"Haha, si kecil lucu sekali." Lei Ge menunjukkan sifat baiknya yang khas, tersenyum mengulurkan tangan hitam kotor nan jeleknya ke naga kecil.
"Waa—uuggh—" Lü Er tak sungkan-sungkan, mungkin jijik melihat tangan tak dicuci lama, membuka mulut lebar untuk "mencuci" tangan itu dengan seksama.
"Hei, jangan digigit ya." Senyum penyihir tua itu semakin lebar, "Tangan ini sudah kusihir jadi batu, takkan bisa kau gigit."
"Ptui—ptui—" Lü Er patuh memuntahkan tangan itu, sambil terengah-engah terus meludah ke tanah. Ludah hijau aslinya kini berubah hitam setelah "mencuci" tangan sang magister. Cakar kecilnya mengusap-usap giginya, tampak benar-benar kesakitan.
“Anak muda, tadi kamu bilang namamu apa?” Efek petrifikasi belum sepenuhnya bekerja, darah hitam kemerahan masih merembes dari tangan hitam seperti batu sang penyihir tua Lei Ge. Sambil mengibaskan darah di tangannya, dia diam-diam mengalihkan target.
“Da Qing Shan,*Da Qing Shan.” Seperti namanya, Da Qing Shan - gunung besar yang kokoh dan tenang. Meski melihat ada yang mengincarnya, meski ada yang meremehkannya, seperti gunung megah yang tak pernah membalas kejahatan.
Mungkin sifat baik alamiahnya, gaya sederhana tanpa pretensi, serta prinsip menepati janji sepenuh hati inilah yang menarik perhatian naga es kuno.
Dibandingkan masa kecil Ai Mi yang penuh penyiksaan, masa remaja Da Qing Shan bahkan lebih suram.
10 tahun, saat sebagian besar anak masih terbiasa bersandar di pelukan ibu, Da Qing Shan sudah mulai berburu mandiri selama setahun.
Sulit dibayangkan, dalam badai salju yang menggila, bagaimana seorang bocah menghadapi mangsa yang ukurannya minimal dua kali lebih besar dari benua lain - atau lebih tepatnya, hewan-hewan itu justru mengincar Da Qing Shan sebagai mangsa.
Awalnya, beberapa warga masih memberinya makanan. Saat musim dingin tiba, siang hari hanya dua jam. Kebanyakan hewan berhibernasi, berburu skala besar mustahil. Setiap keluarga mengandalkan hasil buruan musim panas yang sedikit, hampir tak ada sisa untuk diberikan pada anak yatim.
Terus-menerus meminta makanan, ini jelas bukan hal yang bisa dilakukan Da Qing Shan di masa remajanya.
Siang yang pendek, malam yang panjang, hal yang paling sering dan paling diharapkan dilakukan Da Qing Shan berusia 9 tahun adalah - tidur.
Hanya dalam mimpi, dia bisa melupakan lapar; hanya dalam mimpi, dia bisa melihat sinar matahari; hanya dalam mimpi, dia bisa menyantap makanan harum; hanya dalam mimpi, dia bisa melihat orangtuanya sebelum longsor salju; dan hanya dalam mimpi, dia bisa menghemat tenaga.
Namun, bahkan dalam mimpi pun, rasa lapar seringkali tetap menyergap.
Kelaparan dan kedinginan menjadi ingatan paling mendalam dalam memori Da Qing Shan yang berusia 9 tahun.
Saat lapar tak tertahankan lagi, Da Qing Shan yang pusing dan lemah membawa harapan terakhirnya pergi ke luar, berharap bisa menangkap mangsa kecil seperti kelinci salju. Dia pernah mencoba menggali perangkap, memasang busur tanah, dan mengorek sarang kelinci salju.
Mangsa di daratan es telah lama beradaptasi dengan aktivitas perburuan manusia. Kecuali pengepungan besar-besaran, sebagian besar hewan bisa menghindari kegiatan berburu, apalagi trik kekanak-kanakan seorang anak kecil.
Ayah Da Qing Shan meninggalkan busur panah baja untuknya, tapi mana mungkin anak laki-laki 9 tahun memiliki kekuatan untuk menarik busur yang bahkan orang dewasa pun kesulitan melakukannya.
Sesekali, di lereng salju yang terkena sinar matahari, Da Qing Shan menemukan kelinci salju, tikus salju, atau ayam salju yang mati beku di malam hari. Tapi lebih sering, setiap kali berburu dia pulang dengan tangan hampa atau hanya mengumpulkan sayuran beku yang masih bisa dimakan.
“Melihat tubuh Da Qing Shan yang semakin lemah dan langkahnya yang semakin goyah, kebanyakan warga desa tahu: anak ini tidak akan mampu melewati musim dingin yang dingin ini. Tidak bisa membantu, benua yang membeku memang kejam seperti ini, persediaan makanan sangat terbatas…”
“Hingga suatu senja, warga desa tiba-tiba melihat Da Qing Shan berjalan terhuyung-huyung sendirian dari luar desa, sambil menarik-narik dengan susah payah seekor binatang karnivora besar – macan tutul salju.”
“Semua orang tertegun.”
“Di pedalaman Gunung Longya, macan tutul salju memiliki tubuh yang sangat lincah, cakar dan taring yang tajam, tubuh besar, bisa memanjat pohon dan berenang, kekuatan serangannya paling mematikan. Seekor macan tutul salju bahkan bisa membunuh sekawanan serigala salju sendirian.”
“Pemburu umumnya menjauhi macan tutul salju, bahkan 10 pemburu sekalipun belum tentu bisa membunuh seekor macan tutul salju.”
“Bagaimana mungkin seorang anak yatim piatu bisa membunuhnya?”
“Di musim dingin, hubungan antar warga di desa ini sangat dingin. Tidak ada yang saling mengunjungi, bukan hanya karena duduk menghemat tenaga dan panas tubuh, tapi lebih karena takut ‘tidak ada urusan penting yang mendatangi rumah orang’. Semakin banyak yang berprasangka: ‘Jangan-jangan macan tutul itu mati kedinginan?’”
“Tidak tahu.”
“Lihat, dia tidak terluka, mana mungkin bunuh macan tutul tanpa luka?”
“Lihat lagi, tubuh macan tutulnya juga tidak ada luka.”
“Macan tutul itu sepertinya bukan mati beku, tubuhnya masih lunak.”
Seperti biasa dalam diam, Da Qing Shan dengan susah payah menyeret macan tutul salju pulang ke rumah. Kemudian membedahnya, mengisi baskom dengan salju dan meletakkannya di panci, mengumpulkan kayu kering, menunduk menyalakan api. Cerobong asap rumah kecil yang lama tidak berasap akhirnya mengepulkan asap tipis, aroma daging yang sudah lama tidak tercium perlahan menyebar dari dalam rumah ke seluruh sudut desa.
Daging matang. Bocah lelaki itu menyajikan potongan terbaik dalam baskom kayu. Dengan memeluk baskom besar sendirian, ia mengantarkan ke setiap rumah warga yang pernah membantunya. Masih dengan sifat pendiamnya, mengetuk pintu - membungkuk: "Terima kasih Paman/Bibi/Kakek/Nenek." Meletakkan daging - pergi.
Dua hari kemudian, di senja yang sama, warga desa kembali melihat sosok kecil kurus berjuang datang dari hamparan salju. Lagi-lagi Da Qing Shan, kali ini menyeret sesuatu - dua rubah salju!?
Di benua beku ini, hewan paling licik adalah rubah. Berbeda dengan hewan lain di daratan, rubah salju tetap memiliki bulu merah darah bahkan di musim dingin. Meski begitu mencolok, hampir tidak ada pemburu yang bisa menangkap rubah. Dan umumnya pemburu pun enggan berburu rubah.
Beberapa tahun lalu, seorang pemburu melukai rubah salju. Sejak hari itu, rubah-rubah terus mengunjungi rumahnya. Ayam-ayamnya mulai mati satu per satu digigit dan diseret pergi, semuanya terbunuh. Kemudian, rubah mengincar babi. Tapi babi terlalu besar, meski dibunuh tak bisa dibawa pergi. Rubah licik itu menunggangi punggung babi, menggigit telinganya sebagai setir, menggunakan ekor besar sebagai cambuk, menggiring babi itu kembali ke sarang rubah lalu membunuh dan memakannya.
Sejak saat itu, tak ada yang berani mengganggu rubah. Bagaimana anak kecil ini bisa membunuhnya? Bahkan sekali tembak langsung dua ekor!
Dalam diam, Da Qingshan pulang ke rumah, membersihkan isi perut hewan, memasak daging. Daging rubah tidak enak, tapi di musim dingin, yang penting ada makanan. Setelah matang, seperti sebelumnya: daging terbaik ditaruh dalam baskom kayu, dibagikan ke rumah-rumah warga yang pernah menolongnya. Dengan sikap pendiamnya, dia mengetuk pintu, membungkuk: "Terima kasih Paman/Bibi/Kakek/Nenek." Menaruh daging, lalu pergi.
Demikianlah, setiap beberapa hari, Da Qingshan membawa pulang satu dua ekor hewan karnivora besar ke desa. Gubuk reyot peninggalan orangtuanya menjadi satu-satunya rumah di desa yang asapnya mengepul tiap hari. Warga yang pernah menolongnya tak lagi khawatir soal makanan.
Di halaman gubuk, kulit-kulit hewan karnivora yang telah disamak semakin menumpuk, ditopang batang kayu keras.
Saat itu, mulai beredar rumor di desa: Setelah orang tua Da Qing Shan tewas akibat longsor salju yang ditimpakan dewa gunung, sang dewa memilih Da Qing Shan sebagai ahli waris. Maka diperintahkanlah hewan karnivora untuk bunuh diri di hadapannya agar dimakan - bukankah tidak ada satupun hewan yang terluka? Sejak itu, semakin sedikit yang berani berbicara padanya.
Musim dingin yang membeku telah berlalu. Yatim piatu yang seharusnya mati kelaparan justru tumbuh lebih kuat dari anak desa berkat persediaan makanan melimpah. Baju lamanya robek. Bocah lelaki ini membelah kulit hewan yang telah diproses, menggunakan tulang sebagai jarum dan urat binatang sebagai benang, lalu menjahit baju untuk dirinya sendiri.
Di musim panas tahun ini, rumor tentang ahli waris dewa gunung terbukti lagi: Ketika Da Qing Shan yang menghilang beberapa hari berturut-turut kembali ke desa, orang-orang menemukan bocah lelaki itu kini ditemani seekor anjing kecil hijau. Anjing ini berjalan dengan dua kaki, dan semua binatang langsung mengalami inkontinensia alvi et urinae serta gemetar ketakutan begitu melihatnya – selain anjing suci penjaga gunung pemberian dewa gunung, anjing macam apa lagi yang memiliki kewibawaan sebesar ini?
