"Tidak--!" Huo Ensi menyaksikan dari beberapa langkah jauhnya saat lahar diam-diam mendorong batu api menjauh. Pupil mata kuningnya seketika dipenuhi gumpalan darah.
Dalam pengalaman si Kurcaci kecil, Sha Ruo, Da Qing Shan, Amy, dan Lin Yushang adalah manusia pertama yang ia temui. Dalam masyarakat Kurcaci, penilaian terhadap tingkat keseluruhan manusia tidak tinggi, bahkan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata netral seperti "separuh pujian dan separuh cela". Di mulut beberapa sesepuh Kurcaci, saat berurusan dengan manusia, Kurcaci harus sangat berhati-hati. Kata seperti "integritas" terlalu tinggi untuk sebagian besar manusia. Jika seorang manusia bisa tidak melakukan hal yang bertentangan dengan hati nurani, itu sudah dianggap sempurna.
Yang mengejutkan Huo Ensi adalah, empat remaja manusia ini menunjukkan kualitas unggul khas Kurcaci seperti kesetiaan, keramahan, kedamaian, dan kebaikan. Dari segi tingkat rata-rata keempat remaja ini, mereka bahkan melampaui keluarga tertua di Kerajaan Kurcaci. Hanya dalam beberapa tahun pertemanan, Huo Ensi memperlakukan mereka seperti sahabat seumur hidup. Di hati si Kurcaci kecil, Pasukan Bayaran Kecil adalah rumahnya di masyarakat manusia, sementara keempat remaja ini adalah saudara kandung yang paling dekat dalam ikatan darahnya.
Si Kurcaci kecil dengan gila melepaskan diri dari genggaman Perapian dan dua Ksatria Kurcaci lainnya. Seperti macan tutul gesit, ia melompat tinggi di atas lahar. Kaki kanannya menginjak batu api dengan keras hingga batu itu "dug...dug..." tenggelam sepenuhnya ke magma. Tubuh Huo Ensi melayang lagi ke udara... Tiba-tiba, bayangan merah tipis seperti pelangi panjang menghantam keras dari belakang. Huo Ensi yang sedang di udara sama sekali tidak waspada, tubuhnya terlempar seperti batu yang dilontarkan... "Braak!" Menghantam batu dengan keras...
Pada detik ini, tubuh lemah Sha Ruo menjadi pusatnya. Dengan teriakan lemah, gua yang tak berujung tiba-tiba memancarkan cahaya merah terang menyilaukan. Bersamaan dengan cahaya itu, serangkaian suara dengungan rendah terdengar dari magma kental yang mengalir lamban - seolah magma yang seperti air mati itu bersorak gembira menyambut persembahan termulia.
Tubuh Huo Ensi telah mendarat di batu. Baru ingin melompat lagi, tiba-tiba pita merah melilit keras tubuhnya. Pelindung bahu yang tinggi mengeluarkan erangan sebelum hancur berkeping-keping oleh lilitan pita merah itu. Pita itu mencekik otot lengan kurcaci yang menonjol, darah mengalir deras dari lengan: "Lepaskan! Sha Ruo! Sha Ruo, jawab aku!" Kurcaci kecil itu mengaum marah, bergerak liar dengan suara hampir parau.
“Itu cacing magma, cepat potong!” Ksatria Kurcaci segera mengenali pita merah ini. Dalam legenda, cacing magma biasanya hidup berpasangan. Jika salah satu mati, yang lain akan merana dan cepat menyusul. Tak disangka, cacing ini malah memilih balas dendam. Jelas makhluk aneh ini memiliki kecerdasan luar biasa. Sepanjang perjalanan, Huo Ensi tidak menunjukkan celah pertahanan sama sekali. Pasti cacing itu takut pada kapak perang di punggungnya. Baru saat Huo Ensi sendirian di atas magma, dengan kapak mematikan tergantung di belakang, cacing itu menyergap dan memilih mati bersama.
“Enyah kau! Cacing terkutuk.” Huo Ensi meraih kapak perang dengan panik. Tangan pendek Kurcaci kesulitan mencapai kapak karena cacing magma mencengkeram erat lengannya.
Cacing magma adalah hewan paling elastis di dunia. Tubuh merah rampingnya memiliki daya rusak mengerikan. Saat tubuhnya mengerut, bunyi letupan kecil bersambungan. Baju zirah kokoh buatan Kurcaci di tubuh Huo Ensi remuk berantakan. Kawat baja tipis, lembaran baja ringan, dan rangka baja lentur satu per satu melengkung dan terpental. Vena di lengan kekar Kurcaci itu putus, darah menyembur deras...
Perapian dan beberapa rekannya hampir hilang kesabaran karena gelisah. Beberapa batu api kecil yang sebelumnya diinjak oleh Huo Ensi hingga tenggelam entah ke mana, dan tidak tahu kapan akan muncul kembali...
Mata kurcaci kecil itu memancarkan amarah membara. Dengan sekuat tenaga, dia berguling ke arah magma—jarak antara batu dan magma hanya beberapa langkah saja. Bagian paling bawah batu sudah membara, magma merayap naik menggerogoti batu. Kurcaci yang terbungkus cacing magma itu tiba-tiba muncul di tepi batu. Kumis cokelatnya langsung hangus terbakar oleh gelombang panas yang menyengat. Pada detik itu, cacing magma secara naluriah merasakan ketakutan terhadap musuh alam satu-satunya yang menentukan hidup-mati. Refleks sedikit mengendur. Huo Ensi langsung memanfaatkan momen ini, mengangkat kedua tangannya untuk meraih kapak perang sementara kakinya menahan laju terpeleset. Cacing magma langsung sadar telah tertipu. Serangga yang siap mati berkorban ini benar-benar berniat membuktikan tekadnya, mengabaikan magma yang sudah di depan mata, lalu mencekik lebih kencang lagi.
Huo Ensi yang baru saja mengangkat tangannya seketika terikat kembali dengan erat, bagian lengan sudah sedikit terangkat ke atas. Kurcaci kecil itu mengerahkan seluruh tenaga menundukkan kepala, menggigit cacing magma dengan keras. Aliran panas menyengat memenuhi mulut, lidah, dan gigi kurcaci itu. Cacing magma yang kesakitan kembali mengencangkan cengkeramannya, bibir Huo Ensi langsung terkoyak berdarah. Dua baris gigi baja tajamnya mulai menggeretak dengan ganas, kulit tipis cacing magma segera terkikis. Darah merah mengalir ke mulut Huo Ensi, aliran menyengat itu mengalir melalui kerongkongan hingga ke lambung, terbakar dengan perih...
Perapian dan ksatria kurcaci lain yang berada lebih dari 10 meter jauhnya bisa mendengar suara berderit dari gesekan gigi Huo Ensi. Mereka menyaksikan pembuluh darah hijau kebiruan di seluruh tubuh kurcaci kecil itu mengembung karena tekanan, lalu satu per satu pecah menyemburkan darah segar...
Bung...! Suara dentuman berat menggema di seluruh gua. Cacing magma melesat keluar bagai dua kilat merah, lalu meringkuk menjadi gumpalan padat. Seperti lumpur cair, mereka berguling-guling di tanah sebelum akhirnya jatuh ke dalam magma. Aroma anyir samar mengepul dari permukaan magma.
Huo Ensi meraung marah, merangkak ke tepi batu, mencabut Kapak Roda Besar dari punggungnya. Dengan gagang kapak terbalik, ia mengaduk-aduk magma sambil berteriak histeris: "Sha Ruo... Sha Ruo... Jawab aku! Cepat jawab aku!"
Tempat yang menelan Sha Ruo tadi seolah tak pernah terjadi apa-apa. Hanya magma merah tua yang mengalir perlahan tanpa suara... Di tengah gelombang magma yang bergulung, tak tersisa apapun...
Tanpa disadari, air mata mengalir deras di pipi kurcaci itu, bercampur dengan luka di wajahnya. Butiran air mata dan darah menetes-netes di janggut Kurcaci kecil yang separuh terbakar.
Seringkali, baru setelah kehilangan, seseorang menyadari betapa berharganya arti seorang teman sejati...
Sha Ruo, gadis yang selalu enggan bicara baik di depan umum maupun secara pribadi. Sejak hari pertama mengenal Huo Ensi, ekspresi terbanyak yang ditunjukkannya hanyalah senyum tipis dengan bibir terkecup.
Secara kepribadian, dia hampir identik dengan Da Qing Shan yang pendiam namun memiliki sifat kakak tertua. Dalam situasi apapun, takkan pernah terlibat konflik sekecil apapun di depan orang, bahkan saat diejek dengan nada mengejek pun hanya dibalas senyuman. Tak perlu khawatir kedua orang ini akan menyimpan dendam sedikitpun.
Hati kedua manusia ini bagaikan terbuat dari emas! Murni, baik hati, tak tersentuh noda sebesar debu.
Dalam latihan rutin, jika ada anggota Pasukan Bayaran Kecil yang terluka, tak peduli seberapa parah lukanya, Sha Ruo selalu berlarian mengurus mereka; Dalam setiap pertempuran, sebagai Pastor, dia harus melepaskan mantra serangan dan sihir pendukung selama perang, lalu terus-menerus menggunakan mantra penyembuhan usai pertempuran. Setelah pertempuran besar, Sha Ruo yang kekuatan fisik dan mentalnya terkuras sering kelelahan sampai tak bisa berjalan, sering dibopong pulang ke ruang oleh Da Qing Shan. Di Pasukan Bayaran Kecil, lebih dari 1000 tentara bayaran pernah diselamatkannya, tapi pernahkah dia mengeluh sepatah kata pun di situasi apapun?
Ying, dua kali mengalami luka parah yang pasti mematikan, dua kali diselamatkan oleh Sha Ruo. Pernahkah Sha Ruo menyebutkan hal ini di kesempatan apapun? Sebagai salah satu pendiri awal Pasukan Bayaran Kecil, istri Wakil Komandan Resimen pertama, partisipan di sebagian besar petualangan pasukan bayaran kecil, pernahkah Sha Ruo mengklaim jasanya sendiri?
Kurcaci kecil berlutut di depan lahar, kedua tangannya mencengkeram mati-matian batu kemerahan yang membara, matanya menatap kosong ke lahar di hadapannya. Air mata merah jatuh tanpa suara di atas batu, berdesis lalu menguap seketika. Kurcaci itu sudah tidak bisa menangis lagi...
Kemudian Pasukan Bayaran Kecil menerima banyak anggota baru. Dari segi senioritas, latar belakang, jasa perang, hingga kontribusi, adakah yang bisa menandingi Sha Ruo? Meski status mereka satu per satu melampaui Sha Ruo, pernahkah gadis ini menunjukkan ketidakpuasan di forum mana pun? Semua orang percaya, gadis baik hati ini menerima anggota baru dengan tulus dari lubuk hatinya. Apa arti kesucian? Inilah hati yang suci!
Lalu, ketika Chi Hanfeng gugur dalam pertempuran, bukankah Sha Ruo juga merasakan kesedihan yang sama? Bukankah dia menangis hingga matanya berdarah seperti yang lain? Bukankah dia berkabung panjang layaknya anak perempuan bagi Yang Mulia Jenderal? Setelah Malam Berdarah Ibukota, semua membenci Gereja Suci, tapi apa dosa Sha Ruo sebagai pastor Gereja Suci? Sejak hari itu ketika keyakinan dan kehidupan bertolak belakang, Sha Ruo mengurung diri, menelan air mata, kepedihan, dan kepahitan sendirian, namun tetap berpura-pura ceria di hadapan para prajurit bayaran kecil. Semua ini disaksikan oleh Da Qing Shan, Huo Ensi, Lin Yushang, bahkan Earl Lin He. Tapi dalam kondisi seperti ini, pernahkah Sha Ruo mengeluh? Berkali-kali ditemukan bekas air matanya saat memberi mantra penyembuhan kepada anggota pasukan. Adakah yang lebih menyakitkan dari ini?
Apa yang pernah dibela oleh gadis baik hati ini dari awal hingga akhir?
Gadis itu bagaikan lilin merah yang lembut, demi Pasukan Bayaran Kecil, bersembunyi di sudut gelap dan membakar dirinya dalam diam tanpa keluh kesah, hingga detik terakhir kehidupannya...
Hati Huo Ensi seolah-olah ditusuk pisau, darah mengalir tanpa suara!
Tak terasa berapa lama waktu berlalu, beberapa ksatria kurcaci tiba di sisi Huo Ensi melalui batu api yang mengambang. Huo Lu berdiri di samping kurcaci kecil itu, tiba-tiba berlutut tanpa sepatah kata, menghadap ke arah tempat Sha Ruo menghilang, Dung...dung...dung... Suara dahi menghantam tanah bergema, segera darah mulai membasahi kepala ksatria kurcaci...
Hanya beberapa hari mengenal Sha Ruo, Huo Lu tahu gadis pendiam ini adalah istri Kesatria Naga Suci Da Qing Shan. Di antara tiga gadis dalam rombongan, dari sudut pandang kurcaci dalam menilai manusia, hanya gadis inilah yang layak menjadi teman kurcaci, bahkan teman seumur hidup.
Untuk menyelamatkan orang asing, membantu mendapatkan inti bumi yang tak ada hubungannya dengannya... namun... air mata yang tak pernah terlihat selama bertahun-tahun merayap di wajah pemimpin Ksatria Trenggiling Raksasa kurcaci.
Ksatria kurcaci lain berjongkok di samping mereka, bingung harus berkata apa. Akhirnya mereka menepuk bahu Huo Lu, meski sedih, sekarang bukan saatnya untuk menangis.
Huo Lu berlutut menarik tubuh lemas Huo Ensi.
“Air... beri aku air...” Dalang tragedi itu mulai mengerang pelan.
Huo Ensi mendengarnya, tanpa berkata sepatah pun, mengusap air mata di wajahnya, merogoh kantong air dari pinggang, merayap di atas batu lalu menyodorkan kantong air ke mulut pria berambut merah itu. Tangannya memeras air dari kantong kulit ke mulut pria tersebut. Pria itu minum seteguk demi seteguk, setelah lama menarik napas, baru berucap lemah: "Terima kasih."
4 Ksatria Kurcaci menemukan pria ini terbelenggu di batu dengan beberapa rantai hitam tebal. Para Kurcaci segera menghunus kapak kecil, berusaha memukulnya berkali-kali. Tak lama kemudian, 4 Ksatria Kurcaci itu menunjukkan ekspresi terkejut! Dari bahan apa rantai ini dibuat? Begitu kerasnya hingga membuat mata kapak Kurcaci bergerigi, sementara rantai itu sendiri tak sedikit pun tergores. Padahal, semua perlengkapan Ksatria Kurcaci adalah karya masterpiece para tukang besi Kurcaci Pegunungan ahli. Setiap benda yang sampai ke negara manusia pasti akan dianggap sebagai harta karun legendaris. Bagaimana mungkin dikalahkan oleh beberapa rantai?
"Percuma... Rantai ini... Konon terbuat dari sisa material saat Dewa Pencipta membentuk dunia. Jika bukan senjata purba, mustahil bisa menghancurkannya. Jangan repot-repot." Pria berambut merah itu mengangkat wajahnya, memperlihatkan janggut panjang merahnya. Ternyata seorang orang tua.
"Aku coba!" Perapian mendengar senjata purba, teringat palu perang matahari hitam di punggungnya. Tanpa ragu, dia segera mencabut palu perang dan memegangnya dengan kedua tangan. Kedua lengannya berputar penuh sebelum menghantamkan palu sekuat tenaga... Palu hitam itu tiba-tiba memancarkan sinar merah dan hitam saat berputar di udara, bagaikan matahari hitam abadi yang mengejar matahari merah di langit, menderu turun... Dung... Pada detik terakhir, cahaya dan bayangan matahari merah serta hitam menyatu seketika. Gelombang suara dahsyat menggema di seluruh gua. Saat itulah, semburan gas hitam meledak dari rantai besi.
Setelah dentuman keras, empat Ksatria Kurcaci segera mengerumuni. Mereka baru menyadari beberapa rantai sebesar lengan benar-benar terpukul rata, namun batu di bawah rantai sama sekali tidak rusak...
"Batu apa ini? Kok sekeras ini?" Seorang Ksatria Kurcaci menggerakkan jari telunjuknya dengan kuat sambil mengetuk batu.
"Eh... Sepertinya ini juga sisa bahan tambang yang dipakai Dewa Pencipta. Legenda mengatakan, tidak ada tungku mana pun yang bisa meleburnya, jadi dibuang ke sini." Orang tua berambut merah mengerang kesakitan.
"Hmph..." Suara aneh keluar dari mulut seorang kurcaci: "Seolah-olah kau sendiri yang melihat Dewa Ayah menempa di sini." Seorang tua renta yang diselamatkan dengan pengorbanan nyawa gadis cantik, tapi masih bicara tanpa dasar, tentu dicemooh oleh kurcaci yang berintegritas.
"Jangan bicara seperti itu!" Perapian menghentikan rekannya dengan suara rendah. Bagaimanapun ini adalah orang tua, dan juga orang yang Nona Sha Ruo ingin selamatkan, setidaknya pertahankan sedikit rasa hormat.
Selain itu, keempat kurcaci pegunungan juga tahu, tempat ini sangat mungkin merupakan lokasi kuno tempat Dewa Ayah menempa senjata.
Dalam catatan kuno yang diturunkan selama ribuan tahun, setelah menciptakan dunia, Dewa Pencipta membangun tiga tungku raksasa di tiga gunung salju terbesar di dunia. Di ketiga tempat inilah Beliau secara pribadi menempa Tiga Pedang Dewa yang termasyhur serta pedang-pedang dewa tingkat bawahnya. Puncak Messis dengan ketinggian 6.231 meter memang salah satu dari tiga gunung salju agung itu, tempat Dewa Ayah menggunakan Raja Api yang paling perkasa dari Burung Gagak Api di matahari untuk menempa pedang. Jika tidak, mustahil sari-sari api bumi masih tersisa setelah proses penempaan.
Huo Ensi yang sedang menderita siksaan hebat seolah tak mendengar apapun. Ia bangkit melihat rantai besi yang sudah rata terpukul, tanpa sepatah kata pun mendorong Perapian dengan lembut. Setelah meludahi telapak tangannya dua kali, kapak besarnya yang legendaris kembali diayunkan. Cahaya Biru Tua menyambar-nyambar di kegelapan gua yang tak berujung...
Panah Bebas.
Seni memanah paling legendaris yang berasal dari beberapa High Elf, kemudian menyebar hingga ke dunia penciptaan.
Penembak panah setelah melepaskan anak panah, dapat mengubah kekuatan sihir mereka menjadi kekuatan spiritual. Kekuatan spiritual ini akan terus mengikuti di bagian belakang bulu panah. Dalam jarak tertentu, penembak panah dapat menggunakan kekuatan spiritual mereka untuk mengendalikan arah bulu panah, mengubah jalur anak panah melalui perubahan posisi bulu panah. Bahkan jika musuh mengangkat perisai atau menghindar dengan cepat, sangat sulit untuk lolos.
Sangat sedikit orang yang dapat menguasai teknik memanah seperti ini. Masalah terbesar adalah jarang ada orang yang memiliki kekuatan sihir yang cukup - mereka yang mampu menampung kekuatan sihir sebesar ini di tubuhnya sudah memiliki kemampuan untuk menjadi magister. Seperti diketahui umum, baik cara menyerang maupun tingkat penghormatan yang diterima magister dari masyarakat, tidak bisa dibandingkan dengan penembak panah. Selain itu, satu-satunya cara efektif untuk memperoleh lebih banyak kekuatan sihir adalah melalui meditasi, justru latihan yang paling tidak bisa diterima oleh penembak panah. Meditasi berkepanjangan pasti akan menyebabkan penurunan besar pada kelincahan, stamina, dan kemampuan komprehensif lainnya.
Dalam catatan sejarah, tokoh paling terkenal yang menguasai "panah bebas" adalah Tuan Qing Luo, Elf Hutan yang dijuluki "Kilat Hitam". Dia... adalah pahlawan tangguh yang mampu membuat Naga Raksasa berbalik arah.
——《Chi Yizi*Teori Panah》
