〖"Malam hitam memberiku mata yang hitam, tapi aku menggunakan lubang hidung untuk mencari cahaya."
——Liu Zhenhan berkata〗
※※※
Liu Zhenhan merasa hidungnya seakan hancur berkeping-keping.
Membuka mata perlahan, Liu Zhenhan segera menutupnya kembali. Rasa pedih di hidung merangsang saraf mata, setiap bagian tubuhnya terasa nyeri yang menusuk. Setelah sadar kembali, dia perlahan merasakan kekuatan mulai pulih, sensasi lemas tadi akhirnya menghilang.
Menahan rasa sakit seperti tubuh terkoyak, Liu Zhenhan dengan susah payah membalikkan badan. Luka di sekujur tubuhnya menempel pada pasir yang membara. Benar, ini pasir. Dari sensasi di ujung jarinya, dia bisa mengenalinya.
Kekuatan tubuhnya terkumpul perlahan. Liu Zhenhan membuka mata sekali lagi. Seekor kepiting raksasa berwarna cokelat tanah melintas di depan matanya dengan angkuh. Bola matanya yang bulat melirik sinis, mulutnya menggelembungkan buih putih, meninggalkan jejak samar di pasir sebelum menghilang dalam kerikil.
Liu Zhenhan meledak dalam kemarahan.
Liu Zhenhan merasa kepiting itu memandangnya seperti melihat kelapa. Ia benar-benar tersulut amarah oleh sikap meremehkannya ini, menyentakkan makhluk kecil itu dari tumpukan kerikil, merobeknya dalam beberapa gerakan, lalu menyuapkannya ke mulut sambil mengunyah dengan ganas.
Rasa kepiting ini cukup enak, ada sedikit asin yang samar. Sambil mengunyah capit kepiting di mulutnya, Liu Zhenhan mencoba berdiri. Sekelilingnya terasa asing, pantai berpasir keemasan, laut tak berujung, air pasang yang surut perlahan menjilat pergelangan kakinya. Di kejauhan, tumbuhan mirip pohon palem tegak di tepi pasir, angin berhembus seperti ciuman lembut kekasih, membawa aroma amis laut.
Sebuah capit kepiting terjatuh tanpa suara dari mulut Liu Zhenhan. Mulut Lao Liu menganga lebar bagai kuda nil yang sedang birahi.
Di mana ini? Bukankah aku berada di medan perbatasan selatan? Peluru... iya, dentuman senjata... bukankah aku tertembak?
Di benak Liu Zhenhan, potongan-potongan memorinya berkelebat seperti adegan montase.
Ia menunduk memandangi tubuhnya sendiri. Tak sehelai benang pun menutupi badannya yang keputihan akibat terendam air laut. Hanya satu kaki yang masih mengenakan kaus kaki nilon abu-abu, warnanya sudah berubah aneh karena terendam air asin.
Liu Zhenhan meraba-raba seluruh tubuhnya. Untungnya, tubuh yang dalam ingatannya seharusnya berlubang seperti saringan masih utuh. Lao Liu mencubit bulu dadanya dengan keras, rasa sakit meyakinkannya ini bukan mimpi.
Di mana aku ini? Ribuan pertanyaan berputar di kepala Liu Zhenhan.
Rasa perih di hidungnya menyadarkannya kembali. Gerakan-gerakan tadi meski tidak banyak telah membuat hidungnya berdarah lagi. Liu Zhenhan merasakan cairan mengalir di bibirnya, segera rasa asin yang terlalu dikenalnya - bau darah - memenuhi mulutnya.
Liu Zhenhan merasa hidungnya seperti keran air yang tidak bisa ditutup.
Tanpa peduli kotor, ia segera melepas kaus kakinya dan menekannya kuat-kuat ke hidung. Ini tidak bisa terus begini. Liu Zhenhan berputar, terhuyung-huyung, lalu mulai mengamati sekeliling.
Ini adalah pulau kecil yang terlihat sepi. Bahkan angin yang berhembus terasa primitif. Pantai tempatnya berdiri merupakan satu-satunya lereng landai pulau ini. Tak jauh dari pantai terlihat kerangka ikan raksasa seperti paus, terjemur hingga memutih pucat. Separuh bagian yang terendam air ditumbuhi lumut air.
Liu Hanzhan memandangi kakinya. Di pantai yang tergenang air laut biru, terdampar banyak kerang warna-warni. Perutnya menggeram tak tertahankan. Kepiting tadi telah terlepas saat dia linglung. Pengetahuan dasar intelijen khas Liu Hanzhan memberitahunya: kerang-kerang ini, termasuk kepiting pasut tadi, jika dimakan berlebihan pasti akan menyebabkan diare. Di pulau terpencil dan tandus tanpa persediaan apapun ini, penyakit apapun merupakan ancaman mematikan.
Tapi rasa laparnya terlalu menyiksa. Setelah pertarungan singkat antara nalar dan realita, Liu Hanzhan tanpa ragu memilih realita.
Kerang warna-warni itu memang lezat luar biasa. Meski dimakan mentah, rasa segar alami dan tekstur licinnya tetap terjaga. Ditambah rasa asin tipis air laut, semakin menggugah selera. Liu Hanzhan melahap lebih dari selusin kerang. Tenaga di tubuhnya seolah bertambah drastis.
Disiplin khas pasukan intel akhirnya muncul di saat kritis. Meski belum kenyang, Liu Hanzhan memaksa diri berhenti makan. Tapi dia tak berani lagi melirik kerang-kerang itu sekalipun. Takut nalarnya tak sanggup melawan deraan lapar.
Bagaimanapun, tugas utama Liu Zhenhan saat ini adalah bertahan hidup di pulau terpencil ini. Dengan tekad yang kuat, Liu Zhenhan terhuyung-huyung mendekati kerangka yang tergeletak di pantai. Kerangka itu utuh dan berukuran sangat besar, tiba-tiba Liu merasa dirinya sangat kecil.
Setelah meraba kerangka yang memancarkan kilau seperti batu, Liu memilih satu tulang rusuk yang patah. Patahan tulang itu tajam dengan panjang sekitar 1,5 meter, sementara tulang rusuk utuh lainnya mencapai 2 meter. Liu langsung menyukainya - dalam kondisi fisiknya yang lemah, tulang rusuk berpucuk tajam ini bisa menjadi tombak alami untuk perlindungan diri.
Meski dikenal sebagai prajurit perkasa di medan perang, kondisi Liu sekarang lemah bagai bayi baru lahir. Mana mungkin ia bisa memilih-milih lagi.
Setelah tiga kali menyisir pantai yang dipenuhi batu, Liu nyaris tak sanggup mengangkat batu manapun. Setelah lama mencari, akhirnya ditemukannya batu sebesar kepalan tangan. Dengan susah payah, Liu mengangkatnya meski harus mengerahkan sisa tenaganya.
Liu Hanzhan memukul kerangka dengan batu berkali-kali, tak terhitung sudah berapa kali. Hampir kehabisan tenaga, akhirnya ia berhasil mematahkan tulang rusuk yang panjang seperti tombak itu. Karena terlalu keras mengayun, tubuhnya terjungkal ke dalam kerangka. Perut telanjangnya tertusuk pecahan tulang yang membuka luka, membuatnya kaget setengah mati. Tiba-tiba muncul kekuatan misterius dari tubuhnya, memungkinkannya merangkak keluar dari kerangka itu.
Liu Hanzhan tergeletak di pasir lama sebelum bisa bernapas lagi. Dengan limbung ia berdiri, melihat luka terbuka di bawah pusarnya. Napasnya tersengal, tubuhnya kembali ambruk di pasir. Setelah diperiksa, untungnya luka tidak mengenai organ vital dan perdarahannya tidak parah.
Saat menengok, ia melihat helai rambut keriting hitam yang jarang tersangkut di pecahan tulang kerangka. Liu Hanzhan menepuk dadanya, meski tak percaya takhayul, tak urung ia memuji para dewa di langit.
Kondisinya tetap buruk. Luka di hidung terus membuatnya pusing. Dibandingkan dengan itu, luka di perut terasa tak berarti. Bibirnya begitu kering sampai retak-retak, tenggorokannya terasa seperti terbakar. Liu Hanzhan menjilat bibirnya yang pecah-pecah itu.
Mengambil tombak tulang itu, Liu Hanzhan mengurungkan niatnya untuk mengasahnya dengan batu. Meskipun lengkungan tulang rusuk ini mirip katana Jepang, dia sadar tak punya tenaga lagi untuk mengurusnya. Sementara menggunakan tombak tulang ini sebagai tongkat, Liu Hanzhan perlahan mendaki bukit. Tak lama kemudian, pasir pantai sudah mulai pasang, air yang semula hanya sampai mata kaki kini menyentuh betis. Liu Hanzhan merasa dirinya cukup beruntung, setidaknya tidak tenggelam saat muncul di tempat angker ini.
Puncak bukit dipenuhi semak duri dan pohon merah yang saling menjalin. Pulau ini cukup luas dengan beberapa gundukan tanah berkelok-kelok. Di antara pohon-pohon merah pendek, terselip pohon kelapa dan palem yang menjulang, tersusun dalam pola yang harmonis meski tetap terasa sepi. Liu Hanzhan mendengus, lalu tersandung-sandung mendekati pohon kelapa terdekat. Dia mengumpulkan batu-batu dan berusaha melemparnya untuk menjatuhkan kelapa. Setelah beberapa kali lemparan lemah, tak satu pun batu mengenai sasaran, malah beberapa batu jatuh di kepalanya sendiri, hampir membuatnya kehabisan napas.
“Sialan! Apakah gua ini masih Liu Zhenhan yang dijuluki ‘Pelontar Granat Berdarah Daging’ di medan perang?” Liu Zhenhan mengerenyit kesakitan sambil menggosok bahu dan kepalanya yang pegal, menatap kelapa di udara yang seolah mengejeknya, rasa haus di mulutnya semakin menjadi-jadi.
Masak seorang lelaki jantan seperti gua cuma bisa melongo melihat kelapa di pohon ini? Apa harus seperti tentara wanita di kompi pos dulu, cuma boleh lihat tapi nggak boleh sentuh, cuma jadi hiasan? Liu Zhenhan yang licik ini langsung mendidih emosinya.
Matanya berkedip-kedip licik, Liu Zhenhan sudah dapat ide lagi.
Mencari seutas rotan dari semak, Liu Zhenhan dengan hati-hati melepas kaos kaki dari hidungnya. Kelembutan langka Liu Zhenhan terpancar jelas saat ini, sikapnya persis seperti pengantin pria yang sedang membuka pakaian pengantin wanita.
Kaos kaki itu menempel lengket dengan darah beku, saat melepasnya Liu Zhenhan kembali mengerenyit kesakitan.
Untungnya darah sudah berhenti mengalir. Liu Zhenhan mengelus lembut hidungnya, merasa rongga hidungnya seperti membesar sepuluh kali lipat.
“Sialan, wajahku rusak.” Liu Hanzhan hampir menangis. Meski menyesali kehilangan kecantikannya, tangannya tak berhenti bergerak. Ia mengenakan kaus kaki berlumuran darah di rotan, mengikat batu-batu pilihan di kedua ujungnya, lalu memutar baling-baling buatannya di udara hingga berbunyi "wu wu". Awalnya terasa berat, tapi setelah 2-3 putaran, momentum terbentuk dan putaran semakin kencang.
"Huu~~" Batu melesat membawa impian Liu Hanzhan, menghantam keras kelapa di ketinggian dengan subrak. Dua kelapa yang menyatu jatuh "blup" ke tanah, meloncat beberapa kali lalu diam.
"Terima kasih Yang Maha Kuasa!" Liu Hanzhan tersedak haru. Pelatihan keras Elders Geng dulu ternyata bermanfaat. Tanpa disiplinnya, mustahil bisa mengontrol akurasi ketapel dengan kekuatan terbatas ini, bahkan dapat double sekaligus.
Rasa kelapa itu enak. Meski banyak sari manisnya yang tumpah saat dipecahkan batu, Liu Hanzhan tetap puas.
Manusia terkadang sulit dipuaskan, tapi di saat lain justru mudah. Liu Hanzhan merenung. Andai dia jadi cewek sekarang, siapapun yang memberinya kelapa di kondisi seperti ini pasti langsung dinikahinya.
“Daging kelapa di dalam kelapa rasanya sedikit seperti keladi, sangat manis. Liu Hanzhan tak bisa menahan rasa iri pada orang yang memiliki gigi tonggos. Dia merasa jika dirinya juga punya gigi tonggos besar, pasti akan lebih mudah saat menggerogoti daging kelapa ini.
Setelah menggerogoti dua kelapa hingga hanya tersisa kulit tipis, Liu Hanzhan merasa seluruh tubuhnya dipenuhi energi. Dia mengambil tali pengumban, menembak semua kelapa yang tersisa di pohon, lalu mengikatnya menjadi satu rangkaian dengan tali rotan.
“Mulai sekarang aku tidur pun tak akan berpisah dengan kelapa.” Liu Hanzhan bersumpah.
Meski kelapa yang sudah dimakan hanya menyisakan tempurung, Liu Hanzhan tidak menyia-nyiakannya. Dia merangkai tempurung dengan tali rotan menjadi celana dalam sederhana. Meski pulau ini tampaknya tidak berpenghuni, Liu Hanzhan tetap tidak nyaman berlarian telanjang. Meski celana dalamnya sederhana, setidaknya ada tempurung yang menutupi bagian vital. Liu Hanzhan merasa lebih nyaman.
Refleks ingin menggaruk selangkangan, tangannya justru menyentuh tempurung kelapa. Liu Hanzhan terkekeh bodoh, dia sadar kebiasaan lamanya ini akan terpaksa berubah.
Satu tempurung kelapa ekstra dipakainya di kepala, mirip helm baja.
“Sial, penampilanku pasti seperti tentara Jepang bodoh.” Liu Hanzhan kembali terkekeh-kekeh.
Membelah semak belukar yang lebat, Liu Zhenhan menuju ke sebuah gundukan tanah tidak jauh dari sana, tombak tulang di tangannya sementara digunakan sebagai parang. Sinar senja mulai muncul di antara awan, Liu Zhenhan merasa perlu mencari tempat untuk bermalam. Siapa tahu ada makhluk apa di tempat ini.
Melewati semak-semak, terdapat hutan pohon willow merah. Kehadiran Liu Zhenhan mengagetkan sekawanan burung laut di dalamnya. Burung-burung abu-abu itu langsung terbang membubung ke langit, pemandangan spektakuler ini juga membuat Liu Zhenhan kaget, hampir menjatuhkan kelapa yang dibawanya.
Di bawah pohon willow merah yang pendek terdapat lapisan tebal kotoran dan bulu burung. Liu Zhenhan mencoba menginjaknya, ternyata sangat lunak. Saat sedang merenungkan apakah harus melewatinya atau memutar, seekor makhluk kecil mirip tupai mendarat di bahunya.
Makhluk kecil itu memiliki sepasang telinga panjang, wajah gemuk, bulu keemasan seperti sutra, perut yang menggembung, dan mata besar yang berkilauan. Liu Zhenhan memandangnya takjub, sementara si kecil mendekatkan buah liar yang dipegang di cakar depannya.
Melihat bekas gigitan pada buah itu, Liu Zhenhan menggelengkan kepala menolak kebaikannya.
Liu Zhenhan memperhatikan makhluk kecil ini, yang tampaknya sama sekali tidak takut padanya, membuat Liu Zhenhan merasa sangat tertarik. Melihat tubuhnya yang kurus tak berisi, Liu Zhenhan pun tidak punya niat jahat. Dengan lembut ia menarik ekor berbulu lebat si kecil dari bahunya dan menurunkannya ke tanah.
"Pergilah, anak kecil!" Liu Zhenhan menjulurkan lidah, mengelus kepala mungilnya sambil membuat muka lucu.
"Guo guo~~" Si kecil merintih nyaman, lalu menirukan muka lucu persis sama sambil menjulurkan lidah kecil kemerahan.
"Lucu sekali." Liu Zhenhan mencubit pipi mungilnya, sensasi kenikmatan yang lembut terasa di telapak tangannya.
Akhirnya perasaan buruk yang sudah lama dirasakannya membaik. Setelah melihat sekujur tubuhnya yang compang-camping, ia hanya bisa tersenyum malu.
"Cepat pulanglah!" Liu Zhenhan mengelus kepala si kecil sekali lagi lalu berjalan menuju hutan liuk merah. Melihat banyak sarang burung di pepohonan rendah, ia memutuskan: "Lantai kotor ya sudah! Bodo amat! Aku kan bukan peserta kontes kecantikan. Di sarang burung pasti ada telur burung, ambil beberapa untuk makan malam nanti."
Di sarang burung hutan merah, terdapat banyak telur burung dan anak burung yang baru menetas. Liu Zhenhan memilih belasan telur, mengisi "helm"nya hingga penuh. Anak burung yang baru menetas tidak disentuhnya. Burung laut berputar-putar di langit sambil menjerit, entah memuji hati nurani Liu atau mengutuk kelakuannya.
Liu Zhenhan berbalik badan dan terkejut menemukan makhluk kecil itu masih mengikutinya. Bahkan... ia menusukkan buah liar yang baru dimakannya ke sebatang ranting tipis, memanggulnya di pundak, dan menatapnya dengan tubuh tegak.
Liu Zhenhan menatapnya dengan bodoh. Kelapa yang dipanggulnya di pundak terjatuh "blup" ke tanah, membuat kotoran burung beterbangan.
"Dia... meniruku?" Kulit kepala Liu Zhenhan meremang.
Makhluk kecil itu berjalan mendekat dengan perut buncit menonjol. Bulu emas dan ekor panjangnya penuh noda hitam-putih kotoran burung. Dengan ranting berisi buah beri liar di pundak, ia tampak seperti jenderal bangga menyambut kemenangan.
"Tidak mungkin!" Liu Zhenhan merasakan amandelnya berdesir terkena udara, segera menutup mulutnya. Makhluk itu jelas sedang tersenyum, matanya menyipit penuh kesombongan.
Liu Zhenhan merasa tawa ini penuh dengan kebijaksanaan, mana mungkin masih disebut binatang.
Ia teringat cerita ibunya dulu bahwa binatang bisa berkomunikasi dengan alam roh. Saat itu ia masih kecil dan tidak percaya. Ketika tim produksi menyembelih sapi, ibunya mengajaknya menonton. Sapi yang akan disembelih itu mengeluarkan butiran air mata besar dari matanya.
Keterkejutannya saat itu hanya bisa disaingi oleh perasaannya hari ini.
Liu Zhenhan membungkuk dan melambaikan tangan. Makhluk kecil itu langsung melempar tongkat dari bahunya, merangkak dan memanjat melalui lengan Liu Zhenhan ke dalam pelukannya. Kepala kecilnya menempel erat. Hati Liu Zhenhan dipenuhi kepuasan sambil memeluk dan terus membelai kepala makhluk itu. Makhluk itu tampak menikmati, kedua telinga seperti kelinci tegak tinggi, mendengkur bahagia seperti kucing yang manja.
Setelah "keintiman" singkat itu, Liu Zhenhan melanjutkan perjalanan dengan makhluk yang bukan tupai maupun kelinci ini. Ia merasa tak bisa lagi berpisah dengannya. Makhluk itu lincah seperti tupai, melompat gesit, sesekali masuk ke semak-semak dan membawa kembali buah beri seolah mempersembahkan harta. Meski tak berani memakan buah itu, Liu Zhenhan merasa sangat bahagia.
Satu-satunya pengecualian adalah ketika makhluk kecil itu membawa ulat gemuk yang mirip ulat sutra raksasa, berbadan putih gemuk dan semi-transparan. Liu Zhenhan hampir muntah melihatnya, untung perutnya kosong karena kemampuan pencernaannya yang kuat sudah mengolah hampir semua isi perut, akhirnya hanya memuntahkan air.
"Dasar sialan, hampir membuatku mati ketakutan." Liu Zhenhan mengernyitkan wajah, tangannya terangkat setengah jalan lalu diturunkan kembali.
Dia tidak tega memukulnya.
Makhluk kecil itu semakin menjadi-jadi, merayap ke atas kepala Liu Zhenhan dan menungganginya. Seketika Liu merasa seperti memakai topi bulu tebal. Seluruh tubuh makhluk itu penuh kotoran burung, tapi setelah dipikir-pikir, Liu tidak menemukan alasan untuk melarangnya tinggal di sana.
Ini jodoh kotoran! Ini takdir lewat kotoran! Begitu pikir Liu Zhenhan.
Akhirnya tiba di tujuan.
Perjalanan ini tidak terlalu panjang, tapi Liu Zhenhan merasa tubuhnya hampir remuk seperti kerangka yang terlepas.
Gundukan tanah setinggi 5-6 meter ini dikelilingi Liu. Baru setelah berputar, dia melihat di belakang gundukan terdapat hutan kelapa yang subur. Penemuan ini membuatnya naik darah.
Liu Zhenhan melepas semua barang bawaan di tubuhnya, lalu melihat sekeliling. Tempat yang dia pilih cukup bagus, terlindung dari angin dan pencahayaannya tidak terlalu gelap. Mendengar suara ombak yang seperti musik alam, akhirnya tubuh dan pikirannya mulai rileks. Satu-satunya hal yang membingungkannya adalah gundukan tanah itu hampir tidak memiliki tanaman, hanya ditutupi lapisan lumut hijau kecoklatan. Saat mengorek tanah gundukan dengan tangan, terlihat permukaan batuan kebiruan di bawahnya.
Liu Zhenhan melihat langit masih cukup terang, segera pergi ke semak-semak terdekat untuk mencabut rumput liar yang lembut. Dia mengalasinya di tanah sebagai tempat tidur. Sebenarnya dia ingin mendirikan tenda, tapi benar-benar tidak punya tenaga lagi.
Bertahan hidup di alam liar tidak menyulitkan Liu Zhenhan yang pernah menjadi prajurit pengintai. Setelah mengumpulkan beberapa ranting kering, Tuan Liu mulai menggesekkan kayu untuk membuat api - keterampilan yang dipelajarinya selama di militer. Liu Zhenhan memodifikasi kaos kaki bau miliknya menjadi tali tarik sederhana. Prinsip pengungkit terbukti lebih cepat daripada menggosok tangan. Jerami kering sebagai pemantik segera menyala. Liu Zhenhan bersorak pelan, lalu menumpuk ranting-ranting kecil yang dikumpulkannya. Beberapa potong resin seperti amber yang dikupas dari pohon juga dilemparkannya ke api unggun. Resin yang mudah terbakar membuat nyala api semakin tinggi. Liu Zhenhan tersenyum sumringang menyaksikannya. Makhluk kecil itu duduk manis di sampingnya, kaki mungilnya terbuka lebar, perut buncitnya terangkat, memandangnya dengan bodoh.
Liu Zhenhan memegang kaos kakinya sendiri dan menciumnya dengan penuh gairah sekali lagi dan lagi. Hari ini pasangan kaos kaki ini benar-benar telah mencatatkan prestasi gemilang—sejenak dijadikan bungkusan pertolongan pertama, sejenak lagi berubah fungsi menjadi ketapel, kemudian berubah wujud menjadi alat pembakar api. Kala itu jika saja tidak mengeluh bahwa kain kaos kaki terlalu sedikit, sudah lama akan dipersiapkan untuk dibuat celana dalam. Kini tampaknya, jika benar dijadikan celana dalam, itu ibarat meriam anti-pesawat untuk membunuh nyamuk—menggunakan sumber daya besar untuk tujuan kecil.
"Guo Guo!" Liu Zhenhan mengusap kepala si mungil penuh kasih seraya berkata: "Yang Di Atas telah memberkati saya dengan baik, setidaknya memberikan engkau dan sepasang kaos kaki untukku!"
"Guoguo!" Xiao dongxi langsung mengeluarkan suara gerutuan seperti "guoguo" setiap kali kepalanya dielus, jadi Liu Zhenhan memberinya nama Guoguo.
Melihat Liu Zhenhan mencium kaus kaki dengan suara "cup-cup", Guoguo penasaran melompat mendekat, mengambil kaus kaki itu, lalu menyondokkan kepala berbulunya untuk menirukan sang majikan.
Rasa penasaran Guoguo bisa membunuh seekor kucing.
Kaus kaki asli dari kaki terbau di medan perang Nanjiang ini membuat Guoguo benar-benar kolaps. Begitu mencium bau kaus kaki, bola matanya yang lincah langsung membeku, tubuhnya oleng seperti mabuk sebelum akhirnya terjengkang dengan perut gendut naik-turun sambil terengah-engah.
Si kecil lupa bahwa pemilik asli kaki bau ini adalah siapa.
"Guoguo!" Liu Zhenhan panik, langsung menggendong dan mengelus-elusnya sampai akhirnya Guoguo siuman. Sejak mengenal makhluk ini, Liu Zhenhan merasa tak bisa hidup tanpanya. Andai Guoguo tewas teracuni bau kaus kakinya, ia pasti akan menyesal seumur hidup.
Aroma telur burung yang dikubur dalam api mulai harum. Liu Zhenhan segera menggalinya dengan tongkat sebelum telur itu meletus.
“Mengupas cangkang telur burung, Liu Zhenhan dengan hati-hati meniup debu jerami yang menempel, lalu menyodorkan telur putih itu ke hadapan Guoguo. Guoguo yang tadi nyaris sekarat langsung bangun, memeluk telur itu sambil menggigit dengan lahap, sesekali menyeringai ke Liu Zhenhan.
“Dasar keparat! Tadi nyaris bikin gue mati kaget!” Liu Zhenhan mengambil kaus kaki dari tanah, menyimpannya di “helm kelapa”, lalu menusuk kelapa dengan tombak tulang untuk minum airnya. Setelah menelan beberapa butir telur mentah, dia mengupas satu telur dan melahapnya bulat-bulat.
Mata kecil Guoguo berputar-putar memperhatikan Liu Zhenhan, seolah sangat iri. Ia mencoba meniru beberapa kali tapi gagal, akhirnya menyerah karena telur itu terlalu besar untuk ditelannya.
Setelah melahap lima-enam telur, Liu Zhenhan bersendawa puas. Melihat tingkah Guoguo, dia tertawa terbahak-bahak sambil demonstratif memasukkan dua telur sekaligus ke mulut, mengunyahnya dengan keras “krucuk-krucuk”.
Guoguo melompat ke wajah Liu Zhenhan, menjulurkan lidah merah mudanya untuk menjilat sisa kuning telur di pipi, lalu menggosok-gosokkan kepala kecilnya ke janggut kasar Liu Zhenhan dengan penuh keakraban.
“Haha…” Liu Zhenhan merasa sangat puas diri dalam hatinya.
Tawa nya terhenti tiba-tiba. Seekor serigala raksasa berwarna biru pirus muncul diam-diam dari balik bukit kecil, matanya yang menyala seperti fosfor menatap tajam ke arah Liu Zhenhan yang sedang terkekeh lebar di seberang api unggun.
Pupil mata Liu Zhenhan menyempit seketika. Seluruh tubuhnya terasa dingin menusuk, suhu tubuhnya anjlok ke titik beku dalam sekejap.
Tak ada waktu untuk memikirkan mengapa serigala ini berwarna biru menyeluruh. Refleks Liu Zhenhan langsung menyambar tombak tulang paus di sampingnya dan melemparkannya. Dalam kompetisi militer dulu, selain pertarungan tangan kosong, keahlian lempar pisau adalah spesialisasinya. Pertempuran pertama di medan perang Nanjiang pun berhasil dimenangkannya dengan melemparkan bayonet yang membunuh musuh dalam jarak dekat.
Liu Zhenhan masih percaya diri dengan kemampuan fisiknya. Meski stamina belum pulih sepenuhnya, ketajaman dan kekuatan tombak tulang paus sudah terbukti saat digunakan untuk... di bawah pusarnya tadi.
Hal yang lebih tak terduga terjadi lagi.
Serigala raksasa berwarna biru baja membuka mulutnya, dari moncongnya yang penuh gigi taring menganga, menyemburkan gumpalan angin yang terlihat mata, seperti tornado. Aliran udara yang berputar cepat ini membentuk bilah berbentuk bulan sabit, muncul sekejap lalu hilang. Dengan suara "bam!", Liu Zhenhan melihat satu-satunya senjata andalannya—tombak tulang paus—terpental di udara, serpihan tulang beterbangan dan jatuh ke dalam api unggun, menimbulkan suara "kriuk-kriuk".
Tombak tulang itu jatuh ke tanah dan menggelinding ke depan Liu Zhenhan. Bekas luka dalam terlihat di tombaknya, seolah-olah ditetak oleh pisau komando Bowie. Liu Zhenhan tahu betul kualitas tombak ini. Dengan jelas ia menyadari, bahkan jika menggunakan pisau parang yang biasa dipakainya dulu untuk menetaknya, hasilnya mungkin akan sama.
Yang lebih menyeramkan bukan hanya ini semata.
Bilah udara berputar yang terbentuk dari aliran udara itu masih memiliki tenaga sisa. Api unggun tertekan sampai setengah inci, meleset tipis dari pipi kanan Liu Zhenhan. Dengan perasaan tak percaya, ia menoleh ke belakang. Semak ilalang di belakangnya terpotong rata, beberapa bulir rumput ekor anjing masih melayang di udara.
“Apa ini?” Liu Zhenhan terpaku, matanya membelalak tak percaya. Dia sama sekali tak mengerti apa yang terjadi.
Serigala raksasa itu mendengus angkuh, seakan meremehkan atau mengejek ketidaktahuan Liu Zhenhan. Sorot matanya seperti elang mengawasi bumi. Liu merasa ini bukan serigala lesu yang pernah dilihatnya di kebun binatang. Cahaya kecerdasan berkilat di mata serigala itu, membuatnya hampir berhalusinasi - yang dihadapinya jelas manusia, bukan binatang.
Aura kesombongan yang memancar dari tubuh serigala itu membuat bulu kuduk Liu meremang.
Meski shock, Liu segera bertindak. Dia menaruh Guo Guo di belakangnya, menyambar kayu bakar dari api, lalu berdiri tegak. Entah serigala ini masih takut api atau tidak, semua logika sudah kacau di pikirannya. Jika makhluk ini bisa mengeluarkan semburan udara tajam seperti pisau, wajar jika api pun tak ditakutinya.
Semburan udara tajam itu memang mematikan, tapi sama seperti pertarungan bayonet. Tradisi pasukan kami: "30 meter, ujung bayonet harus berlumuran darah!" Liu membungkuk, mengarahkan kayu menyala ke serigala biru baja. Niatnya menusuk hidung si serigala sampai ke pantat saat menyerang.
“Obisilachi! Apa-apaan ini!” Di dada Liu Zhenhan tiba-tiba muncul naga merah anggur yang meliuk, kepala naga melingkari lehernya, cakar naga yang nyaris meneteskan darah menyembul keluar dari kulit. Ini adalah tato Liu Zhenhan saat masih di kemiliteran, juga tradisi tato khas Batalyon "Naga Merah" yang termasyhur di medan perang. Tato ini dibuat dengan campuran vermilion dan darah merpati, termasuk tato tersembunyi yang hanya muncul saat darah mengalir deras.
Jelas Liu Zhenhan sudah siap mempertaruhkan nyawa.
Matanya menatap tajam serigala raksasa sambil bergerak perlahan, ruang gerak di sini terlalu sempit sementara pisau angin serigala itu terlalu ganas. Liu Zhenhan tak ingin Guoguo terluka saat pertarungan terjadi.
Serigala itu mengamati gerakan Liu Zhenhan dengan penasaran, lidah merah darahnya terus menjilat moncongnya, bulu birunya tegak seperti jarum baja. Tampaknya ia ingin menguji kemampuan calon mangsanya ini.
Liu Zhenhan merasa kepalanya tertarik, saat menengok ke atas, Guoguo sudah memanjat ke kepalanya dengan kedua cakar kecil mencengkeram rambutnya.
"Guoguo cepat turun!" Liu Zhenhan hampir kalang kabut.
Pada saat dia sedang tidak fokus, serigala raksasa itu mulai bergerak. Api unggun sama sekali tidak berpengaruh padanya. Dengan sekali lompatan, tubuh serigala biru sebesar anak sapi itu hanya berjarak lima langkah dari Liu Zhenhan. Tongkat api Liu Zhenhan terlepas dari genggaman dan meluncur lurus ke arah hidung serigala.
Serigala itu menyengut dengan angkuh, mengeluarkan pisau angin dari mulutnya yang menghantam tongkat api. "Dentum!" Suara keras menggema saat tongkat api meledak menjadi percikan api yang berhamburan. Di bawah cahaya senja, percikan itu berpendar seperti kembang api. Saat serigala itu murka karena percikan api mengenai kepala dan wajahnya, bersiap merobek-robek makhluk yang berani menghinanya, Liu Zhenhan telah menembus percikan api dengan gerakan cepat. Tinju besarnya yang mengarah ke hidung serigala muncul tiba-tiba di hadapan sang predator.
"Kretak!" Tinju Liu Zhenhan menghantam tulang hidung serigala dengan keras. Sebelum serigala sempat bereaksi, sakit yang luar biasa menjalar di perutnya saat lutut Liu Zhenhan menghantam keras bagian perut sang binatang.
Liu Zhenhan mengayunkan tinju kanannya, sementara tinju kiri tak ketinggalan menyusul dengan pukulan ke moncong serigala yang setengah terbuka. Membiarkan binatang ini mengeluarkan pisau angin lagi sama saja bunuh diri. Liu Zhenhan tak bodoh, dialah mesin pembunuh dari militer yang mengandalkan jurus "Harimau Hitam Mencabut Jantung".
Serigala itu merintih kesakitan dan mundur terburu-buru.
Tubuh Liu Zhenhan limbung, ingin mengejar tapi tenaga sudah habis. Dengan napas tersengal, ia teringat Guoguo. Syukur, berat di kepalanya masih ada, cakar kecil masih mencengkeram rambutnya sampai bergetar.
Kaki menginjak dan menyentak, tombak tulang kembali ke genggaman Liu Zhenhan. Dua pukulan dan tendangan tadi gagal membunuh serigala ini. Kesempatan serangan mendadak hampir habis, kini hanya bisa bertahan mati-matian.
Hidungnya mulai berdarah lagi. Liu Zhenhan tak berani mengusapnya. Serigala ini melampaui imajinasi manusia. Ia merindukan senapan mesin, atau minimal senapan otomatis tipe 56.
“Serigala raksasa itu menatap Liu Zhenhan, Liu Zhenhan juga melotot padanya. Manusia dan binatang itu saling memandang seperti ayam jago yang hendak bertarung. Serigala membuka mulutnya, Liu Zhenhan secara refleks mengayunkan tombak tulangnya, namun tidak ada apa-apa. Saat melihat lagi, sudut mulut serigala itu mengalirkan darah dan sepotong gigi tajam terlempar ke tanah.”
"Brengsek, pukulan dua kali tadi ternyata masih ada gunanya." Liu Zhenhan merasa keberaniannya bangkit kembali.
Sorot mata penuh kebencian serigala itu mengunci Liu Zhenhan, perlahan mundur ke belakang. Meski kaki belakangnya pincang, tubuhnya tetap stabil dan mengancam.
Hati Liu Zhenhan tiba-tiba terasa berat.
Bahaya, binatang ini jelas memiliki kecerdasan yang berbeda. Ia tahu memanfaatkan kelebihan dan menghindari kekurangan. Liu Zhenhan gelisah, tidak tahu harus bagaimana jika serigala ini terus menerus melontarkan pisau angin dari jarak jauh.
Benar saja, serigala raksasa itu berhenti pada jarak dua puluh langkah. Mulutnya menganga, sebuah pisau angin kembali melesat. Liu Zhenhan menghalau dengan tombak tulangnya lalu berguling di tempat. Tangannya terasa ringan - tombak tulang itu kini hanya tersisa sebatang gagang.
Kekuatan apa ini! Apakah dia akan mengamuk? Liu Zhenhan memandang "belati tulang" di tangannya dengan senyum getir.
Tanpa sempat berpikir lebih lanjut, serigala raksasa itu langsung menerjang. Liu Zhenhan tanpa ragu melemparkan "belati tulang" di tangannya. Sebilah pisau angin bertabrakan dengan "belati tulang", kali ini kekuatan pisau angin melemah dan jatuh bersama belati tulang ke tanah.
Serigala itu sangat cerdik. Pisau angin bukanlah jurus pamungkas. Seluruh tubuhnya melesat maju, jarak yang pas memungkinkannya menyelesaikan gerakan menerjang setelah berlari kencang. Inilah jurus rahasia terakhirnya.
Taring serigala raksasa yang melayang di udara terlihat jelas. Sorot mata seperti api fosfor telah digantikan warna merah darah yang mengerikan. Di tengah rahang biru baja yang menganga, terdapat bekas patahan segar pada gigi taringnya. Cakar-cakarnya memancarkan kilau biru yang menyeramkan.
Terjangan ini secepat kilat. Liu Zhenhan sudah terkepung tanpa jalan lolos. Lari? Siapa bisa lolos dari serigala? Melawan? Bagaimana menahan terjangan maut ini?
Ia teringat kakak laki-lakinya, teringat ibunya.
Meski pernah mengalami siklus hidup-mati sebelumnya, mata Liu Zhenhan tetap berkaca-kaca.
“Binatang, coba rasakan kekuatan kakekmu!!” Dalam teriakan gila Liu Zhenhan, celana dalam baru saja dibuat yang ada di pangkuannya direnggutnya. Meski tahu itu hampir mustahil, dia tetap ingin mencoba—dia akan menggunakan rotan ini untuk mencekik serigala aneh dan tak kenal aturan ini!
Liu Zhenhan bukanlah tipe orang yang mau menerima kehancuran dengan sukarela.
