Kecepatan Pertempuran Delhi yang begitu cepat membuat para perwira senior dari berbagai negara saat itu terkejut. Beberapa menyebut bahwa pertempuran yang hanya berlangsung 10 menit ini membuka era perang yang sama sekali baru.
15 Malam Bulan 1 Musim Semi Tahun 6 Kalender Sihir. Bulan Merah bergerak diam-diam di antara lapisan awan. Musim semi di Dataran Bunga akan segera memasuki musim hujan. Awan di langit semakin tebal, tekanan udara sangat rendah, hingga para prajurit bahkan bisa melihat jelas uap air yang mengkristal menjadi tetesan kecil di baju zirah logam mereka. Jarak pandang tidak terlalu baik.
Setiap setengah jam, penjaga kota akan menembakkan beberapa panah api ke segala arah untuk memastikan tidak ada penyusup di bawah tembok. Berita pembantaian di Kota Kifu bukan lagi rahasia. Di mata para prajurit yang direkrut dadakan, pasukan Kesatria Naga Hitam telah disamakan dengan iblis. Bahkan prajurit paling malas pun merasakan dingin yang menusuk tulang, setiap orang berjalan di atas es tipis di bawah tekanan hidup-mati.
Sayangnya, semua orang melupakan area di atas kepala mereka.
Meskipun seandainya para penjaga kota benar-benar serius mempertahankan langit - hasilnya akan tetap sama. Mata manusia di kegelapan malam tidak bisa menyaingi jarak pandang para elf.
Gagasan perang setan ini justru berasal dari orang yang paling dekat dengan iblis.
Dalam rapat operasi penyerangan Kota Delhi, pastor pengiring pasukan sekali lagi melampaui wewenangnya. Dengan tegas ia menolak ide Tuan Chi Aotian untuk menyerang Delhi menggunakan pasukan sekutu, sama sekali tidak menghiraukan ekspresi wajah sang Jenderal, serta menggunakan serangkaian kata kasar seperti "babi dungu" dan "bodoh" dalam ucapannya.
Untungnya, meskipun Chi Aotian terkenal dingin, ia sangat cepat menerima masukan yang baik. Remaja ini juga memiliki kelapangan dada untuk membedakan antara serangan jahat dan kritik membangun.
Sebelum rapat militer, pastor pengiring pasukan telah memilih 10 penduduk asli dari pasukan sekutu untuk menggambar denah Kota Delhi. Mereka diminta menandai bekas kantor walikota dan katedral besar. Setelah membandingkan 10 peta yang serupa namun tak sama, akhirnya dipastikan lokasi beberapa target penting.
Rencana Tuan Tayang sederhana: mengerahkan pasukan elit Kesatria Naga Hitam untuk menyergap bekas kantor walikota dan katedral di tengah malam. Jika berhasil, kota ini akan menjadi basis logistik terbesar pasukan ekspedisi. Jika gagal, mereka akan memutar Delhi dan melanjutkan penetrasi ke padang rumput. Tidak perlu menguras tenaga dan darah demi kota tanpa makna strategis ini. Untuk menebarkan teror ke hati penduduk Gereja Suci, membantai satu kota besar atau 10 kota kecil sama efektifnya.
Karakter yang masuk dalam rencana Tayang adalah sebagai berikut: Chi Aotian, Qu Jianhong, Qing Luo, dan lain-lain, serta semua Ksatria Binatang Legenda, seluruh pemanah peri. Bagi Pasukan Ekspedisi, regu serangan mendadak ini bisa dikatakan memusatkan lebih dari 80% pasukan elit.
"Yang Mulia... Apakah Tuan tidak akan ikut serta dalam operasi ini?" Sebelum berangkat, Qu Jianhong bertanya seolah santai saat menurunkan visor helmnya.
"Hehe..." Si tua tak tahu malu itu seolah tak menangkap sarkasme dalam pertanyaan: "Kapan kau melihat peran utama terjun ke tengah musuh untuk mengobrak-abrik? Lagipula... Jika kalian semua tewas di kota, harus ada yang memimpin sisa personel militer untuk menyerah dengan terhormat kepada Gereja Suci." Senyum balas dendam mengembang di wajah Tayang.
Kalimat itu membuat wajah tampan Qu Jianhong di balik visor helmnya memerah. Puncak ketidaksopanan dalam sejarah pun mungkin takkan melebihi ini.
Pasukan penyusup dibagi menjadi dua tim: Tuan Chi Aotian memimpin 3 Ksatria Binatang Legenda dan 150 pemanah peri Burung Ganas untuk menyerang bekas kantor walikota, sedangkan Qing Luo dan Tuan Qu Jianhong memimpin sisa Ksatria Binatang Legenda dan pemanah Burung Ganas untuk menyerang katedral. Perintah untuk Qing Luo sederhana - Bunuh semua petugas gereja yang terlihat.
Dua komandan batalyon lainnya memimpin pasukan yang tersisa untuk memulai operasi saat malam tiba, menyelinap diam-diam ke lokasi 5 li di luar Kota Delhi——pertempuran di sektor ini menjadi tanggung jawab Chang Qing, komandan Batalion Pendekar Burung Ganas dari Pasukan Bayaran Kecil. Chang Qing pernah berpartisipasi dalam pertempuran pertahanan Kota Hamburg, memiliki pengalaman tempur serupa.
Personel militer di bekas kantor walikota bertambah dua kali lipat dari biasanya, namun dari segi kekuatan tempur justru menurun. Seorang penjaga kota umumnya memiliki pasukan khusus sekitar 100 orang yang kemampuannya jauh melampaui batalion pendekar biasa. Selama masa perang, Yang Mulia Jenderal mempromosikan sebagian besar pasukan elit menjadi perwira, menugaskan mereka di tembok kota atau memimpin massa. Selain itu, tiga Uskup Agung juga memilih lebih dari sepuluh pahlawan demi keamanan.
Para elf melancarkan serangan dari ketinggian lebih dari 1000 meter. Setelah pertempuran di Kota Hamburg, mereka telah menguasai rahasia pertempuran malam. Kegelapan malam menelan bulu panah hijau. Setiap pos penjaga yang ada di sekitar bekas kantor walikota terkena minimal tiga panah dalam gelombang pertama hujan panah, roboh tak berdaya——bahkan tanpa sempat memberi sinyal bahaya.
Chi Aotian bersama tiga Ksatria Binatang Legenda mengendarai tunggangan mereka mendarat. Lebih banyak pemanah Burung Ganas turun diam-diam. Di ketinggian rendah, naga Yao Li Long yang terjun cepat menciptakan ledakan suara sayap yang mengguncang langit. Dentuman ini tentu membangunkan penjaga yang tertidur di bekas kantor walikota, termasuk Sang Penjaga Kota sendiri.
Prajurit-prajurit tak berpengalaman di bekas kantor walikota bahkan belum sempat mengenakan zirah kulit dengan baik saat terburu-buru mendorong pintu barak. Anak panah dari dinding seberang menyambut mereka, para elf menembakkan anak panah pendek dengan kecepatan luar biasa pada jarak dekat. Anak panah beruntun menembus tubuh tak berzirah beberapa prajurit, membawa serpihan daging yang menancap di dinding.
Jenderal Xius belum tidur, sedang mempelajari celah pertahanan tembok kota bersama beberapa anak buahnya. Begitu teriakan kesakitan terdengar, sang jenderal segera mematikan lampu minyak di meja. Keringat mengucur deras dari dahinya. Dalam dua tarikan napas, Xius telah menyimpulkan situasi - seringkali satu langkah salah menentukan kekalahan total... Pikiran ini mulai berdenyut di kepalanya.
Suara datar yang dingin menggema dari luar halaman: "Bertarung, atau, menyerah."
Chi Aotian! Meski belum pernah bertemu, berdasarkan intelijen dari militer Farnorth, hanya dia di pihak Kekaisaran yang mampu memampatkan pertanyaan menjadi empat kata. Hanya dia yang bisa mengubah kalimat tanya menjadi pernyataan datar.
Komandan ksatria binatang legenda di samping pemuda berbaju hitam menyalakan dua obor, menendang jendela dan melemparkannya ke dalam. Api melahap segala yang bisa terbakar, asap mengepul keluar melalui jendela. Enam perwira terbatuk-batuk melarikan diri dari ruangan yang tak lagi bisa ditinggali.
“Yang Mulia! Berani melakukan serangan mendadak di tengah malam. Sejujurnya, mengenai tindakan Kesatria Naga Hitam beberapa hari terakhir, sebagai seorang personel militer dan bangsawan bergelar ksatria, hamba merasa sangat malu.” Xius langsung mengenali Chi Aotian, sosok yang terlalu khas ini berdiri tegak bagai gunung hitam raksasa di kegelapan malam, memancarkan aura kematian.
“Hmm. Terlalu dipuji, ini hanya belajar sungguh-sungguh dari Yang Mulia Paus.” Chi Aotian menyindir gereja yang mengklaim suci dan adil dengan caranya sendiri, sambil mengeluarkan pedang besar dari punggungnya.
Xius tercekat. Sebelumnya tak pernah terbayangkan gereja bisa merebut Skambray. Para uskup telah menghiasi pertempuran itu dengan berbagai retorika, tentu saja menghapus semua istilah "serangan mendadak" dan strategi licik, mengubahnya sepenuhnya menjadi serangan frontal kaum adil terhadap kejahatan. Tapi sebagai perwira profesional, mana mungkin ia tak tahu perbandingan kekuatan antara pasukan Kekaisaran dengan tentara gereja. Jika... tanpa trik kotor, mustahil mereka bisa mengalahkan Legiun Naga Pelangi dan Pasukan Pengawal Kekaisaran Amy yang merupakan elit militer puncak.
“Tuan, segera mundur!” Dua anak buahnya mencabut pedang panjang dari pinggang, mengibaskan rangkaian bunga kilat kecil di udara malam dengan pedang putih salju mereka yang berkilauan.
“Hati-hati!” Xius teringat deskripsi tentang Chi Aotian sebelumnya - pahlawan yang pernah mengalahkan Xiang Tian bahkan membantai dua naga raksasa, segera memperingatkan bawahannya dengan nada panik.
Chi Aotian menguasai pedang panjang dengan presisi yang jauh melampaui kata-kata. Perisai di tangan kiri menyudutkan pedang tusuk dari arah kiri, tubuhnya berputar keras. Pedang Xing Han di tangan kanan mengukir setengah lingkaran sepanjang dua meter, gerakan setengah menusuk setengah mengayun menyapu segala yang di depannya. Perwira di sebelah kanan jelas tidak tahu atau lupa kisah Pedang Xing Han. Pedang tusuknya mencoba menangkis sekejap, namun kilau menyilaukan dari Xing Han seketika melahap bunga-bunga kilat. Separuh bilah pedang berdentang jatuh ke lantai batu. Perwira muda itu tertegun, menyaksikan pedang berkilauan itu menyapu tubuhnya bagai tak berwujud. Selama beberapa detik, garis darah tiba-tiba muncul di bawah pupil matanya yang jernih. Saat mencoba mengangkat senjata, seluruh tubuhnya kehilangan keseimbangan dan roboh kaku. Separuh kepalanya berguling seperti tempurung kelapa yang terbelah - pedang tadi dengan kecepatan luar biasa telah memenggal kepala sang prajurit. Cairan otak putih bercampur darah mengalir perlahan. Tubuh yang saraf pusatnya telah hancur itu, digerakkan oleh impuls saraf terakhir, masih merangkak dua meter ke depan secara refleks, meninggalkan jejak cairan putih dan merah memanjang...
Tang! Perwira muda di sebelah kiri wajahnya pucat membiru. Tangannya gemetar menjatuhkan pedang, sementara mulutnya muntah-muntah hebat sambil ditutupi tangan.
Pada saat itu, di dinding selatan muncul kembali beberapa Ksatria Binatang Legenda dan pemanah Burung Ganas. Dalam tawa panjang yang jernih, beberapa kepala sebesar kepalan tangan dilemparkan masuk: "Jenderal Chi, tugas telah terlaksana. Semua kepala pastor tingkat menengah dan tinggi telah kubawa." Dalam kegelapan malam, seorang ksatria dengan gambar tengkorak di wajah mengendarai Naga Tanah mendarat dengan deru.
Tanpa perlu melihat wajah, garis rambut yang mencuat ke belakang di separuh kepala yang tergeletak sudah cukup untuk mengidentifikasi identitas mereka.
Para pastor yang selalu bertugas di gereja bukanlah tentara bayaran atau personel militer, minim pengalaman bertempur. Sebelumnya, beberapa pastor senior mendengar suara alarm di luar, mengira itu kerusuhan massa. Tak menyadari musuh tak dikenal telah menembus ratusan li dan menerobos masuk ke kota. Dengan nada tinggi, mereka membuka pintu sambil menuntut penjelasan. Qu Jianhong mengendarai naga tunggangan melompat dari atap, palu perang di kedua tangan menghantam punggung uskup. Ujung palu yang tajam menembus tubuh rapuh hingga mencuat dari dada. Cakar Naga Tanah secara refleks menghancurkan segala benda di sekitarnya, kepala uskup lain terpenggal oleh sabetan cakar yang gesit.
Baru pada detik terakhir, uskup terakhir teringat untuk melantunkan mantra: "Dewa di langit..."
"Batuk... Bahkan Qing Luo yang sedang membentang busur di kejauhan untuk berjaga-jaga pun tak tahu harus berkata apa. Sudah sampai di titik ini, mereka masih melantunkan mantra sihir besar seperti ini, dan itu pun mantra serangan... Sungguh tak tahu bagaimana para pastor ini sebelumnya ikut dalam pertempuran." Tentu saja Yang Mulia Qing Luo tidak tahu bahwa beberapa uskup ini sama sekali belum pernah terlibat dalam perang mana pun.
Palu perang kembali mengayun dengan desiran angin, menghantam orang terakhir yang selamat ke dinding. Darah segar membentuk pola siluet manusia berwarna merah tua di dinding gereja yang putih salju.
Melihat tiga kepala uskup berguling seperti bola di lantai, semua orang di bekas kantor walikota menahan napas mereka.
"Yang Mulia Penjaga Kota, jika tidak menyerah sekarang, kami akan membantai dari sini sambil membakar beberapa tempat. Aku ingin melihat—pasukan tanpa perwira dan pemberontakan rakyat—mungkin dewa benar-benar akan turun tangan. Jika begitu, Kota Deri juga akan dikenang sepanjang masa seperti Kota Kifu. Hanya saja, populasi Kifu lebih banyak, jadi Deri mungkin akan menempati posisi kedua atau lebih rendah." Makna jahat dalam pertanyaan sarkastik Yang Mulia Qu Jianhong itu dipahami oleh semua yang hadir.
"Perintahkan pasukan bawahan langsung kantor walikota untuk menyerah kepada pasukan besar yang dipimpin Tuan Chi Aotian. Siapapun yang melawan, hukumannya mati." Setiap kata dari Jenderal Xius terasa pahit.
"Siap... Yang Mulia..." Seorang perwira paruh baya melemparkan Pedang Panjangnya, lalu melangkah tegas melewati para perwira dari Pasukan Ksatria Naga Hitam.
“Xius sangat hormat memberikan salam dalam kepada Chi Aotian: 'Selama 17 tahun karier militer di pasukan selatan gereja, saya selalu mengagumi Keluarga Chi dan Kesatria Naga Hitam. Kali ini, Yang Mulia dan pasukanmu benar-benar memberi kejutan besar.'" Nada rendah hati jelas berasal dari lubuk hati.
“Terima kasih, ini hanya kewajiban personel militer.” Sikap Chi Aotian tiba-tiba juga menjadi lebih santun.
Secara visual, seperti dua perwira pasukan sekutu yang sedang melakukan serah terima pos pertahanan.
“Dengan tulus saya berharap, Yang Mulia senantiasa diberkahi kemenangan dalam pertempuran.” Tubuh tinggi besar Xius kembali membungkuk dalam-dalam.
Bahu berotot pria paruh baya itu turun dalam desahan pelan. Sambil berbalik, ia melepas helm berbulu biru lalu meletakkannya di tanah dengan membungkuk. Rambut panjangnya tiba-tiba terurai di bahu bidangnya. Sepasang sarung tangan putih dilepas dari tangan dan dibungkuskan pada pedang tusuk panjang sebelum ditaruh di atas helm.
Dalam kobaran api yang menjilat langit, mantan penjaga kota Delhi memegang sarung pedang miring dengan tangan kanan. Tangan kirinya mendorong pintu yang sudah dijilat api. Tubuh tingginya melesat masuk, rambut terurai berkibar dalam gelombang panas dan seketika berubah menjadi lidah-lidah api. Pintu kayu kemudian ditutup dengan hati-hati, sarung pedang langsung dikaitkan pada palang pintu. Aroma aneh tiba-tiba menyergap hidung semua orang di halaman bersama hembusan panas.
“Yang Mulia Jenderal——” Tiga perwira terakhir Kota Deri di halaman istana menitikkan air mata serentak, berlutut satu kaki sambil mengepalkan tangan kanan di dada kiri. Kepala yang angkuh tertunduk dalam-dalam.
