Kemudian, dalam perang yang berlangsung selama puluhan ribu tahun, Yang Mulia Dewa Perang menjadi kekuatan utama mutlak di dunia dewa, kemudian menguasai seni ilahi satu wujud utama dan empat wujud tambahan - inilah alasan mengapa sosok yang ditinggalkan Dewa Perang di dunia manusia adalah sosok sipil, sebagai pengingat akan asal-usulnya sebagai pejabat rendah yang mengurus hewan-hewan di Kebun Binatang Suci.
Tanpa kebangkitan Dewa Perang, mungkin... kekuatan dunia dewa tidak akan bertahan hingga hari kebangkitan Dewa Ayah sebelum musnah bagai salju mencair.
Berkat kebangkitan Dewa Perang pula, di dunia dewa dan seluruh alam ciptaan Dewa Pencipta, praktisi bela diri mulai dihargai dan memperoleh status setara dengan penyihir.
Di antara 12 Dewa Utama, Dewa Perang menempati peringkat pertama dalam hal kekuatan tempur dengan wujud aslinya. Saat mengaktifkan seni ilahi satu wujud utama dan empat tambahan, kekuatannya mencapai hampir 3 kali lipat, cukup untuk menghadapi 4 Dewa Utama sekaligus. Hanya dalam pertempuran melawan dewa antardimensi setara Dewa Utama, Dewa Perang akan memanggil 1-2 wujud tambahan di luar wujud utamanya!
Namun, siapakah bocah berbaju hitam yang mirip Chi Aotian ini? Sampai-sampai memaksa Dewa Perang menggunakan seni ilahi satu-empat wujud, bahkan membuat Yang Mulia Dewa Cahaya memanggil ras dewa bawahannya langsung - termasuk malaikat bersayap enam.
Bahkan... Yang Mulia Dewa Naga pun akan mundur tiga langkah menghadapi kekuatan seperti ini.
Pemuda berbaju hitam itu menyaksikan semuanya dengan senyuman sinis khas Chi Aotian yang kembali menghias bibirnya.
“Hmm...” Sayap hidung remaja itu sekali lagi mengeluarkan decitan dingin: "Kaum rendahan takkan pernah memahami kemampuan atasan, berani-beraninya Engkau merendahkanku!" Tiga kalimat Pemuda Berbaju Hitam ini diucapkan dengan berbagai nada, hingga kalimat terakhir membuat langit-bumi berubah warna. Dari 1 juta massa, mereka yang berkehendak lemah langsung pingsan diterjang kata-kata itu.
"Lima Jenderal Drum Penjaga, kuberikan padamu roh pahlawan sembilan alam!" Dalam kidungan rendah remaja itu, lima mutiara hijau pucat melesat dari tangannya. Dengan putaran misterius di udara, butiran-butiran itu menembus rongga dada 5 kerangka di depan aula dalam sekejap. Cahaya hijau menyelimuti kerangka putih itu, dari jauh mirip api arwah di alam liar!
Lima kerangka itu berhenti sejenak, lalu tiba-tiba melesat ke angkasa. Saat terbang ke atas, dari punggung setiap kerangka tumbuh sepasang sayap tulang abu-abu sepanjang beberapa meter! Sayap tak bertulang itu mengepak dengan anggun di udara, memancarkan pesona yang menggetarkan jiwa!
Di tengah getaran sayap yang memesona, 5 kerangka menerjang ke arah Yang Mulia Dewa Perang dan empat wujud dharma secepat elang. Setiap kerangka malah menyerang satu wujud dharma! Yang lebih mengejutkan, 5 kerangka dadakan ini ternyata mampu bertarung seimbang melawan Dewa Perang! Setiap kerangka bertarung langsung dengan frontal, terutama yang menggunakan palu perang, pedang panjang, dan yang berubah menjadi beruang perang. Dalam benturan senjata pusaka dan senjata iblis, percikan api emas, merah, dan hijau beterbangan.
Pemuda berbaju hitam menoleh memandang Dewa Cahaya yang tertegun, sorot matanya berbinar-binar: "Aku...tentu takkan langsung bertarung melawan kalian. Jika begitu, orang akan bilang aku menindas yang lemah. Kemenangan seperti itu tak terhormat. Lebih baik kuundang bala bantuan untuk melawanmu. Aku penasaran, setelah ribuan tahun, apakah dunia penciptaan benar-benar mengalami kemajuan!"
Sambil berkata, remaja itu kembali mengeluarkan mutiara hijau. Jari-jarinya yang putih bak giok memutar perlahan. Mutiara itu retak berdebum, memancarkan cahaya hijau yang melambung ke langit bagai ingin kabur ke semesta. Dengan gerakan tangan, semua cahaya hijau itu terkumpul dalam genggamannya. Lalu, tangan pucat itu menaburkan cahaya itu ke bumi.
Cahaya hijau berderai-derai menghujam tanah bagai hujan. Kilau hijau itu perlahan memudar di udara, dari hijau pekat menjadi kehijauan samar, menyebar lembar demi lembar ke kejauhan...
Hanya dalam beberapa tarikan napas!
Di lapangan depan Kuil, tubuh pendosa yang terpaku erat di salib hitam dengan puluhan paku besi tiba-tiba bergerak! Tangan kerangka putih salju melepaskan diri dari tubuh yang sudah lama membusuk...
Lengan kerangka terdiam sejenak, lalu membalik dan menempel di dada, ciiit—— sepotong besar otot berbau busuk terkoyak. Bersamaan, tangan satunya juga melepaskan diri. Kedua tangan putih salju itu menari-nari seperti kupu-kupu, merobek semua daging yang membusuk hingga tersingkaplah kerangka tubuh yang tinggi besar.
Seiring dengan melayangnya kabut hijau muda, di kejauhan, semakin banyak salib yang menunjukkan reaksi serupa.
Para penduduk yang menyaksikan berlindung ketakutan dengan wajah pucat pasi, bahkan pahlawan berpengalaman seperti Ling Yun pun wajahnya sedikit memucat!
Bagi satu juta penduduk yang berkumpul di depan Kuil pada tanggal 30 Bulan Panas ke-2 Kalender Sihir tahun ke-6, hari itu bagai mimpi buruk yang tak pernah bisa diusir dari ingatan! Semua saksi mata mulai hari itu tak bisa benar-benar tertidur, setiap kali pikiran melayang, bayangan hari itu langsung muncul tanpa diundang!
Jika 5 kerangka pertama masih terlihat agak estetis, maka ribuan kerangka yang melompat dari salib berikutnya benar-benar mengubah hamparan bumi luas menjadi neraka yang hidup!
"Yang lebih membuat orang heran adalah, sejak lahir, ribuan kerangka ini langsung membentuk pasukan! Meskipun terlihat sama, di setiap kelompok kerangka selalu ada beberapa yang segera tampil. Dengan gemertak rahang atas-bawah, mereka mengatur barisan dengan cepat; para perwira tengkorak berlari menyusuri formasi sambil menghitung jumlah pasukan, lalu mengangkat lengan putih untuk memimpin prajurit tengkorak berkumpul dalam formasi."
Kelompok-kelompok kerangka putih pucat segera membentuk barisan seperti Tembok Besar di depan kuil!
Kemudian, 3 kerangka bertubuh tinggi berjalan gagah di depan pasukan bagaikan Jenderal Besar yang wibawanya mampu memerintah dunia! Barisan demi barisan kerangkat memberikan salam bahu kepada trio ini dengan tertib!
Terkejut! Aneh! Takut! Hanya tiga kesan ini yang tersisa dalam benak semua manusia!
Ling Yun dan Hu Erdu tiba-tiba merasa hidung mereka pedih. Dalam sekejap mereka menyadari: tata cara militer yang digunakan pasukan tengkorak ini ternyata persis seperti pasukan Federasi Utara! Karena terburu-buru, mereka belum memahami asal-usul kuil ini sepenuhnya.
"Pemuda, kemarilah. Lihatlah hadiah kecil yang kusiapkan ini, apakah sesuai dengan hatimu." Pemuda Berbaju Hitam berkata lembut.
"Yang Mulia... Tampaknya terlalu merendahkan!" Wajah Dewa Cahaya telah kehilangan kewibawaannya yang mempesona: "Yang Mulia! Apakah..."
“Lupakan saja, kamu bahkan bisa memanggil Malaikat Enam Sayap. Tadi kenapa tidak bilang kami keterlaluan? Hanya karena menganggap aku tidak punya sekutu di dunia ini? Hmm... Terlalu dibuat-buat.” Suara Pemuda Berbaju Hitam mulai terdengar merendahkan: “Meski aku tidak mengagungkan Dewa Pencipta dan Dewa Naga, setidaknya mereka tidak seperti kamu. Ayo, tetap bertarunglah. Pertarungan ini akan menentukan nasib aula ini. Sejujurnya, aku cukup menyukainya.”
Remaja itu berhenti sejenak lalu melanjutkan: “Walau... kekuatan tempur Malaikat Enam Sayap dan Malaikat Empat Sayap memang luar biasa, tapi... kurasa... perubahan kuantitas akan memicu perubahan kualitas. Aku ingin lihat apakah 6.000 lebih prajurit tengkorak ini mampu mati bersama para malaikat itu!”
Dewa Cahaya menoleh memperhatikan kondisi Dewa Perang – sang dewa memang memiliki kekuatan tempur tak tertandingi. Lima tengkorak jelas berada di posisi kalah, namun karena ada seorang pemanah di antara tengkorak yang bisa menembakkan panah kilat, keempat avatar Dewa Perang sangat waspada terhadap bulu panah hijau tua itu. Setidaknya, pertempuran tidak akan selesai dalam waktu dekat!
Dewa Cahaya menggeleng pasrah, memberi isyarat pada para malaikat di sekitarnya untuk tidak bertindak. Ia kembali menatap Pemuda Berbaju Hitam dengan suara tegas: “Anda mungkin tidak peduli pada pengawal yang dipanggil secara acak ini, tapi... aku... tidak bisa!”
"Yang Mulia," sambil berkata, Sang Pangeran menunjuk malaikat enam sayap, "Ini adalah pemimpin malaikat yang berjasa besar dalam Perang Para Dewa. Jika bukan dia dan saudara-saudaranya, mungkin dunia dewa sudah lama musnah. Sedangkan mereka," Dewa Cahaya memalingkan pandang ke malaikat empat sayap, "adalah generasi baru yang lahir di akhir Perang Dewa Utama. Berbeda dengan malaikat era lain, sebagian besar dari mereka bahkan tak pernah melihat ayah mereka sendiri. Sejak hari pertama bisa terbang, mereka telah berjuang mempertahankan dunia ini! Di tahun-tahun terakhir, meski di bawah pimpinan Dewa Ayah kita terus meraih kemenangan, tapi... sebagai pasukan inti dunia dewa, berapa banyak dari mereka dan saudara-saudaranya yang gugur di pertempuran terakhir sebelum kemenangan! Lebih dari 70% malaikat yang lahir di era itu, semuanya gugur. Dan para malaikat dua sayap ini, sebagian besar ayah mereka adalah pejuang Perang Para Dewa, hampir setiap orang pernah mengalami luka parah."
"Yang Mulia Malaikat Maut..." Begitu sebutan itu meluncur dari mulut Dewa Cahaya, teriakan kaget sejuta orang bergemuruh menyatu bagai guruh di semesta! Malaikat Maut! Apakah pria ini adalah Malaikat Maut?! Di dunia fana, tak seorang pun pernah melihat wajah asli Malaikat Maut. Selama ini, manusia hanya menggunakan arit panjang berbilah melengkung sebagai lambangnya. Tak disangka, sosok yang bersembunyi di balik kegelapan ini memiliki rupa yang begitu mempesona.
"Malaikat Maut!" Dewa Cahaya terpaksa mengkonfirmasi kembali sapaan yang mencengangkan itu: "Secara prinsip, sebagai dewa yang harus mempertahankan kuilku, aku harus bertempur seperti Yang Mulia Dewa Perang. Karena di hatiku juga membara api kemarahan yang tak terkatakan..."
Semua orang bisa merasakan kepasrahan dan kemarahan dalam ucapan sang dewa!
"Tapi..." Sang dewa tiba-tiba mengubah nada bicara: "Secara emosional, aku tak bisa melakukannya! Jika ada invasi setan dari luar, aku dan anak buahku akan bertempur sampai orang terakhir demi mempertahankan keadilan semesta! Namun untuk memperebutkan kuil... Aku tak mungkin membiarkan satu pun dari mereka menerima luka sekecil apapun! Dan aku juga tak ingin rakyat tak berdosa ini kembali terluka dalam perang perebutan kuil ini! Yang Abadi, kau menang. Tempat ini... kuberikan padamu!"
Setelah berkata demikian, Yang Mulia Dewa Cahaya berpaling ke ribuan massa di depan kuil: "Warga sekalian! Aku dan Dewa Perang sangat berterima kasih atas kuil megah yang kalian bangun dengan penuh kesetiaan ini! Kupercaya, sepanjang puluhan ribu tahun di dunia ini, tak ada kuil yang lebih agung maupun pemuja yang lebih setia daripada kalian! Sayangnya, demi memenuhi permintaan Malaikat Maut, kami harus meninggalkan tempat ini. Wahai warga, biarlah cahaya dunia dewa menyapumu selamanya, menguatkan keyakinanmu. Akan kuanugerahkan berkah padamu semua."
Dalam ucapannya, Yang Mulia Dewa Cahaya menggerakkan lengan dengan lembut. Cahaya putih susu yang memancarkan aroma mistis yang pekat turun membungkus langit, dalam kabut cahaya putih kelopak-kelopak bunga suci beterbangan, kuncup-kuncup putih yang suci perlahan menghujani tubuh sejuta massa. Mekar dan gugur berhamburan. Sejuta rakyat tersentuh hingga menitikkan air mata oleh kata-kata tulus Sang Dewa Utama! Sebagai dewa, rela meninggalkan istana megahnya demi anak buah dan pemujanya - ini merupakan preseden tak tertandingi sepanjang sejarah.
"Berdiamlah... berhamburanlah... Tinggalkan tempat ini... Ikutilah utusan gereja, biarlah restuku senantiasa menyertai kalian!"
Setiap penonton mendengar suara ilahi itu, refleks mengikuti titah dewa. Perlahan mereka bangkit, langkah demi langkah menjauh ke pedalaman Dataran Bunga. Dari kejauhan, kerumunan manusia itu bagai gelombang yang menyebar ke segala penjuru.
Sama sekali tidak disangka oleh Pemuda Berbaju Hitam - Dewa Cahaya ternyata mengucapkan kata-kata dan melakukan hal seperti ini! Dunia Malaikat Maut dan dunia dewa memang terhubung melalui lubang cacing. Tentang watak para Dewa Utama di dunia penciptaan, sedikit banyak telah didengarnya. Bagaimanapun, Dewa Cahaya mustahil disamakan dengan konsep 'pria terhormat' ala filsafat. Namun kemudian, sang dewa melakukan hal yang lebih mengejutkan.
Dalam kilatan cahaya putih susu, Dewa Cahaya menerjang wujud administratif Dewa Perang. Kilasan cahaya emas-perak menyambar, tiba-tiba Dewa Perang yang sudah di ambang ledakan amarah itu menghilang bersama Dewa Cahaya!
Dalam kebingungan sejenak, Pemuda Berbaju Hitam memahami maksud Dewa Cahaya. Di kuil mana pun Sang Pencipta, Dewa Perang selalu merupakan dewa yang paling keras kepala. Bahkan Sang Pencipta sendiri sulit membuat Dewa Perang menunduk, apalagi menghadapi penguasa dunia lain. Jika Dewa Cahaya tidak membawa pergi Dewa Perang... orang berwatak keras ini pasti akan bertarung hingga maut memisahkan. Jika demikian, bukankah semua tindakan Dewa Cahaya sebelumnya sia-sia?
Kuil yang sebelumnya riuh rendah tiba-tiba menjadi sunyi mengerikan! Jika bukan karena tunggangan yang ditinggalkan beberapa pemuja, mustahil membayangkan tempat ini baru saja dipadati jutaan orang seperempat jam lalu.
Di semesta, hanya tersisa pemuda berbaju hitam di panggung tinggi, lima Jenderal Drum Guard yang kehilangan target dan bingung, serta kerangka-kerangka yang baru dipanggil... Tentu juga dua Kesatria Naga berjubah putih di bawah panggung.
Ling Yun dan Hu Er sama-sama tidak pergi - kata-kata Yang Mulia Dewa Cahaya tadi tidak mempengaruhi kesadaran mereka. Di dunia fana ada pepatah: "Percaya maka terkabul, tak percaya maka tak ada." Ucapan yang tampak biasa ini sebenarnya... berasal dari dunia dewa, dan merupakan salah satu prinsip tertinggi di sana. Tentu, dalam bahasa dewa tinggi, teks aslinya jauh lebih dalam maknanya. Para dewa, dari mana pun asalnya, hanya bisa mempengaruhi pikiran manusia yang memuja mereka. Lebih lagi, jika seorang dewa tak memiliki pemuja, ia tak punya status di dunia dewa - karena berarti tak ada sumber kekuatan dewanya.
Yang disebut dewa memberkati manusia bukanlah tindakan yang sepenuhnya tanpa pamrih. Pada dasarnya, itu hanyalah umpan yang harus dilemparkan para dewa untuk mengembangkan kelompok dan kemampuan mereka sendiri.
Federasi Utara sebagian besar waktu diselimuti salju dan es. Ketika penduduk menghadapi masalah, mereka lebih sering memohon kepada spirit salju dan es daripada Dewa Cahaya gereja. Oleh karena itu, kehendak Dewa Cahaya sama sekali tidak bisa memengaruhi dua remaja ini. Apalagi, keduanya memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap sosok di panggung tinggi yang mirip Chi Aotian namun dijuluki Malaikat Maut. Bagaimanapun... mungkin hanya orang inilah yang bisa menjawab - Di manakah Tuan Chi Aotian berada? Apakah... Chi Aotian benar-benar sudah...? Jika tidak, mengapa orang ini menggunakan wajah Chi Aotian?
Yang tak terduga, pemuda berbaju hitam itu justru melambaikan tangan pada mereka dengan senyum sinis di panggung - Punggung dua remaja pemberani itu langsung basah oleh keringat dingin...
