"Wu……""Wu……"
Suara terompet tanduk banteng yang semakin mendesak bergema di sebelah utara Desa Haike, sudut tenggara benua beku. Bersamaan dengan suara terompet, teriakan parau terdengar mendekat: "Serigala salju datang... Serigala salju datang, sekitar 20 ekor, cepat sembunyi semua! Tinggal 10 menit lagi mereka masuk desa!" Seorang pemburu terengah-engah muncul di pintu utara desa dengan mengendarai rusa salju.
Semua orang yang sedang bekerja di dalam dan luar desa langsung berhenti. Baik laki-laki, perempuan, tua, muda, mereka melepaskan alat kerja dari rusa salju dengan cepat, menggiring ayam salju di bawah atap ke dalam sangkar, mengumpulkan babi salju yang sedang makan ke dalam keranjang... Para penduduk membawa hewan ternak itu ke dalam rumah dengan gesit, serentak membuka selimut ranjang, mengangkat papan besi di bawahnya, lalu melemparkan hewan-hewan satu per satu ke dalam lubang. Terakhir, semua orang masuk ke dalam lubang dan mengunci pintu papan besi dari dalam.
"Ai Mi, cepat masuk!" Suara tua terdengar dari gubuk jerami kecil di selatan desa. "Serigala salju sudah dekat!" Suara kakek itu semakin gusar dan tegas.
"Tunggu sebentar, Kakek! Dua anak ayam salju yang baru menetas kemarin lari ke semak-semak." Suara kekanak-kanakan membalas dari luar pagar gubuk.
"Auuu... Wuuu..." Raungan serigala menggema dari kejauhan.
Kawanan serigala salju memiliki daya rusak yang sangat mengerikan, bukan hanya manusia, bahkan anjing pemburu yang ganas atau yak yang perkasa sekalipun, jika sudah menjadi target kawanan serigala salju, pasti tidak bisa lolos. Anak bernama Aimi ini, jika dia mengangkat kepala, akan melihat serigala salju terdepan sudah menerobos masuk ke persimpangan jalan, hanya berjarak beberapa puluh langkah darinya.
Bum——Pintu kayu rumah terbanting keras.
Seorang kakek berjanggut putih menyambar ke pintu pagar, mencengkeram kerah baju anak laki-laki yang bersembunyi di semak rendah, mengabaikan tendangan dan teriakannya, lalu menyeret si anak masuk ke dalam rumah.
Bayangan dua manusia baru saja bersembunyi di lubang bawah tempat tidur, sekawanan serigala salju sudah membanjiri ruangan. Serigala jantan terkuat berusaha membuka lempeng besi, sementara yang lain mengendus-endus sekelilingnya, embusan napas putih menyusup melalui celah-celah besi.
"Hikz... Kakek, anak ayam itu pasti sudah mati." Si anak di dalam lubang yang belum sepenuhnya paham masih mengingat-ingat dua anak ayamnya.
"Aimi, dengarkan Kakek. Anak ayam bisa ditetaskan lagi, nanti akan lebih banyak." Sang kakek membujuk cucunya.
"Kakek, di desa kita banyak pemburu, kenapa tidak ada yang membunuh serigala-salju itu? Waktu kita berburu beruang salju dulu, beruang salju lebih ganas dari serigala, tapi kita bisa membunuhnya. Kenapa semua orang tidak mau membunuh serigala salju?" Si anak bertanya sambil terisak-isak.
“Ah…” Si tua itu menghela napas panjang, “Serigala salju tidak boleh dibunuh. Siapa yang membunuhnya harus membayar dengan nyawa.”
“Lalu kenapa paman-paman dari luar waktu itu membunuh 30 lebih serigala salju?” bocah itu protes dengan wajah kesal.
“Mereka tentara bayaran. Tentara bayaran boleh membunuh serigala salju.” Si kakek tak ingin berpanjang lebar menerangkan pada cucunya.
“Kalau sudah besar, aku juga mau jadi tentara bayaran…” Bocah kecil yang masih berlinang air mata mengepal erat-erat tangannya.
Tak seorang pun menyangka bahwa dalam Perang Para Dewa, Tuan Ai Mi - seorang tentara bayaran yang menguasai dunia penciptaan, dunia naga, dunia iblis, sekaligus pemimpin trio Manusia-Naga-Dewa - justru termotivasi menjadi tentara bayaran hanya demi bisa membunuh serigala salju dengan leluasa. Namun dari sudut pandang “lebih baik punya satu cita-cita mulia daripada seribu angan kosong”, Tuan Ai Mi patut dipuji karena konsisten pada tekadnya.
Tapi bagaimana mungkin anak petani dari desa terpencil ini, seorang yang sejak lahir tak punya ambisi akan kekuasaan atau tahta, melalui perjuangan dan cobaan berat, akhirnya diakui para dewa sebagai pahlawan legendaris yang tak muncul selama ribuan tahun?
Jalan masih panjang...
