Pukulan mendadak ini membuat sepertiga keluarga di Kota Sakamachi kehilangan anggota keluarga. Di bawah cengkeraman besi penakluk, seluruh penduduk kehilangan semangat melawan! Bahkan keinginan untuk melarikan diri pun sirna - kaki manusia secepat apa pun, kuda berkaki sebanyak apa pun, mana bisa menandingi burung ganas di langit? Apalagi dengan legenda Ksatria Binatang Gaib. Di padang rumput luas, bahkan seekor domba pun tak bisa bersembunyi, apalagi manusia.
Jika ada yang patut disyukuri, pasukan musuh ternyata adalah ksatria reguler. Sebagian besar bahkan tidak memasuki kota, langsung mendirikan perkemahan di pinggiran. Jika itu perampok... mungkin tak banyak perempuan di kota ini yang selamat.
Dua pandai besi di kota tiba-tiba menjadi tempat paling berharga. Seluruh penduduk mencabut semua perabot besi di rumah, bahkan termasuk lonceng besi di pusat kota dan paku kecil yang tertanam di dinding. Semua dikirim ke pandai besi untuk dilebur. Empat pandai besi mengerahkan warga bekerja siang-malam tanpa henti membuat ujung panah. Ayam, bebek, dan angsa milik warga menjadi korban - semuanya dibantai dalam semalam. Busur tanduk tidak terlalu ketat dalam persyaratan sirip ekor, dan memang banyak negara yang menggunakan bulu terbang terbesar dari sayap unggas untuk membuat panah busur tanduk.
Persyaratan anak panah busur silang jauh lebih tinggi. Kayu besi - hanya dimiliki keluarga kaya, dan kebanyakan berupa perabot besar. Kini semuanya terpaksa dibongkar...
Kota Sakamachi, kecuali anak-anak yang belum mengerti, hampir semua orang bertahan selama tiga hari tiga malam. Hingga pagi hari keempat, semua panah ditempatkan di alun-alun kota.
Masih kelompok ksatria berbaju hitam yang sama. Kuku besi Naga Tanah kembali menghancurkan jalan batu kota. Ksatria Burung Ganas juga memenuhi atap rumah. Di bawah matahari pagi, pedang panjang hitam dan ujung panah perak memancarkan cahaya menyilaukan. Jelas para ksatria masih menjaga kewaspadaan terhadap kota yang telah ditaklukkan ini.
Lebih dari sepuluh ksatria ringan turun dari kuda. Mereka memeriksa satu per satu tenaga kerja puncak usia, lalu mengambil sampel beberapa karung pangan dan pakan kacang. Tak ada masalah. Ksatria berhias bulu biru memerintahkan tenaga kerja untuk memindahkan semua persediaan pangan ke gerobak.
Saat memeriksa persediaan panah, muncul masalah. Busur silang hanya tersedia lebih dari 890 batang. Semua kayu besi kota telah digunakan, tetap tidak bisa memproduksi 1000 batang busur silang. Namun wali kota sementara jauh lebih pintar dari pendahulunya. Dengan tangan gemetar ia menyerahkan bungkusan: "Tuan, kami benar-benar kehabisan bahan kayu. Ini 32.000 koin emas tabungan seluruh warga. Bisakah Tuan mengkonversinya sebagai pengganti busur silang?"
Ksatria bertopeng tengkorak berpikir sejenak, lalu mengayunkan cambuk kuda untuk mengambil bungkusan dan melemparkannya ke ksatria di belakangnya: "Baik! Dua anak panah busur silang setara dengan satu tenaga kerja. Siapkan 50 tenaga kerja dan 100 kuda untuk ikut dengan pasukan!"
"Ya, ya, ya." Walikota sementara langsung menyetujui. Tenaga kerja kuat yang ikut militer belum tentu mati, tapi jika menolak menyerahkan... mungkin benar-benar akan dibantai... Semua orang tahu menghitung risiko ini.
"Setelah kami pergi, tempat ini dilarang menerima pasukan mana pun! Setiap bulan, tiap rumah wajib menyediakan 200 kilogram persediaan pangan dan 200 kilogram kacang kuda. Kami akan kirim petugas khusus untuk mengambil. Jika tidak memenuhi..." Topeng tengkorak itu menatap tajam 300 lebih tenaga kerja kuat: "Siapa pun yang berani memberontak, dieksekusi segera! Semua Ksatria Burung Ganas akan kembali ke sini dalam semalam! Kota kecil ini akan menjadi Kota Kifu kedua!"
Kota Kifu? Penduduk belum tahu apa yang terjadi di sana. Dari nada bicara ini, biarlah Kota Kifu berjuang sendiri. Ancaman telanjang ini menyerang sistem saraf mereka dengan keras. Ancaman Kesatria Naga Hitam benar-benar efektif - tak ada yang berani melawan sedikitpun.
Walikota sementara mengangguk patuh, sama sekali tak berani mengeluh.
"Pergi!" Pasukan Berkuda Hitam bagai angin puyuh membawa tenaga kerja kuat, menderu keluar kota menuju timur laut. Kota Sakamachi selamat dalam penaklukan Kesatria Naga Hitam, tapi 80 lebih kuburan baru di luar kota menjadi bukti perang yang pernah terjadi.
"Hati gundah gulana", frasa seperti ini tidak berlebihan untuk menggambarkan Chi Aotian saat ini. Sangat khawatir tiga batalyon Legiun Bulan Salju akan menjadi korban tipu daya Gereja Suci. Namun berdasarkan kesan yang ditinggalkan generasi tua prajurit Federasi Utara seperti Long, Balbas, dan Moye, sangat sulit membayangkan pasukan yang selalu siaga perang ini bisa disergap. Tidak heran ada pujian: "Legiun Salju tak sampai seribu, bila seribu tak terkalahkan". Dengan kekuatan tempur pasukan gereja yang memprihatinkan, dibutuhkan 100.000 prajurit di bawah komando jenderal ulung sekadar untuk menang dengan korban besar. Bahkan pasukan Fanos pun membutuhkan 30-50.000 tentara untuk mengepung dan menghancurkan Legiun Bulan Salju di padang rumput tak berujung ini. Mempertimbangkan total kekuatan dua kluster strategis Fanos di timur dan barat hanya 200.000 lebih, sementara harus mempertahankan pos-pos vital dan menumpas pemberontakan warga, mustahil mengerahkan pasukan sebanyak itu sekaligus. Bagaimana situasi sebenarnya? Pertanyaan ini terus mengganggu pikiran Chi Aotian. Departemen militer pasti telah mengirim kurir terbang untuk memberi peringatan. Paman Balbas juga sudah pergi ke pesisir timur sebulan lalu untuk "meminjam pasukan". Jika benar seperti kata Huo Ensi, 10.000 pasukan Bulan Salju yang saling mendukung dalam formasi tanduk pasti akan menyulitkan musuh. Mungkin... sekarang Legiun Bulan Salju sedang membuat keonaran di sepanjang pesisir timur. Chi Aotian terpaksa menghibur diri dengan bayangan itu.
Meskipun sangat terburu-buru, Chi Aotian harus menekan sarafnya yang tegang, membatasi jarak pergerakan harian pasukan pada 120 li - ini sudah dua kali lipat dari jarak standar pergerakan militer. Ribuan pasukan yang menyusup sendirian bagaikan macan tutul salju yang menerjang kawanan serigala, tiga hal paling berbahaya: Pertama, terkepung di daerah sempit; Kedua, menang dengan korban besar yang membuat prajurit terluka menjadi beban fatal; Ketiga, kelelahan ekstrem yang menghilangkan kelincahan pasukan. Bagi Legiun Ekspedisi Utara yang didominasi Kesatria Naga Hitam, bergerak 300 li dalam sehari semalam bukan hal sulit. Tapi jika bergerak secepat ini, bahkan batalion pendekar pun mungkin tak bisa menang saat tiba di tujuan strategis. Jika terus mempertahankan kecepatan ini selama tiga hari, ini bukan berperang tapi mengirim tawanan perang ke musuh.
Di bawah tekanan mental yang besar, bibir Chi Aotian segera melepuh. Dokter militer memberi beberapa ramuan penurun panas pada jenderal muda ini, tapi tak ada efek - Sejak kematian Chi Hanfeng, Chi Aotian sudah jatuh dalam kegilaan, tak bisa tidur hingga lewat tengah malam. Hanya setelah luka dalam parah di luar Kota Kifu, barulah ia tidur nyenyak selama dua malam.
Untungnya, pasukan perwira yang disiapkan Yang Mulia Chi Changyun sangat lengkap. Dalam hal pergerakan dan pembangunan kemah, keberadaan Putra kedua Keluarga Chi hampir tak berpengaruh - sebagian besar pekerjaan bisa berjalan sama baiknya dengan atau tanpa dia.
Demikianlah, sebelum tiba di Kota Delhi, pasukan besar Kesatria Naga Hitam menyapu bersih enam kota kecil. Ksatria Burung Ganas yang memenuhi langit, tanpa ragu menghujani hujan panah dan angin anak panah bagai badai, mengguncang saraf semua orang. Rasa kehormatan empat kelompok tentara bayaran penjaga kota dan batalion pendekar dengan cepat berubah menjadi gelembung, memilih untuk menyerah di luar kota dengan sangat bijaksana.
Kota kecil terakhir dan terdekat dengan Delhi menjadi satu-satunya korban - Kota Aodao memiliki lebih dari 1000 pendekar. Jaraknya hanya 30 li dari kota besar Delhi di perbatasan selatan. Dengan kuda perang yang melesat cepat, bala bantuan maksimal tiba dalam dua shichen. Sedikit kepercayaan Komandan Batalion Pendekar Mengke pada pasukan bantuan Delhi menjadi cap "tidak layak" bagi kota ini.
Penjaga Kota Delhi Xius* Qi telah menerima laporan darurat delapan ratus li dari Ulu. Dua uskup, 6 pastor menengah, dan lebih dari 30 pastor junior setiap hari melapor ke bekas kantor walikota, bergiliran memperkuat tembok kota dan melatih prajurit. Delhi bukan kota besar maupun kecil: 24.000 rumah, 98.000 penduduk, 3000 pasukan pendekar tetap, 3400 anggota terdaftar kelompok tentara bayaran besar-kecil, ditambah pasukan gereja dari jantung Dataran Bunga yang ditarik sementara, total kekuatan tempur mencapai 9000 orang. Jika bukan karena laporan detail pembantaian Kota Kifu, Yang Mulia Xius mungkin benar-benar akan mengirim bantuan ke Kota Aodao.
Komandan batalion pendekar Kota Early Rice yang malang. Seandainya pangkatnya satu tingkat lebih tinggi, tiga hari lalu dia pasti akan mendapatkan intelijen terbaru dan mudah menarik kesimpulan ini. Sayangnya, sejarah tidak tahan uji asumsi.
Baron Munk yang setia pada tugas, dalam waktu singkat berhasil mengumpulkan semua personel militer dan tentara bayaran. Laki-laki dewasa di kota juga dipaksa membawa pisau pendek yang biasanya digunakan untuk menggembala naik ke tembok kota. 2800 vs 6000, angka-angka ini berkedip di pikiran Baron Munk. Secara teori, ini bukan masalah sulit. Dalam sejarah perang Benua Eminoll, banyak contoh pertempuran dimana 2-3 ribu pasukan lemah bertahan di kota kecil berhasil menahan 10-20 ribu musuh. Yang paling ekstrim, ada yang bertahan selama 35 hari. Baron Munk tidak berharap memecahkan rekor ini dengan Pedang Panjangnya, tapi keyakinannya tetap penuh.
Kali ini giliran Baron Qu Jianhong berpidato. Yang Mulia Baron mengendarai naga besarnya, berdiri hanya 50 meter dari kota kecil sambil berteriak. Sebenarnya ucapannya tak bermakna, sejak dulu kala satu-satunya cara efektif menaklukkan musuh adalah kekuatan yang tak terbendung.
Sayangnya, pendengar kali ini jelas melanggar syarat dasar mendengarkan pidato - pertama tidak membeli tiket, kedua malah membawa senjata, ketiga, ada yang begitu emosional sampai melemparkan sumpit besi runcing ke pembicara alih-alih mawar indah.
Tusuk, tusuk, tusuk... Ratusan pendekar yang berhadapan langsung dengan Baron Qu Jianhong melepaskan tali busur secara serentak. Panah cokelat melesat menyapu plat armor baja tempa, erangan akibat gesekan ujung panah dengan plat armor menyiksa telinga para ksatria - busur tanduk, bagi kesatria super berat seperti Naga Tanah, hanya bisa memberikan kerusakan sebatas ini. Naga perang mengenakan baju zirah naga setebal 1 cm, sementara ksatria sepenuhnya "terkunci" dalam plat armor 3 cm, bahkan area mata memiliki perlindungan khusus. Kecuali pemanah panjang terbaik, tak ada yang bisa menembusnya.
Namun meski demikian, Qu Jianhong tetap terkejut. Hujan panah yang rapat memberikan dampak keras pada tubuhnya, bahkan beberapa panah menghantam visor helm hingga wajihnya perih. Ia segera merasakan Naga Tanahnya gelisah, saat menunduk baru menyadari dua panah berhasil menembus sisik naga melalui celah armor. Darah mulai merembes keluar dari sambungan armor.
Wajah Komandan Batalyon yang tersembunyi di balik helm memerah membara. Baru saja ia bertaruh dengan rekan sejawat bahwa musuh akan menyerah ketakutan, kini 2.000 anak buah langsungnya menyaksikan aib ini. Raungan kemarahan menggema dari balik helm Ksatria Naga. Palu perang berat sepanjang satu setengah meter diacungkan tinggi, Naga Tanah raksasa itu menerjang maju menembus hujan panah.
“Tembak! Tembak mati dia! Dia tidak bisa naik——” Ramalan Ksatria Mengke terhenti tiba-tiba. Di bawah tembok kota, kaki benteng ksatria baja tiba-tiba memancarkan lapisan demi lapisan cahaya putih. Naga Tanah raksasa menyambar ke puncak tembok dalam sekejap. Palu perang 23 kilogram mengakhiri karir kehormatan bangsawan rendahan ini. Kepala Ksatria Mengke dihantam hingga menghilang di udara, tubuhnya berdiam sesaat sebelum ambruk lemas.
Qu Jianhong sama sekali tidak berhenti. Seperti harimau menerjang kawanan domba, palu perang di tangannya mengeluarkan desau angin. Puluhan tombak dan belati pendek beterbangan bagai layang-layang. Cakar depan coklat tajam Naga Tanah merusak sepanjang tembok kota yang sempit. Zirah kulit kuda standar para pendekar remuk bagai kertas, anggota tubuh manusia berhamburan disertai jeritan kesakitan. Prajurit di belakangnya wajah pucat pasi, banyak yang melompat dari tembok setinggi 3 meter untuk menghindar, bahkan ada yang sampai melompat ke luar kota.
“Serbu gerbang!” Bawahan langsung Qu Jianhong bersama dua tiga Ksatria Binatang Legenda berpangkat rendah memimpin serangan, diikuti lebih dari 400 pemanah Burung Ganas. Remaja berbaju putih itu terus memuntahkan lebih dari sepuluh putaran bulu panah dari atas punggung Burung Ganas yang mengamuk, hingga tak tersisa prajurit penjaga yang masih berdiri di sekitar gerbang kota. Para ksatria terbang mendarat lalu membuka gerbang lebar-lebar. Lima ratus lebih Kesatria Naga Tanah yang telah mencapai depan gerbang terkekeh membagi diri menjadi dua regu, menyapu bersih sepanjang tembok kota - bahkan batalion pendekar Legiun Bulan Salju pun tak mampu menghadapi Kesatria Naga Tanah berzirah baja secara frontal, apalagi kekuatan tempur menyedihkan Gereja Suci. Sesuai perintah yang telah ditetapkan, para Kesatria Naga Tanah penumpas pemberontak sama sekali tak berniat menyisakan tawanan. Tak peduli sudah menurunkan senjata atau belum, semua yang mengenakan seragam militer atau tentara bayaran langsung dihabisi tanpa ampun. Mayat-mayat pendekar terus berhamburan keluar tembok akibat hantaman palu perang.
Chi Aotian yang mengamini pertunjukan spektakuler dari kejauhan hanya berucap singkat pada Komandan Resimen Ksatria: "Pelawan, yang bersenjata, yang bermusuhan—bunuh!"
Sang Komandan Resimen segera menangkap maksudnya. Dengan membawa satu skuadron ksatria magang, ia mengalir masuk melalui gerbang kota bagai ikan. Mulai dari pintu gerbang, mereka membentuk tim-tim berisi satu Wu ksatria untuk membersihkan perlawanan dari rumah ke rumah.
"Semuanya berjalan mulus seperti latihan militer," dua tombak ksatria panjang membuka pintu rumah, tiga pedang panjang masuk secara paksa. Terhadap siapa pun yang melawan, tombak ksatria panjang menikam dengan keras di area pinggang, pedang tipis ksatria langsung menusuk dada... Membersihkan satu gubuk bahkan tak butuh 5 menit.
Hanya dalam setengah jam, korban terakhir di kota kecil ini digiring penakluk berdarah-darah ke alun-alun pusat. Dalam desiran angin utara yang muram, tangisan tersedu-sedu terus terdengar dari para penyintas. Mustahil tidak menangis - penduduk Gereja Suci menyadari bahwa di alun-alun luas itu hanya berdiri ratusan orang menyedihkan. Yang lebih mencemaskan, tak ada satu pun pria berusia puncak di antara mereka...
"Yang Mulia Jenderal!" Seorang ksatria magang yang berlumuran darah menunggang tunggangannya keluar dari kota: "Yang Mulia, kami menemukan seorang Pastor di dalam kota."
Alis hitam ramping sang remaja berkedut halus: "Eksekusi."
"Tapi..." wajah ksatria magang itu menunjukkan keraguan: "Jenderal, dia bersikeras ingin bertemu Anda."
Oh? Beberapa perwira di belakang Chi Aotian saling pandang penuh keheranan - jangan-jangan ini pembunuh bayaran? Mengingat kelicinan Gereja Suci, hal seperti ini sangat mungkin mereka lakukan.
"Baik, mari kita lihat." Wajah pucat itu tak menunjukkan ekspresi apa pun.
Derapan kuku kuda yang jernih bergema di jalanan batu pualam hijau. Dikelilingi oleh banyak perwira menengah dan senior bagai bintang mengelilingi bulan, seorang pria berbaju hitam dengan wajah tampan nan anggun mengendarai kuda hitam perkasa, perlahan memasuki Desa Zao Dao.
