Bahaya sering datang lebih cepat dari yang dibayangkan orang.
Baru saja para pejabat kekaisaran berbalik arah menuruni lereng bukit, derap kaki pasukan ksatria dalam jumlah besar sudah terdengar samar dari kejauhan. Bumi bergetar, cabang-cabang pohon di lereng bergoyang mengguncang tumpukan salju yang berhamburan.
Da Qing Shan yang berada di paling bawah segera membungkuk dan menyelinap cepat menyusuri semak-semak kecil menuju puncak bukit. Beberapa tarikan napas kemudian, remaja itu meluncur turun melalui lapisan salju di lereng. Dengan wajah penuh kelegaan ia berbisik, "Setidaknya ada 500 pasukan ksatria. Dari debu salju yang beterbangan, sepertinya mereka berada sekitar 1000 meter di luar, sudah membentuk lingkaran pengepungan. Ayo cepat pergi!"
Para perwira departemen militer kekaisaran juga terlihat lega. Pencarian sistem jaring seperti ini biasanya menggunakan 100 kavaleri sebagai unit dasar. Setiap kali jaring ditarik sepanjang 300-400 meter, separuh ksatria bertindak sebagai jaring, sementara separuh lainnya melakukan pencarian menyeluruh ke belakang. Jadi meskipun terlihat luas, dengan ratusan ksatria yang berpacu cepat, proses pencarian mundur inilah yang paling memakan waktu. Target buruan akan aman sementara selama tidak terperangkap dalam mata jaring atau terdeteksi pasukan kavaleri kecil yang berpatroli di pinggiran.
Pergi! Satu-satunya cara melarikan diri dari ksatria adalah memasuki hutan lebat.
Saat ini tidak sempat menghapus jejak kaki. Asalkan musuh tidak menemukan jejak sebelum gelap, angin barat laut di malam hari (jika tidak ada salju) akan menghapus semua jejak. Hanya bisa berharap... Berharap pada siapa? Dewa Cahaya yang seharusnya menjadi tempat memohon ternyata sudah sepenuhnya berpihak pada Kaisar Barat. Lebih baik berdoa pada Langit, yang menurut legenda berada di atas 12 Dewa Utama sebagai Dewa Pencipta.
Jenderal Luo Hui membagi sisa 30-an Pasukan Pengawal Kekaisaran, Utusan Istana, dan Ksatria Binatang Legenda muda menjadi tiga kelompok. 4 Pasukan Pengawal menyertai Da Qing Shan dan dua prajurit Pasukan Bayaran Kecil membuka jalan di depan - Luo Hui sangat memahami keunggulan Pasukan Bayaran Kecil di medan salju. Di kedua sisi rombongan, 10 prajurit bertugas membantu bangsawan tua yang lemah. Di barisan belakang ada 4 Ksatria Binatang Legenda, sementara di samping Kaisar Hongshi juga ditempatkan 4 Ksatria Binatang Legenda.
“Matahari cepat condong ke barat, angin berhembus di lembah, salju sisa seperti pisau mengiris wajah. Sebagian besar bangsawan dalam rombongan yang terbiasa hidup nyaman mungkin belum pernah mengalami cobaan seperti ini. Wajah kebanyakan mereka berdarah, entah karena angin atau goresan ranting. Tiga Kepala Keluarga dari keluarga terkemuka adalah perempuan yang sudah menangis tersedu-sedu. Andai bukan karena kehadiran Kanjeng Raja, mungkin mereka sudah terjatuh tak berdaya.
Ksatria Binatang Legenda yang menjaga belakang tiba-tiba menyusul cepat, berbisik kepada para pejabat departemen militer: "Lapor Tuan, ada regu kavaleri pengintai musuh 500 meter di selatan, sekitar 20 orang. Mereka sedang mendatangi kita secara diagonal."
Wajah para perwira berkerut. Kavaleri pengintai adalah pembunuh terbesar dalam operasi jaring lebar. Mereka biasanya prajurit elit militer yang sangat gagah berani. Jika tertangkap, orang yang terpisah akan langsung dipenggal dengan kepala disimpan sebagai bukti klaim jasa militer. Jika menemukan pasukan besar musuh, sebagian akan terus mengganggu dan melacak sementara sisanya kembali untuk memanggil pasukan utama.
"Cepat, berkumpul di lembah kecil di depan! Semua diam!" Luo Hui sangat memahami bahaya kavaleri pengintai.
Baru saja mereka memasuki lembah kecil, suara teriakan ksatria dan sorakan kepada tunggangan sudah terdengar dari kejauhan.
“Kerajaan Hami Yang Mulia Jenderal Mordhena juga berada di antara orang-orang yang terlantar, bersama beliau adalah Pangeran Kedua Kerajaan Hami serta Cucu Mahkota Kerajaan Hami Utara dan panglima terhebat Kerajaan Hami Utara, Rodek. Orang Hami memiliki keterikatan alami dengan salju, di padang salju mereka tidak takut pada musuh manapun.”
Melihat pasukan pengejar semakin mendekat, Mordhena menatap Rodek. Keduanya mengangguk dan berbisik kepada Jenderal Luo Hui: "Yang Mulia Jenderal, pasukan pengejar pasti akan menemukan kami. Jejak yang kami tinggalkan terlalu banyak. Kita harus membasmi pasukan kavaleri pengintai ini!"
Senyum kecut mengembang di bibir Luo Hui. Membunuh lebih dari 20 pasukan kavaleri pengintai membutuhkan setidaknya 40 ksatria. Jika satu saja lolos, bencana besar akan datang berikutnya. Namun, mengandalkan kelalaian musuh untuk tidak menemukan jejak pelarian, lebih baik mengambil risiko besar dengan bertarung habis-habisan.
Yang Mulia Jenderal mengangkat tangan memanggil 4 Ksatria Binatang Legenda muda, bersama tiga Ksatria Binatang Legenda terakhir dari departemen militer. Saat hendak berangkat, Da Qing Shan menghentikan mereka.
"Jenderal, tunggu sebentar. Jika langsung keluar seperti ini, pasti akan langsung terdeteksi musuh. Pasti ada yang melapor. Lebih baik kita menyiapkan penyergapan." Hanya dalam beberapa menit, pemuda itu mengutarakan rencana dengan santai.
Beberapa pejabat departemen militer terkejut. Di antara para pemuda Pasukan Bayaran Kecil, Da Qing Shan dikenal sebagai sosok yang tenang. Ungkapan tentang penyergapan seperti ini seharusnya tidak keluar darinya... Tampaknya para pemuda Pasukan Bayaran Kecil ini memiliki sisi yang tersembunyi. Namun, semua orang harus mengakui bahwa godaan penyergapan yang dibahas cukup menarik.
……
Dua puluh ksatria yang mendekat waspada mengamati sekeliling. Kuda dan manusia sama-sama mengeluarkan uap napas panas. Tiba-tiba, dua ksatria terdepan menarik tali kekang sambil memberi isyarat diam kepada rekan-rekan. Kuda perang berputar-putar di tempat, menyemburkan salju ke segala penjuru.
Samar-samar, tangisan terdengar dari lembah di sisi bukit.
Komandan ksatria menggerakkan tangannya memerintahkan anak buah untuk mengepung dari dua arah. Saat melewati lereng bukit kecil, terlihat dua orang berbaju mewah terbaring dan dua lainnya berlutut di lembah. Kemewahan pakaian mereka agak mirip dengan target pengejaran yang diperintahkan atasan.
Ksatria di kedua sisi mengeluarkan sorak kemenangan. Kuda perang melompat turun, pedang melengkung berkilauan diacungkan tinggi-tinggi - mengingat urusan ini sangat penting, siapapun mereka, para pengejar mendapat perintah untuk tidak menyisakan nyawa.
Orang yang menangis mendengar derap kaki kuda. Mereka menoleh panik memperlihatkan wajah pucat, ternyata dua anak kecil. Ketakutan, mereka bergegas bangkit dan lari terbirit-birit, tersandung-sambil merangkak. Namun tampaknya mereka belum kehilangan akal sehat sepenuhnya, langsung menyelamatkan diri ke hutan terdekat.
Di tengah salju, meski kecepatan kuda perang melambat, tetap jauh lebih cepat daripada lari manusia. Ksatria terdepan mendekat cepat, menggantung pedang dan mengambil tombak ksatria. Tombak sepanjang 3.7 meter dihujamkan ke depan. Anak yang lari di belakang tersandung, ujung tombak kehilangan akurasi dan menancap ke tanah dengan brak. Ksatria bereaksi cepat, melemparkan tombak lalu menghunus pedang melengkung untuk menebas. Anak yang terjatuh itu seolah merasakan pedang mengaum di atas kepalanya, menangis keras sambil memeluk kepala dan menggelinding turun lereng bukit.
Lebih dari 20 ksatria berputar-putar di puncak bukit kecil. Dua target mereka yang berlumuran salju seperti bola salju itu tergeletak tak bergerak di lereng.
Berkuda di salju paling berbahaya saat turun lereng, terutama yang memiliki sudut lebih dari 20°. Ladam kuda yang licin oleh air salju mudah terpeleset di atas es. Sedikit ceroboh, kaki kuda bisa patah oleh batu atau batang pohon tersembunyi. Para ksatria mengerutkan kening, meninggalkan tiga rekan di lereng sebagai penjaga, sementara 10 lebih kuda lainnya berzig-zag turun.
Dua ksatria terdepan melompat turun dari punggung kuda, membawa pedang sabit menghampiri dua remaja. Tampaknya mereka hanya ingin menyisakan satu tawanan untuk interogasi. Salah satu ksatria mengangkat pedangnya tinggi-tinggi lalu mengayunkan tebasan keras.
Dentang logam membelah kekosongan tiba-tiba bergema...
Tiba-tiba...
Dua remaja yang tengkurap di tanah bergerak bersamaan. Saat tangan dan kaki mereka melambai, gumpalan salju besar beterbangan dari tanah menghantam wajah dua ksatria. Di balik serpihan salju putih yang dingin, tersembunyi dua pedang perak yang memancarkan aura dingin nan mematikan, menghancurkan udara dan menusuk ke arah kedua ksatria—posisi pemburu dan yang diburu tiba-tiba berubah. Wajah kedua ksatria dipenuhi pecahan salju, dalam panik mereka berusaha memutar tubuh, namun arah dan kecepatan serangan lawan melampaui reaksi prajurit biasa. Kedua ksatria tertusuk bersamaan. Pedang panjang itu tak berhenti sejenak, mencabut sambil menyayat ke atas. Dua aliran darah menyembur di antara serpihan salju putih, terlihat sangat mencolok.
Sepuluh lebih ksatria lainnya baru saja menahan kuda, belum sempat mengkoordinasikan senjata untuk memberi bantuan pada rekan mereka. Baru saja teriakan kesakitan ksatria terdengar, dari dasar lembah berpuluh gumpalan salju meledak beruntun. Dari gumpalan salju, empat petarung berbalut ketat putih—ada yang tinggi ada yang pendek—berlari paling depan. Setiap orang memegang pedang melengkung bulan salju dengan desain seragam. Beberapa ksatria langsung mengenali senjata khas Orang Hami, segera memberi peringatan pada rekan—di medan salju, prajurit biasa sangat sulit melawan Orang Hami. Keempat orang ini jelas merupakan yang terbaik di antara Orang Hami.
Pada saat yang sama, dari bawah kuda ksatria tiba-tiba muncul dua pedang tusuk hitam panjang yang menusuk perut dua ksatria melalui pelana kuda. Ujung pedang yang berlumuran darah muncul diam-diam dari punggung ksatria lalu menghilang lagi. Dua ksatria itu tak percaya dengan apa yang terjadi, tubuh mereka lunglai jatuh dari kuda sambil kehilangan kemampuan bersuara.
Dua manusia salju melompat keluar dari tumpukan salju, Pedang Hitam kembali menyambar punggung dua ksatria lainnya...
Yang membuat para ksatria putus asa adalah, dari penyergap ternyata ada lima enam orang yang memanggil Binatang Gaib dan terbang ke udara. Tiga ksatria penjaga di kejauhan langsung membalikkan kuda, menempelkan tubuh di punggung kuda, mencambuk kuda mereka sekuat tenaga untuk melarikan diri lewat jalan yang sama - 20 lebih ksatria paling banyak hanya bisa melawan dua tiga Ksatria Binatang Legenda. Kalau tidak kabur sekarang, bahkan pengirim pesan pun tidak akan tersisa.
Prajurit penyergap juga melihat musuh yang kabur. Tiga Ksatria Binatang Legenda meneriakkan komando pada tunggangannya, menghindari medan perang di depan. Kaki tiga Binatang Gaib itu memancarkan gemicik cahaya, membawa penunggangnya melayang naik perlahan.
Tiga ksatria di punggung kuda itu memeluk leher tunggangan erat-erat, tiga tombak ksatria diarahkan ke langit untuk bertahan dari serangan udara Ksatria Binatang Legenda.
Di wilayah hutan lebat, ksatria binatang gaib biasa tidak memiliki keunggulan mutlak melawan ksatria biasa. Begitu binatang gaib terbang ke udara, mereka akan terhambat oleh ranting dan daun, sementara di darat keunggulan mereka hilang. Tiga ksatria ini tampak sangat berpengalaman, menempel di punggung kuda dan membiarkan kuda-kuda berlari masuk ke hutan, dengan tiga tombak panjang menghadap ke langit untuk bertahan dari serangan mendadak ksatria binatang legenda.
Tiba-tiba, perubahan drastis terjadi lagi.
Saat ketiga kuda melewati dua mayat yang baru saja roboh, kilatan cahaya putih seperti salju menyambar. Dua mayat itu tiba-tiba melompat dari tanah. Salah satunya meraih pedang panjang berkilauan dari salju dan mengayunkan dengan kekuatan penuh, menebas udara. Ksatria di depan yang fokus bertahan dari serangan ksatria binatang gaib di udara sama sekali tidak menyangka ada penyergapan di sini. Dalam kepanikan, ksatria itu masih menunjukkan performa luar biasa dengan mengangkat gagang tombak menggunakan tangan kanannya untuk menahan pedang.
Semua orang menyaksikan tusukan ini. Kebanyakan menunggu secara refleks dentuman keras saat pedang dan tombak baja bertabrakan. Tapi...
Kilatan tiba-tiba membesar. Setelah keheningan sesaat, benda berat terjatuh ke salju dengan suara gemuruh. Genangan darah seperti tumpahan baskom mewarnai tanah merah - ksatria di atas kuda terpotong dua di pinggang. Da Qing Shan berhasil menyerang, seluruh tubuhnya merah seperti baru keluar dari kolam darah.
Seorang prajurit lain yang menyamar sebagai mayat melompat dari tanah dan berlutut setengah di tanah, kedua tangan memegang pedang. Pedang panjang berambut hitam menusuk miring ke perut kuda. Pedang tipis merobek semua organ dalam kuda dengan kekuatan dorong besar kuda perang, mencuat setengah kaki dari punggung kuda dan menembus kaki ksatria. Kuda perang melenguh pilu sambil terseret beberapa langkah ke depan bersama ksatria dan penyergap sebelum jatuh. Ksatria terlempar dan menabrak pohon besar hingga tak bersuara.
Kuda perang di belakang melihat kuda jatuh di depannya, secara refleks melompat ke udara menghindari bangkai sekaligus serangan pedang ajaib Xing Han di tangan Da Qing Shan. Ksatria di atasnya menunduk melihat kilau menyilaukan yang menyapu tepat di bawah kuku kuda. Dengan panik ia melemparkan tombak panjang ke arah Da Qing Shan, lalu menempel erat di punggung kuda sambil berlari ke hutan lebat tanpa menengok.
Ranting-ranting pohon yang rapat menyapu ke arahnya, Ksatria Binatang Legenda yang mengejar di depan tidak sempat menghindar dan membentur semak-semak dengan keras. Saat benturan, binatang gaib langsung menunjukkan perbedaan dari tunggangan biasa, mengikuti kehendak ksatria, memutar tubuhnya untuk menahan hantaman frontal. Bagian bawah leher tertusuk ranting, darah mengucur deras. Binatang gaib itu meraung lalu berubah menjadi partikel cahaya yang menghilang. Dua ksatria binatang legenda lainnya menarik binatang mereka, melesat tepat di bawah puncak pohon... Dengan kecepatan ini, apakah bisa menyusul musuh sebelum mereka menemukan pasukan besar masih menjadi tanda tanya.
Tubuh Da Qing Shan yang berlumuran darah melonjak. Pedang Panjang diayunkan ke belakang punggungnya. Derap langkahnya tak henti mengejar. Yang mengejutkan semua orang, kecepatan Da Qing Shan bahkan melebihi kuda perang. Salju setinggi lutut seolah tak berarti. Seperti macan tutul salju, setiap kali mendarat langsung melompat. Setelah 10 tarikan napas, Da Qing Shan sudah menyusul kuda perang. Dengan lentur tubuhnya melayang, Pedang Panjang menebas dari belakang punggung ksatria. Ksatria dan kuda perang itu bahkan tak sempat berteriak sebelum terbelah dua.
Dalam beberapa menit terakhir, pertempuran penyergapan lainnya juga telah berakhir sepenuhnya. Ksatria biasa memang memiliki sedikit keunggulan dibanding infanteri di medan datar, namun di tengah hutan dengan salju setinggi lutut, kuda sama sekali tidak bisa bermanuver. Baik empat prajurit Hami maupun dua Penghadang dari Pasukan Bayaran Kecil yang selama ini tersembunyi, penguasaan mereka terhadap medan bersalju jauh melebihi prajurit biasa. Serangan mendadak dari tiga Ksatria Binatang Legenda di udara juga mustahil dihadang. Pertempuran dalam lingkaran penyergapan ini benar-benar sepihak.
Semua orang menyaksikan proses ksatria terakhir di sini yang terpotong menjadi dua bagian di pinggang. Darah segar dari manusia dan kuda menyembur deras ke tubuh Da Qing Shan. Remaja itu tersenyum getir sambil menggosok gumpalan darah yang telah membeku menjadi kristal es di wajahnya.
Qian Shan*Long, wakil komandan Batalion Penghadang yang berpura-pura menjadi mayat bersama Da Qing Shan, baru saja terhempas keras oleh kuda perang. Dengan luka cukup parah, ia berdiri terhuyung-huyung lalu meludahkan busa darah dari mulutnya. Dari dalam jubahnya ia mengeluarkan dua perban penahan darah, melemparkan satu ke Da Qing Shan dan mengikat satunya lagi di bahu kirinya sendiri.
Saat Da Qing Shan dan rombongan kembali ke lembah kecil, Kaisar Hongshi dan bangsawan kekaisaran seperti Luo Hui hampir tidak bisa mengenali remaja jujur ini. Dari kepala hingga kaki penuh darah yang sebagian besar telah membeku dalam angin dingin, setiap langkahnya mengeluarkan bunyi gemeretak. Beberapa anggota Pasukan Bayaran Kecil di belakangnya membawa 16 tunggangan yang baru saja direbut.
Dua ksatria binatang legenda dari departemen militer tak henti-hentinya memuji rencana Da Qing Shan dan ketajaman mirip macan tutul salju serta daya serangnya di hadapan semua orang.
Sang Kaisar mendekat dengan penuh perhatian bertanya, "Da Qing Shan, lukamu parah tidak?"
Panglima Hami bernama Rodke di samping dengan bangga menjawab, "Bagaimana mungkin pejuang Benua Beku bisa dikalahkan prajurit lain di medan salju? Tuan Da Qing Shan sebagai utusan dewa Gunung Naga, meski melawan dua lawan sekaligus, mana mungkin terluka?"
Da Qing Shan melirik Rodke dengan heran. Di balik alis tebal pemuda Hami itu, sepasang mata penuh kebaikan berbinar. Ia mengulurkan tangan besar, "Saya Rodke. Adik saya bernama Rhodes." Melihat ekspresi bingung Da Qing Shan belum hilang, orang Hami itu menambahkan, "Di dunia tentara bayaran, dia punya nama samaran - Qianlixue."
Ah? Qianlixue? Da Qing Shan langsung teringat nama itu - pendekar seperguruan yang berada satu kelompok tentara bayaran dengan Baiyi A Feng. Pada akhirnya, prajurit itu mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan A Feng.
Mata Da Qing Shan agak berkaca-kaca. Tangan berlumuran darah itu erat menggenggam tangan besar prajurit Hami.
Di berbagai kekaisaran, seringkali bangsawan yang bergabung ke pasukan bayaran - baik sukarela maupun terpaksa - mengganti nama demi menjaga kehormatan keluarga. Baru setelah sukses, nama asli akan dipakai kembali. Tampaknya, Baiyi A Feng juga salah satu contohnya.
Seorang pahlawan Hami lainnya, Mordhanna, tidak ramah terhadap Da Qing Shan. Ia menyeringai sengaja berkata: "Ini bukan apa-apa. Jika aku yang menyergap di sana, satu orang pasti bisa mengalahkan tiga orang mereka."
Da Qing Shan yang berwatak baik hanya tersenyum ramah, tidak memberikan penjelasan.
Tak disangka, lawannya sama sekali tak mau mengalah. Di hadapan dua pangeran dan Raja Kekaisaran, ia terus memprovokasi: "Terlihat hebat, padahal cuma mengandalkan Naga Suci yang masih bau kencur. Hei... mana nagamu sekarang? Kenapa tidak ditunjukkan untuk menakut-nakuti? Apa para ksatria biasa ini tidak pantas?"
Da Qing Shan hanya bisa pasrah. Saat hendak menjelaskan, Pangeran Kedua Kekaisaran Hami di sebelah Mordhanna membuka rahasia: "Da Qing Shan, maafkan kami. Jangan tersinggung... Yang Mulia Jenderal Mordhanna ini adalah keponakan langsung Marquis Han Meng sang Kesatria Naga... Kau pasti mengerti maksudku."
Da Qing Shan tidak menyangka bisa bertemu kerabat dua orang kenalannya dalam kesempatan yang sama, lalu teringat pertempuran naga ganda dengan Kesatria Naga Marquis Han Meng. Tentu saja dia paham alasan sikap buruk prajurit Hami ini terhadapnya——Setelah meninggalkan benua beku, melalui Bar Pohon Pasukan Bayaran Kecil yang beroperasi di benua tersebut, Da Qing Shan mengetahui sedikit tentang kemerosotan keluarga Marquis Han Meng dan Menteri Urusan Militer Hami yang harus hidup sederhana seperti Viscount Fan. Ketebalan muka Da Qing Shan jauh tidak sebanding dengan Amy, meski tidak merasa bersalah namun sudah muncul rasa menyesal dalam hatinya.
Menghadapi keturunan keluarga Marquis saat ini, wajah Da Qing Shan langsung memerah seolah takut ditagih utang. Menundukkan kepala, kakinya menggambar lingkaran malu-malu di atas salju, bergumam pelan sambil meminta maaf: "Ini... ini... Waktu itu... Sungguh memalukan, tolong sampaikan permohonan maafku dan Amy kepada Yang Mulia Marquis Han Meng..."
Pangeran Kedua dengan ceria menepuk pantat Yang Mulia Jenderal Modenhana: "Da Qing Shan, kau terlalu polos. Benarkah kau pikir dia marah karena pamannya kalah darimu? Dia pantas menerimanya! Saat ikut taruhan dulu, kubilang dia taruh 2.000 koin emas di kedua sisi. Tapi dia sama sekali tak percaya padamu, 4.000 koin emas semuanya dipertaruhkan untuk pamannya. Hasilnya... hehe... si 'suami yang dikuasai istri' ini sampai hampir jadi pekerja malam di bar pohon karena tekanan kakak perempuanku. Resiko judi harus ditanggung, mana bisa menyalahkanmu?"
Modenhana tak menyangka iparnya membongkar aibnya di depan umum. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa pada Pangeran, wajahnya memerah selevel Da Qingshan. Rodek tersenyum menariknya ke pinggir rombongan untuk menghindari malu.
Kaisar Hongshi dan para menteri kekaisaran sedikit banyak tahu cerita ini tapi tidak detail. Dengan adanya pihak yang terlibat di sini, rasa ingin tahu mereka berkobar. Pangeran Kedua yang sangat antusias mulai bercerita sambil berjalan, mulai dari peristiwa batu giling di perbatasan kekaisaran hingga detail Pertempuran Naga Ganda.
Para pejabat utama departemen militer Kekaisaran saat ini yang termuda berusia sekitar 40 tahun. Di masa muda mereka, dengan durasi berbeda-beda, pernah bertugas di Federasi Utara. Saat itu, Kekaisaran masih beberapa kali berperang dengan Kerajaan Hami, yang selalu berakhir dengan pasukan Hami terkepung di Benteng Es sementara pasukan Kekaisaran terpaksa mundur. Mendengar Jenderal Chi Hanfeng pernah melakukan pertunjukan luar biasa seperti itu, membuat orang Hami yang sombong di dataran salju sampai harus menjual celana, mereka dengan sengaja atau tidak bersorak tertawa terbahak-bahak. Beberapa bahkan mengejek bahwa berani menantang ahli pengumpul kekayaan nomor satu Kekaisaran beserta murid kesayangannya sama saja mencari masalah. Dua perwira yang lebih muda bahkan bersemangat bertanya: Apakah benar adik Marquis Han Meng atau Earl Han Meng dulu dijual ke kota lain sebagai gigolo tengah malam atau spesimen pameran unggulan kebun binatang? Kalau tidak, mengapa Jenderal Merdehanna masih menyimpan dendam sampai sekarang?
Kalau begitu, keputusan Jenderal Merdehanna bekerja sebagai bebek di Bar Pohon belum tentu karena dipaksa Yang Mulia Putri. Bisa jadi ini adalah tradisi keluarga bangsawan terhormat dari garis keturunannya? Mungkin leluhur mereka menjadi bangsawan dan Kesatria Naga berkat kemampuan tempur yang luar biasa di bidang ini? Tapi, apakah Naga Raksasa juga mengapresiasi kemampuan mereka? Apakah Naga punya kebutuhan di bidang tersebut? Sepertinya... ukurannya tidak cocok... dan seterusnya.
Ah... di tempat berkumpulnya para lelaki, selalu ada hal-hal yang tidak pantas... Tapi... Di sisi ini, mana ada Da Qing Shan punya hak bicara sedikitpun.
Mordhenana benar-benar kalah, namun tidak bisa meluapkan amarah karena memang dirinya yang memulai. Akhirnya dia menyelinap ke barisan belakang.
