Dalam kilatan biru dan kabut hitam, suara menusuk seperti logam terpotong bergema di dalam gua, mengguncang saraf pendengaran setiap orang.
Kurcaci Pegunungan, sering menghabiskan seluruh hidup mereka untuk mengejar senjata yang lebih baik dan sempurna. Sebagian besar kurcaci, sejak lahir tidak pernah menjauh lebih dari 3 chi dari perapian penempaan. Pernyataan ini sama sekali bukan hiperbola. Jika tidak... Tak seorang pun bisa membayangkan, suatu ras yang meninggalkan langit biru dan matahari terang, menghabiskan hidup di tempat lembap dan gelap bawah tanah, di tambang-tambang hitam pekat, menyipitkan mata, menggunakan telinga dan lidah untuk mengidentifikasi bijih berkualitas tinggi. Tanpa ketekunan dan kesalehan seperti ini, mustahil melakukan pengorbanan sebesar itu.
Perapian dan beberapa rekannya ksatria baru saja menyaksikan kekuatan Senjata Pusaka legendaris "Matahari Kelam", sebelumnya juga telah melihat keajaiban kapak perang Huo Ensi yang berputar di udara. Ini adalah senjata milik keluarga kerajaan Kurcaci Hutan, secara logika pasti setara dengan Matahari Kelam. Para Ksatria Kurcaci melupakan segalanya, mata membelalak menatap tajam ke tempat jatuhnya kapak perang biru itu.
Satu kapak membelah empat bagian...
Rantai besi berbentuk cincin hitam terbelah dua oleh kapak perang biru, potongan yang rapi sempurna memancarkan cahaya keperakan.
Para Ksatria Kurcaci membuka mulut lebar-lebar dengan ekspresi terkejut, teriakan heran pun meledak..."Ha? Siapa yang menempa dua senjata ini? Perlihatkan padaku!"
Orang tua berambut merah yang baru saja bangkit dari batu segera meraih senjata dari tangan dua Kurcaci, mata memancarkan kecemasan yang hanya terlihat pada wajah pandai besi Kurcaci yang memuliakan senjata. Perapian melirik Huo Ensi, menyerahkan An Ri ke orang tua itu.
Tangan besar yang kasar menggenggam gagang palu perang, ibu jari secara refleks menggesek bagian tepat di atas pegangan. Beberapa Ksatria Kurcaci serentak terkesima - orang tua ini jelas bukan sembarangan. Posisi ini sangat dekat dengan telapak tangan, hiasan apapun di sini mudah mengganggu fungsi senjata. Hanya tukang besi Kurcaci sejati yang berani mengukir prasasti di sini, hanya mereka yang percaya diri menyatukan prasasti dengan senjata. Dengan cara ini pengguna langsung mengenali tanpa mengurangi fungsi - ini adalah puncak kepercayaan diri.
Yang lebih mengejutkan Kurcaci Pegunungan, di tempat seharusnya ada prasasti justru memancarkan cahaya merah mengikuti gerakan ibu jari tua itu. Di bawah cahaya... tidak ada apa-apa... bukan... lebih tepatnya mungkin pernah ada sesuatu di sini, namun sekarang hanya menyisakan bekas yang terkikis.
Orang tua itu dengan santai mengambil kapak perang dari tangan Huo Ensi - sepertinya Huo Ensi sudah mati, membiarkan orang tua itu mengambil senjatanya. Sang tua melakukan gesekan di posisi yang sama, pemandangan menakjubkan muncul kembali. Di posisi yang sama ternyata muncul cahaya yang sama, dan di bawah cahaya yang sama terdapat bekas gesekan yang identik.
Hmm... Ketika orang tua itu memutar palu perangnya, dia melihat matahari merah dan matahari hitam. Kemudian mengarahkan mata kapak perang ke dirinya sendiri, sebuah simbol matahari kecil muncul. Sang tua mengeluarkan dengusan dingin dan bergumam: "Kekanak-kanakan, mencoba menutupi tapi malah semakin ketara..."
"Apa Anda tahu asal-usul kedua senjata ini?" Rekan Huo Ensi dari Perapian yang pertama sadar dari keterkejutannya.
"Oh... Tidak tahu." Orang tua itu menjadi sangat tenang, dengan santai melemparkan kedua senjata legendaris itu ke tanah.
Seandainya diganti dengan manusia biasa, pasti akan menebak bahwa sang tua menyembunyikan sesuatu. Sayangnya... Ini adalah beberapa Ksatria Kurcaci yang terkenal berpikiran sederhana. Satu-satunya yang bisa melihat masalah ini, Huo Ensi, sekarang sudah seperti mayat hidup.
"Terima kasih telah menyelamatkanku, lain kali akan kubalas kebaikanmu. Aku sibuk, aku pergi dulu." Sang tua sama sekali tidak memperlakukan mereka sebagai penyelamat.
"Boleh tanya..." Seorang Ksatria Kurcaci teringat tujuan petualangan ini: "Apa Anda tahu di mana letak inti api bumi?" Setelah mengucapkan ini, Ksatria Kurcaci itu langsung menyesal. Si tua brengsek ini mungkin bahkan tidak tahu apa itu inti api bumi, mana mungkin tahu lokasinya? Kalaupun tahu, maukah dia memberitahu?
“Oh...” orang tua itu berbicara seolah membahas menu makan malam: “Mencari ini untuk apa? Mau mengundang Daneel mengadakan api unggun?”
“Hmm... Kerajaan kami awalnya memiliki inti api bumi, tapi entah kenapa padam, jadi...” Ksatria Kurcaci berkata dengan terbata-bata.
“Oh? Kalian Kurcaci Pegunungan kan? Baik, akan kubantu, hubungan kita... selesai ya, jangan bicarakan soal menyelamatkanku ke orang lain.” Ucapannya yang datar adalah pengkhianatan sempurna, namun kontennya seperti kilat di siang bolong membuat kurcaci-kurcaci itu terpana – Dia tahu tentang inti api bumi? Jika bukan karena masih ada keraguan, para Ksatria Kurcaci itu hampir melompat.
“Ayo!” kata orang tua itu sambil melangkah besar menuju lahar.
Entah sejak kapan, dari kedalaman lahar mengalir bara api dalam jumlah besar, bergelombang dalam magma yang mendidih.
Perapian menitipkan Huo Ensi yang linglung kepada dua rekannya, sementara yang lain mengikuti orang tua itu langkah demi langkah menuju jantung lahar.
Hawa panas menyengat berhembus dari kedalaman neraka. Dalam benak para Ksatria Kurcaci yang mulai memudar, muncul gambaran tua tentang sebuah patung Trio Kelesit. Patung ini dipahat 20.000 tahun lalu oleh seorang pengrajin kurcaci terkenal berdasarkan kesaksian mata sendiri. Dalam gambar tersebut, di barisan depan berdiri para suci yang sulit dibedakan antara tangan kirinya dengan esensi api bumi - semuanya berubah menjadi kobaran api yang berkecamuk. Pada wajahnya terpancar ekspresi penderitaan ekstrem sekaligus sukacita yang mendalam. Setengah langkah di belakangnya, dua rekannya membawa ember air dengan pose sedang menyiramkan air ke tubuh sang suci. Keduanya menunjukkan ekspresi seperti sedang berteriak-teriak. Yang aneh, janggut yang menjadi simbol kehidupan kurcaci sama sekali hilang dari wajah ketiga pahlawan tersebut. Bahkan rambut di kepala sang suci pun telah lenyap tanpa sisa.
Baru saat ini beberapa Kurcaci Pegunungan menyadari bahwa patung itu benar-benar gambaran nyata. Janggut kurcaci yang terkenal sekeras baja - yang dengan tiga helai saja bisa menopang sebuah helm - kini terkulai lemas diterpa angin panas. Helai-helai paling luar sudah menghitam dan mulai mengeriting karena terbakar. Tampaknya tak perlu waktu lama lagi mereka akan berakhir seperti Yang Mulia sang suci.
“Langkah beberapa langkah ke dalam, lava kental semakin jernih, bahkan mengeluarkan suara mengalir yang riang, warna merah tak berujung menusuk mata Kurcaci hingga mengalirkan air mata, hembusan angin panas menggulung, semburan api bergemuruh menyembur dari magma, mengubah semua pakaian katun Kurcaci kembali menjadi senyawa karbon.
Jarang yang pernah mencapai inti bumi. Di langit-langit gua, batu-batu terus meleleh dalam gelombang panas menjadi batu cair yang jatuh, bongkahan besar tertarik gravitasi inti bumi ke dalam lava, semakin dalam, terdengar suara napas berat bergema dari kedalaman bumi bagai deru ombak dan gunung.
“Apa itu?” Akhirnya seorang Ksatria Kurcaci tak tahan menahan rasa ingin tahu.
“Api Naga.” Jawab lelaki berambut merah dengan nada datar.
“Oh!” Kurcaci kembali menunjukkan ekspresi terkejut. Menurut legenda, ini adalah satu-satunya monster di dunia yang bisa hidup dalam lava. Beberapa keturunan makhluk ini tinggal di sungai bawah tanah yang mendidih, para Ksatria Kurcaci tahu betul betapa ganasnya keturunan itu, apalagi nenek moyangnya yang legendaris ini.
“Dia... tidak akan mendekat kan?” Ksatria Kurcaci yang gagah sekalipun akhirnya bertanya dengan ragu.
“Hmm...” Orang tua itu mengeluarkan dengusan dingin dari hidung: “Siapa yang tahu.”
“Astaga, benar-benar tidak tahu bagaimana Yang Mulia Para Suci sampai di sini.” Di momen hidup-mati, bahkan ras seperti kurcaci yang tidak suka bicara pun merasa ingin terus mengoceh.
“Siapa yang tahu? Orang yang bisa sampai ke sini, hampir seperti dewa yang perkasa.” Suara orang tua itu penuh sarkasme.
Tidak tahu sudah berapa jauh mereka berjalan, para kurcaci telah kehilangan rasa waktu. Selain senjata penting, seluruh baju zirah logam telah dilepas dan dibuang di suatu batu api yang entah akan hanyut ke mana – di tempat seperti ini, benda logam akan langsung mengeluarkan asap jika disentuh. Jenggot... hiasan yang sangat dijaga oleh kurcaci telah habis terbakar... kecuali... anehnya, jenggot dan rambut Pangeran Horns, satu-satunya kurcaci Hutan, sama sekali tidak terpengaruh. Selain itu, kulit para Ksatria Kurcaci Pegunungan terus-menerus menggelembung berisi cairan. Jika bukan karena para ksatria ini pernah menjalani ujian berat di bawah tanah, mungkin mereka sudah terjatuh ke lahar.
Tepat saat semua kurcaci hampir menyerah dalam gelombang panas ini. Di kejauhan lahar, muncul sebuah batu api raksasa, dan di atasnya terbang seekor burung api berwarna emas.
“Ah? Bukankah itu burung emas berkaki tiga dari legenda?” Ada juga ksatria kurcaci yang cukup berpengetahuan.
“Hampir benar.” Suara orang tua terdengar mulai lesu: “Burung emas berkaki tiga hanya ada satu, ini adalah keturunannya yang juga abadi, sejenis makhluk dari dunia dewa.”
“Pulau itu adalah……?” Seorang kurcaci menggantungkan nada suaranya dengan harapan terkejut yang samar.
“Tepat! Inti Api Bumi berada di pulau ini.” Orang tua itu menegaskan ide tersebut tanpa ragu.
Tak lama kemudian, rombongan telah menginjak batu api dan menapaki pulau kecil. Anehnya, suhu di pulau justru tidak terlalu tinggi.
Di pulau itu tumbuh tanaman-tanaman merah bermekaran bunga ungu dan berbuah hitam. Para kurcaci tahu pasti ini benda asing, namun karena orang tua tak menyuruh memetik, dengan integritas mereka tak akan bertindak sembarangan. Beberapa hewan kecil berkeliaran bersembunyi di antara tanaman, menyembunyikan wujud aslinya. Di tengah pulau terdapat genangan air merah menyala – lebih tepatnya cairan yang lebih panas dari magma, mengalir pelan melalui saluran dangkal ke segala penjuru pulau sebelum jatuh ke magma. Magma yang tenang itu langsung mendidih dan mengalir menjauh.
Di tengah genangan merah itu, terdapat gumpalan gas yang bergerak-gerak.
Inti Api Bumi! Setiap Kurcaci Pegunungan tahu benda ini! Semua catatan Trio Kelesit menunjukkan wujud Inti Api Bumi di perut bumi – gas berdensitas tinggi.
“Siapa di antara kalian yang akan jadi persembahan pengambil Inti Api Bumi?” Orang tua itu bertanya sembari berdiri di tepi genangan.
Suara yang tidak keras itu bergema seperti dentuman petir di telinga para petualang.
Apa? Persembahan? Persembahan apa?
Orang tua berambut merah menoleh memandangi kurcaci yang terkejut, alisnya berkerut perlahan: "Tidakkah kalian tahu? Setiap kali mengambil inti api bumi, harus menggunakan kehidupan sebagai persembahan."
Ah—sebuah misteri sejarah akhirnya terungkap kebenarannya.
Sebelum Trio Kelesit, awalnya dikenal sebagai Kuartet Kelesit. Dalam perjalanan mengambil kembali inti api bumi, legenda menyebutkan adik kandung Para Suci terjatuh ke lahar. Dalam legenda tersebut, adik Para Suci bernama Thore adalah Ksatria Trenggiling Raksasa kurcaci terkenal akan kelincahannya yang tak terlihat selama ribuan tahun. Secara logika, kesalahan seperti terpeleset sama sekali tidak seharusnya terjadi.
Ucapan orang tua itu kembali terdengar: "Hmm... Izinkan saya mengingatkan sekali lagi, tentang inti api bumi, bawa pulang dan gunakan saja. Karena orang lain tidak tahu cara mengambilnya, kalian juga tak perlu banyak bicara." Nada bicaranya persis seperti memberi instruksi pada anak buahnya sendiri.
Ternyata... benar seperti yang diduga semua orang, rahasia itu tetap tersembunyi di bawah permintaan ini, dijunjung tinggi oleh para pahlawan Kurcaci yang setia pada janji.
Baru pada saat ini, para ksatria Kurcaci kembali merasakan penderitaan tak terperi yang pernah ditanggung oleh penguasa tertinggi para suci puluhan ribu tahun yang lalu - bukan hanya mengorbankan tangan kirinya sendiri, tapi juga kehidupan adik kandungnya yang ditukar dengan keagungan abadi. Namun... dia harus menenggelamkan kebesaran hati Yang Mulia Tore dengan "kesalahan" berupa kecelakaan kaki.
Pada saat Kurcaci Pegunungan terdiam sejenak, Huo Ensi tiba-tiba berjalan menuju kolam merah tanpa sepatah kata.
