Daomei: "Kalah tetap kalah. Pria tak perlu mencari alasan untuk kegagalan. Kau sudah mengalami kecepatan pedangku, harusnya tahu - jika balasanku menggunakan pedang saat kau menyerang, nyawamu takkan tersisa. Saat itu juga kau akan kubantai."
Kun Linshu: "Berikan aku kesempatan lagi! Aku belum menunjukkan kekuatan sebenarnya. Masih ada taktik hebat yang belum kugunakan!"
Niu Daomei: "Masih perlukah? Sekarang, KALAH kau!"
Kun Linshu: "Aku hanya ingin menunjukkan seluruh kemampuanku dan bertarung sungguhan. Kekalahan seperti ini, aku tak rela!"
Niu Daomei balik bertanya: "Kau kira aku akan bertarung lagi denganmu?"
Kun Linshu badan + tulang gemetaran, reaksi dari keanehan dalam tubuh, "Kepala suku Niu, mohon, beri aku kesempatan lagi. Asal kepala suku bertarung sekali lagi denganku, menang atau kalah tetap akan kukanggap kekalahan, tidak boleh?"
Niu Daomei: "Boleh, aku bisa penuhi permintaanmu. Tapi aturan lama, kau tak punya kualifikasi untuk menawar syarat. Ingin kusanggupi, kau harus bayar dengan barang sebagai ganti rugi."
Kun Linshu agak girang, "Kepala suku Niu ingin apa?"
Niu Daomei mengarahkan dagu ke Phoenix api yang terkekang, "Dia, lihat itu? Cantik rupawan."
Kun Linshu melirik adik seperguruannya yang menangis membasahi wajah namun tak bisa bergerak, ekspresinya berkedut keras, marah: "Kau ingin adik seperguruanku? Kepala suku Niu, kau sekarang toh adalah kepala suku terhormat Gua Adamantium-Ungu, hal tak tahu malu seperti ini..."
"Kau salah paham, aku tak tertarik pada kecantikan adik seperguruanmu." Niu Daomei balik melambaikan tangan, sarung pedang yang tertancap di tanah tak jauh dari sana Sruukk terlepas, melesat datang. Pedang yang menempel di leher Kun Linshu ditarik, dibalikkan dan ditusukkan, Sruukk kembali masuk ke sarung pedang yang datang tadi.
"Aku bisa memberimu kesempatan lagi!" Niu Daomei membalik gagang pedangnya, lalu menancapkan bilah pedang ke tanah. Kedua tangannya bertumpu pada gagang pedang, rambut panjangnya berkibar ditiup angin. Dengan wajah datar ia berkata: "Aku bisa bertarung lagi denganmu, sekarang juga. Kesempatan ini tidak akan terulang. Aku tidak punya banyak waktu untuk bermain-main! Jika kau kalah, aku akan segera mengambil nyawa adik seperguruannya. Aku akan memenggal kepala adik seperguruanmu di hadapanmu! Kau sudah kena telapak tanganku, masih pantaskah kau melawanku? Jangan coba-coba minta waktu untuk berobat dulu atau menunggu sampai pulih total. Kalau mau bertarung, lakukan sekarang - dengan kepala adik seperguruanmu sebagai taruhan. Beranikah kau?"
Keanehan dalam tubuhnya membuat Kun Linshu gemetar spontan. Ia pun tersadar - orang ini sedang memberinya pelajaran.
Bahkan andai pedang tak menempel di lehernya, andai pertarungan dilanjutkan dengan bebas, kondisi dalam tubuhnya tetap tak memungkinkan kemenangan. Bukan soal belum mengeluarkan semua kemampuan. Sekali kalah, tetap saja kekalahan.
Dalam keadaan begini, masih mau mempertaruhkan kepala adik seperguruannya? Ia tak sanggup melakukannya.
"Aku kalah!" Kun Linshu memejamkan mata sambil tersenyum getir.
Niu Daomei menengadah sejenak memandang langit. Jawaban ini cukup memuaskannya. Andai Kun Linshu nekat mengorbankan nyawa adik seperguruannya demi dendam pribadi, tentu takkan dibiarkan hidup. Orang yang tak bisa dikendalikan meski dengan nyawa istrinya sendiri, tak berguna untuk dipertahankan.
"Sejak awal pertemuan kami berdua, dia terus-menerus menguji batasku. Sekarang aku sudah tenang, bertanya dengan tenang: 'Ingat sebelumnya, kau bilang padaku apa yang bukan perbuatan pria, menyuruhku jangan melibatkan wanita. Kujawab, apakah aku pria atau bukan bukan urusanmu. Sekarang tanyalah dirimu sendiri—kau mau jadi budak saja sudah cukup, masih mau menyeret adik seperguruannya jadi budak seumur hidup. Katakan padaku, inikah perbuatan yang pantas dilakukan seorang pria?'"
"Hehe!" Kun Linshu yang tersenyum sinis itu menangis.
Phoenix Api menyaksikan seniornya, seorang pria dewasa, menangis di depan umum. Seketika hatinya bagai diiris golok. Ingin bergerak tapi tak bisa, ingin berteriak tapi suaranya tertahan.
Orang-orang di luar lapangan tak mengerti apa yang sedang dibicarakan keduanya.
Niu Daomei berkata dengan tenang: "Pria dewasa menangis untuk apa? Menyesal? Apa kau menyesali tindakan cerobohmu sebelumnya?"
Kun Linshu tersedu-sedu. Ya, dia menyesal. Setelah kebutaannya dihancurkan, akhirnya dia sadar. Benar-benar menyesal. Teguran Niu Daomei tepat—dirinya yang nekat mati saja tak apa, tapi ternyata malah menyeret adik seperguruannya menjadi budak seumur hidup. Semua karena sikap keras kepalanya. Penyesalannya tak terkira.
Niu Daomei yang rambut panjangnya berkibar tertiup angin berdiri kaku dengan pedang, berkata tenang: "Menangis, tidak berguna. Air mata pria tak bernilai. Barusan kau minta kesempatan padaku, coba kau renungkan—sudahkah kuberi kesempatan? Bukan aku tak memberimu peluang, sebelum duel pun sudah kuperingatkan berulang kali. Saat itu masih bisa kau sesali. Kuingatkanmu, dalam duel satu lawan satu, aku tak pernah kalah! Bahkan kusampaikan dengan gamblang—kau tak tahu kedalamanku, kuminta jangan gegabah. Tapi kau tak mau dengar, tak mau menyerah sebelum melihat peti mati."
Di saat seperti ini, setiap katanya bagai pisau menusuk hati. Tekanan itu membuat Kun Linshu tersadar akan kebodohan tindakannya sebelumnya. Penyesalan yang dalam membekapnya, suaranya tercekat: "Aku pantas mati seribu kali, kematianku pun takkan cukup!"
"Mati?" Niu Daomei mengangkat alis, "Buka matamu yang berkaca-kaca, lihatlah adik seperguruanmu yang sedang menangis itu."
Kun Linshu menengadah, memandang sang junior yang diam-diam mengalirkan air mata.
Niu Daomei melanjutkan perlahan: "Kusarankan jangan berbuat kebodohan. Taatilah janjimu—kini kau milikku. Saat kau mati adalah kewenanganku. Berani ingkar janji, malam ini akan kukirim delapan pria untuk adikmu. Kujamin pengalaman itu akan membekas seumur hidupnya."
Kun Linshu murka, menoleh tajam: "Kau...!"
Niu Daomei melirik sinis: "Sudah kuberitahu, jalan ini kau pilih sendiri, jangan menyesal. Kau juga pernah bilang, rela menanggung segala nasib dan kehormatan. Sekarang menyesal? Sudah terlambat! Kun Linshu, belajar dari kesalahan, kali ini ingat baik-baik ucapanku: Selama kau hidup, adik seperguruanmu hidup. Jika kau mati, adikmu akan menderita lebih dari mati. Aku menepati perkataanku!"
Kun Linshu dipenuhi kemarahan, seluruh tubuhnya gemetar hebat. Tapi tak bisa berbuat apa-apa terhadap orang di depannya. Baru sekarang ia mulai menyadari sesuatu - segalanya telah berada dalam kendali orang ini!
Tiba-tiba, Niu Daomei menyapu pandangan dinginnya, melambaikan tangan. Dengan sigap ia sendiri menghadang di depan Kun Linshu.
Qian Fucheng datang melesat mendekat.
Melihat isyarat tangan Niu Daomei, Wu Zhaoxing menyelinap cepat mendekat.
Yun Ji mendorong Phoenix Api yang dikendalikannya ke arah Guan Fangyi, lalu melompat ke samping Niu Daomei. Bersama Wu Zhaoxing, mereka berjaga di kiri-kanan seperti pengawal.
Qian Fucheng menggigit gigi diam-diam. Setelah sadar dari kebingungan pascakekalahan, ia segera memutuskan: Lebih baik membunuh Kun Linshu daripada membiarkannya jatuh ke tangan Niu Daomei. Bagaimanapun, rencana mengirim Kun Linshu ke Tanah Suci memang untuk dijadikan tumbal.
Melihat penghadang di depannya, Qian Fucheng menyadari rencana invasinya mungkin gagal. Kewaspadaan dan reaksi Niu Daomei terlalu tajam.
"Kepala Suku Qian, ada keperluan apa?" Niu Daomei bertanya dengan mata dingin.
Qian Fucheng: "Kalian minggir, aku perlu bicara dengan Kun Linshu."
Niu Daomei: "Mulai sekarang, dia orangku. Bicaralah di sini."
Melalui reaksi kubu Niu Daomei, Gong Linche dkk menyadari keanehan dan segera menyelinap mendekat, mengerumuni Niu Daomei - keunggulan tuan rumahnya terlihat jelas.
Qian Fucheng menyadari segalanya berakhir. Di sini bukan tempatnya berulah, dan tak ada kesempatan lagi baginya.
Pil pahit yang dibuat sendiri harus ditelan. Jakun Qian Fucheng bergerak saat bertanya melewati kerumunan: "Kun Linshu, apa ada masalah dengan pertarungan ini? Jika ada, katakan! Aku yang bertanggung jawab!" Kini dia berusaha mencari celah untuk berdebat.
Namun terlambat. Niu Daomei sudah menutup semua jalan mundur. Dengan senyum sinis, dia menyambut: "Kun Linshu, manusia sebaiknya jangan pengkhianat. Aku menepati ucapanku!" Kepalanya miring mengarah ke Phoenix Api yang digiring di pinggir lapangan.
Kun Linshu tak bodoh. Dia tahu ambisi Kepala Suku, tapi saat mengikuti arah pandang Niu Daomei, matanya tertumbuk pada adik seperguruannya yang menangis membasahi wajah. Hancurlah hatinya - sangat jelas maksud tersembunyi Niu Daomei.
Yan Li juga menoleh. Hatinya bersorak: Sungguh brilian! Adik seperguruanku ini konsisten menekan istri Kun Linshu. Taktik cemerlang! Kelicikan yang sudah terasah benar-benar mencapai puncak. Hal ini semakin menarik.
“Kepala suku, saya kalah!” Kun Linshu menundukkan kepala mengaku.
