Empat orang yang memandu jalan di depan semakin tidak yakin dengan langkah mereka.
“Kita bawa tank dan senjata sebanyak ini. Gaya kerja kita seperti serigala lapar, tidak seperti orang yang mau gabung, malah seperti mau berantem.” Mereka mulai berbisik-bisik.
“Kakak Kumis, orang-orang ini kayaknya mencurigakan. Mana ada yang masih punya tank zaman sekarang? Katanya dari militer, jangan-jangan utusan pemerintah mau memberantas kita.”
“Dasar otak udang! Pemerintah masih sibuk ngurus infeksi, mana sempat urusin kita? Ini pasti bukan pemerintah. Tank mungkin peninggalan keturunan militer.”
“Bener juga. Tapi meski keturunan militer, mau gabung sama kita? Aku rasa mereka cuma pake alesan minta dipandu, bohongin kita, terus masuk gunung mau habisi orang-orang Tio Ye.”
Mereka saling berbisik dengan perasaan was-was yang semakin menjadi.
“Si Kumis yang berusia 40-an tahun, sudah mengalami segalanya, berkata dengan bijak: 'Di zaman seperti ini, bukankah tujuan kita hanya bertahan hidup? Apakah Biao Ye dan Shi Ye benar-benar baik pada kalian? Meski mereka berkonflik, itu bukan urusan kita. Tugas kita hanya menyelamatkan nyawa. Lakukan saja perintah mereka, yang penting selamat, benar kan?'”
Beberapa orang langsung mengangguk setuju: "Kak Kumis, kami ikuti katamu. Apa yang kau katakan pasti benar."
“Kalau begitu tunjukilah jalan, lakukan tugas dengan baik - yang penting tetap hidup.”
Rombongan itu pun melanjutkan perjalanan tanpa bicara lagi.
Gunung Tianma masih terletak sekitar 5-6 kilometer lagi, berada di lembah pegunungan terpencil yang jarang dijamah manusia.
Untunglah tank Tiger memiliki performa tangguh, akhirnya kami tiba dengan selamat. Terlihat sebuah gunung dengan ketinggian sekitar 700-800 meter.
Memandang ke depan di akhir musim panas, jalan setapak berbatu terlihat jelas di antara rimbunnya pepohonan hijau.
Tank Tiger bisa mencapai lereng tengah gunung.
Si Kumis mendekat dan menjelaskan: "Di depan sana adalah Gunung Tianma. Dulunya ada kuil Guan Gong di puncak, tapi sudah hancur. Setelah kami datang, kami merenovasinya untuk tempat tinggal."
“Kuil Guan Gong!?”
Saya mengeluarkan teropong. Benar saja, di puncak gunung berdiri sebuah kompleks kuil yang luas dengan ladang persawahan, seperti permukiman mandiri di lembah terpencil.
Dan sepanjang jalan, benar-benar tidak ada tubuh terinfeksi di sini, tempat yang mereka pilih ini sungguh bagus.
Tempat yang ditinggalkan oleh tubuh terinfeksi.
Aku langsung berteriak, "Lanjutkan naik ke atas!"
Tak memikirkan apapun lagi, tank terus melaju ke atas, kita harus kuasai tempat ini dulu.
Di atas sudah ada orang bersenjata berteriak, "Siapa kalian? Ini wilayah Biao Ye! Cepat sebut identitasmu, atau kami tidak segan menembak!"
Mendengar suara tank, sekitar dua tiga puluh orang langsung datang membawa senjata.
Orang-orang di permukiman kaget, langsung mengangkat senjata juga, situasi berhadap-hadapan.
Kumis Kecil segera mendekat dan berkata, "Jangan tembak! Ini aku, Kumis Kecil. Mereka datang untuk bergabung, bawa tank dan roket, sangat hebat. Cepat laporkan ke atas!"
Pemimpin regu yang mengenal Kumis Kecil turun dan memandangi kami sinis, "Apa ini bisa dipercaya? Kumis, jangan sampai kau tertipu. Formasi mereka seperti mau serang. Lagipula, kalian berangkat dua puluh orang, kok cuma beberapa yang kembali?"
Si Kumis menghela napas pasrah, "Air besar menghanyutkan kuil naga, informasi dari bawahan tidak akurat. Mereka bahkan punya tank. Begitu kami menyerang, langsung kewalahan. Setelah berunding, baru tahu mereka awalnya di kota, tapi karena terlalu banyak yang terinfeksi, mereka kabur. Sekarang tidak punya rumah, makanya bawa semua aset. Korban kami tidak seberapa, mereka sekarang ingin bergabung dengan Tuan Biao, jadi keluarga kita. Pasukan kita akan semakin kuat."
Dia juga memberiku senyum sambil sedikit membungkuk.
Kapten regu itu berpikir sejenak, "Ini di luar wewenangku. Aku akan laporkan ke atasan untuk keputusan." Tapi dia juga tidak terlalu yakin, menambahkan, "Jaga mereka baik-baik, tunggu instruksi. Jangan biarkan mereka bergerak sembarangan. Perang atau damai, atasan yang tentukan. Semua harus siaga!"
Laras senjata masih mengarah ke kami untuk berjaga-jaga, sebelum dia lari cepat ke atas.
Si Kumis berkata padaku, "Tuan Biao menyukai orang-orang berkemampuan, pasti akan menerima kalian."
Titan berbisik padaku, "Katanya mereka cuma punya seratus lebih senjata, mungkin juga mengada-ada. Di kaki bukit kita sudah bunuh hampir 20 orang. Di sini ada sekitar 30 lagi. Kalau kita serang, ditambah serangan dari atas, pasti beres. Tank kita sudah mahir di medan ini."
Bisa dilakukan seperti itu.
Tapi Kuil Guan Gong di atas sudah direnovasi dengan baik. Jika diserang lagi, akan hancur. Ada juga banyak tanaman yang terbuang.
Jadi strategiku tetap menangkap pemimpinnya dulu. Kurasanya mereka tidak terlalu hebat, aku gelengkan kepala, "Sudahlah, lebih baik kita berdua saja yang masuk."
“Baik, Kapten kecil itu segera turun, berkata dengan angkuh: ‘Pak Biao bilang, kita bisa bergabung. Masalah pembunuhan kalian bisa diabaikan, ibarat air besar menghanyutkan kuil naga. Dia juga senang dengar kalian punya tank. Tapi ada syarat: kalian harus tunduk pada kami, patuh perintah kami. Dan untuk menunjukkan kesungguhan, pemimpin kalian harus naik sendiri ke atas. Sendirian. Kalau tidak berani, berarti kalian ada niat jahat.’”
Aku tersenyum: “Kami berdua yang memutuskan. Boleh dua orang?”
Kapten kecil itu berpikir sejenak: “Dua juga boleh. Tapi harus tinggalkan senjata, kami akan menggeledah.”
“Tak masalah.”
Langsung kukeluarkan Desert Eagle, kuserahkan ke Xia Yingying: “Belajar juga cara menembak. Pistol ini untukmu, semoga berguna nanti.”
Bahkan pisau tempur yang terikat di betis kukeluarkan, kuserahkan padanya. Kupeluk dia, berbisik di telinganya: “Ingat, begitu dengar tembakan di atas, suruh mereka tembakkan meriam ke langit. Pastikan orang tua dan anak-anak bersembunyi di belakang tank. Habisi semua orang di sini. Kita punya senjata kuat, dua senapan mesin dan roket di tank. Pasti bisa.”
Wajahnya cemas, manggut-manggut: “Ya, ya, ngerti. Tapi kalian... tidak... tidak akan kenapa-kenapa kan?”
“Tidak mungkin. Gerombolan bandit kecil mana sanggup melawan Yang Zirong. Nanti kita serang dari dalam dan luar, selesai dengan mudah. Takkan ada korban. Tempat ini juga bisa diselamatkan. Tangkap raja banditnya dulu, nanti juga tahu.”
Dengan senyum lebar, dia membawa Titan berjalan mendekat.
Orang itu memeriksa sejenak lalu berkata, "Ayo naik, Tuan Biao dan yang lain sudah menunggu. Kau juga, Si Kumis, ikut untuk menjelaskan situasi. Yang lain tetap di posisi, jangan sampai ada kesalahan."
"Hmm, hmm."
Kami pun memasuki kawasan Tianma. Sepanjang jalan terlihat pemandangan indah, banyak orang sibuk menggarap ladang. Benar-benar surga terpencil di lembah gunung yang jauh dari keramaian, menyegarkan pandangan mata.
Titan berbisik gugup di telingaku, "Kakak Tang, kita tidak bawa senjata, bagaimana ini?"
Kutjawab sambil tersenyum, "Diam saja lihat, nanti juga akan ada senjata."
Kutepuk-tepuk dada sebagai isyarat bahwa senjata tersembunyi di sana.
Wajahnya langsung lega, berdiri tegak mengikutiku memasuki Kuil Guan Gong hingga sampai di depan aula utama tempat para pemimpin berkumpul.
Beberapa orang mendekat, "Kalian calon anggota baru? Tuan Biao menunggu. Tapi harus pemeriksaan ulang sebelum masuk."
Komandan regu menyela, "Sudah diperiksa tadi, bersih."
"Periksa lagi, harus dipastikan."
Mereka meludah sembarangan lalu meraba-raba tubuhku dan Titan. Setelah yakin tak ada yang mencurigakan, mengancam, "Masuklah! Jangan coba main akal, puluhan senjata mengawasi di luar."
Barulah kami diizinkan masuk.
“Di dalam seperti markas perampok, ada beberapa kursi yang tertata. Di belakang terdapat patung Guan Yu, beberapa orang duduk di sana. Seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun duduk di tengah, dikelilingi dua orang yang lebih muda. Seseorang sedang mengelus janggut tiga helai, tampaknya seperti Si Qiang Ge dan penasihat.”
“Ada juga beberapa orang lain yang tampaknya merupakan kepala kelompok lain.”
“Total tujuh orang di dalam menyambut kami berdua, cukup meriah. Juga terkesan seperti sekelompok perampok yang menduduki wilayah.”
“Saat aku masuk ke tengah ruangan tanpa bicara, aku menggesek cincin penukar dan berbisik, 'Dua Desert Eagle, isi magasin penuh, taruh di dadaku.'”
“Tidak masalah.”
“Aku merasakan dua pistol muncul di dada. Saatnya bicara. Aku langsung mengeluarkan kedua pistol itu. Di bawah tatapan tak percaya semua orang, 'Dorr!' 'Dorr!' Tembakan cepat, setiap peluru mengenai kepala.”
“BAB 22 MENDUDUKI GUNUNG TIANMA”
“Kemampuan menembakku tak diragukan. Jarak hanya 2-3 meter, bisa dibayangkan, tujuh orang itu hancur lebur tak berbentuk.”
“Semua membeku.”
“Orang-orang di luar langsung gempar.”
“Mereka tak menyangka aku langsung menyerang. Padahal sudah diperiksa, tapi aku masih punya senjata. Mereka terpana tak berkutik.”
“Setelah beberapa detik, baru berteriak, 'Bangsat! Bunuh dia! Balas dendam untuk Biao Ye!'”
“Mereka mulai menerobos masuk.”
“Dengan dua pistol di tangan, aku menembaki pintu masuk tanpa henti. Beberapa penjaga mereka mundur, korban berjatuhan.”
“Setelah peluru habis, aku melempar senjata dan segera berguling mengambil senjata penjaga, menembaki mereka habis-habisan sebelum melemparkan senjata ke Titan sambil berkata, ‘Jaga pintu gerbang, tembak terus!’”
“Kemudian berguling ke arah lain dan bicara dengan Cincin Penukar, ‘Beri tiga granat, plus senapan mesin AK47, taruh di belakang bangku.’”
“Berguling lagi ke sana, mengambil senjata, lalu mulai memuntahkan peluru ke arah pintu.”
“Hampir tidak memberi mereka waktu bereaksi. Semua gerakan dilakukan mulus dalam satu tarikan napas, membuat semua orang terbelalak.”
“Penyerang di pintu sudah kami dan Titan habisi. Baru saat itu orang-orang di halaman sadar dan mulai menyerang kami dengan tembakan.”
“Tembakan mereka sangat gencar sampai aku tak bisa mengangkat kepala. Aku mengambil granat dan melemparkannya. ‘Boom!’ Mereka mundur. Aku berteriak, ‘Kami hanya mau balas dendam pada pemimpin. Di bawah ada tank, ratusan senjata, dan rocket launcher. Kalian tak bisa menang. Letakkan senjata, kami akan mengampuni kalian dan hidup damai bersama!’”
“Teriakan itu kulanjutkan dua kali.”
“Mereka di pintu tak percaya. Melihat kami membunuh, mereka malah menerobos sambil menembaki pintu dan jendela.”
“‘Bunuh mereka! Bunuh mereka!’”
“Tembakan terus menghujani ruangan.”
“Aku dan Titan tiarap di lantai sambil melawan.”
“Bagiku ini hal sepele. Aku berani karena sudah persiapkan. Situasi lebih berbahaya pernah kualami. Tembakan terus kulancarkan, semuanya tetap terkendali.”
Titan tidak menyangka aku langsung menyerang, bertanya: "Kak Tang, kita... langkah selanjutnya gimana?"
Aku tertawa: "Cuma gerombolan kampungan, santai aja, liatin saja."
Kuambil granat, melihat mereka bersiap menerobos, kulempar lagi satu. "Boom!" Beberapa orang tewas.
Di bawah, sudah kusiapkan segalanya.
Dentuman senjata dan tembakan tank segera bergemuruh silih berganti.
Mereka panik, mulai berusaha menghalangi dari bawah.
Teriakku: "Liat kan? Kalau nyerah sekarang, kita bisa hidup damai. Kami yang memimpin, jaminan hidup lebih baik. Nggak mau? Hmph... kalian semua mati! Pasukan kami ada di dalam-luar, mau lawan bagaimana?"
Kalau kami serang dari bawah saat pimpinan mereka masih utuh, mungkin bisa bahaya.
Sekarang mereka sudah tercerai-berai, kami serang dari dua arah. Mustahil mereka menang.
Kulempar granat terakhir: "Kami datang dengan persiapan! Senjata kalian nggak ada apa-apanya. Tank saja kami punya. Nyerah atau mati!"
Kulihat kumis tipis itu masih hidup, teriakku: "Kau sudah liat kekuatan kami. Mau mati atau nyerah?"
Si kumis gemetar: "A-aku nyerah... nggak mau mati... aku nyerah."
Yang lain ingin memakinya, masih ingin melawan, tidak percaya padaku.
Dia berkata: "Mereka ada di bawah gunung, punya tank, punya roket, lengkap semuanya, kita tidak bisa menghadang, lebih baik menyerah saja, lagipula mengikuti siapa pun sama saja, Biao Ye dan yang lain sudah mati, kita mati lagi, tidak ada artinya, terus berperang berarti mati, menyerah masih ada secercah harapan, tidak mungkin dihadang."
Kata-katanya benar, mereka tidak bisa menghadang, mulai goyah.
Dentuman meriam di bawah terus bergema.
Satu per satu hanya bisa menghentakkan kaki tanpa daya.
Si Kumis berkata: "Agar lebih banyak orang selamat, jangan ditunda lagi, menyerahlah."
Aku menembak "dor!" "dor!" di dalam sambil berteriak: "Sekarang menyerah masih belum terlambat, tunggu sampai pasukan besar kami masuk, kalian semua akan mati."
Tertawa terbahak-bahak.
Membuat mereka benar-benar ciut, satu per satu juga tidak pernah dapat latihan resmi, hanya ingin hidup, cari makan, tidak punya rencana, akhirnya mengangguk pasrah.
Si Kumis berteriak: "Kami menyerah, menyerah, keluarlah kalian, suruh mereka berhenti menembak, kalau terus ditembak, tempat ini akan hancur."
Aku berteriak: "Lempar senjata ke dalam, semua masuk ke ruangan, aku tidak percaya kalian."
Orang-orang itu kehilangan pemimpin, bos-bos besar sudah mati semua.
Operasi pembunuhan target kami sukses total, saling pandang lalu melemparkan senjata ke dalam.
Senjata Titan hampir kehabisan peluru, segera ambil dua pucuk.
Mengarahkan ke luar.
Aku berteriak: "Jangan sembunyi-sembunyi lagi, semua maju ke depan, berdiri di pintu, aku lihat, kalau kooperatif pasti dijamin selamat."
Mereka sekarang hanya bisa patuh, senjata pun sudah dibuang, terpaksa mengangkat tangan muncul dalam pandangan kami.
"Kumis kecil masih bicara, 'Kami semua orang biasa yang sengsara, lepaskan kami. Kami tidak ingin bermusuhan.' Hampir saja dia berlutut minta ampun."
Aku berdiri dan berkata, "Kalau begitu turun dan suruh mereka berhenti melawan, serahkan senjata. Bilang kita sudah berunding. Cepat, biar anak buah kita naik. Kami tidak akan membunuh orang biasa."
"Hm, hm."
Si Kumis segera pergi.
Aku dan Titan keluar sambil membawa senjata. Tidak banyak orang, sekitar belasan yang mengangkat tangan, sisanya warga yang sudah mengunci diri di kamar.
Kami menguasai situasi sepenuhnya. Melihat sekeliling, aku tertawa, "Jongkok di sebelah kiri. Dengarkan, kalian tidak akan dirugikan."
Mereka semua orang-orang terdesak di akhir zaman, tanpa nyali, hanya ingin hidup. Langsung jongkok di kiri.
Si Kumis selesai menyampaikan pesan.
Orang-orang yang menghadang di lereng gunung naik sambil mengangkat senjata. Di belakang mereka, Xia Yingying dan kawan-kawan membawa senjata berat, tampaknya tidak terluka. Kami lebih dulu mengambil inisiatif.
Melihat aku dan Titan, mereka tersenyum, "Tidak ada korban sama sekali. Seperti katamu, terus menembak ke udara. Kuil Guan Gong juga aman. Rocket launcher dan senapan mesin sudah cukup."
"Bagus."
Aku berteriak, "Jongkok di kiri! Semua jongkok!"
Sisanya tinggal sekitar belasan orang yang jongkok pasrah. Total mungkin tidak sampai tiga puluh orang.
Aku berkata pada Si Kumis, "Pergi kumpulkan semua orang yang tinggal di lereng gunung ini. Pria, wanita, tua muda – jangan ada yang ketinggalan."
Kumis Kecil sampai di tahap ini hanya bisa terus mendengarkan kami, pergi memanggil orang.
Kami dengan mudah menghancurkan markas mereka. Seperti kata sebelumnya, mereka orang biasa tanpa latihan khusus. Dengan persenjataan berat kami, segalanya jadi mudah – suara meriam tank saja sudah membuat mereka ketakutan.
Saat itu orang-orang mulai berkumpul, total sekitar tiga hingga empat ratus orang.
Beberapa perempuan berdandan menor dan berpakaian mencolok, jelas istri kepala bandit, bahkan melambaikan mata ke arah kami.
Aku berteriak: "Kami melakukan ini untuk bertahan hidup, terpaksa! Tapi tenang, setelah ini kita semua satu keluarga. Kami tak akan merebut rumah kalian – kami akan bangun sendiri. Kehidupan di gunung ini akan lebih baik dari sebelumnya!"
Kuayunkan tangan: "Keluarkan semua barang curian para bos besar – senjata, makanan, apapun! Bawa kemari semua!"
Mereka yang tahu lokasi segera pergi ke gudang, mengeluarkan harta dan senjata hasil rampokan selama belasan tahun ke pelataran.
Jumlahnya sangat banyak.
Aset yang cukup kuat.
Ada juga rokok.
Sambil tersenyum kuambil sekotak cerutu, menyalakannya: "Aku ambil cerutu ini dan senjata. Sisanya untuk kalian – rebutlah siapa cepat dia dapat!"
Mereka saling pandang, terkejut bukan main.
Kukatakan: "Kalau tidak diambil, akan kubakar habis!"
“Baru sekarang orang-orang ini bertindak, membagi barang-barang yang dibawa para kepala kelompok, sebagai bentuk menenangkan mereka.”
“Sisanya, urusan para pemegang senjata.”
“Aku mengarahkan senjata ke mereka dan berkata: ‘Beri tahu saya, siapa yang suka menindas yang lemah, siapa yang memaksa orang baik jadi pelacur, siapa yang pantas dibunuh, siapa yang layak mati. Kalau kalian beri tahu, langsung kami eksekusi di tempat. Jangan sampai kehilangan kesempatan ini. Nanti, status mereka akan sama seperti kalian. Kekuatan bersenjata di pegunungan sekarang di bawah kendali kami. Kami jamin keamanan kalian. Jadi kalau sekarang tidak bicara, tidak ada kesempatan lagi.’”
“Titan dan kawan-kawannya membawa senjata berat, Gatling, peluncur roket, berdiri dengan dada membusung.”
“Dibandingkan mereka, kami adalah pasukan resmi.”
“Orang-orang ini sudah ketakutan setengah mati. Karena hidup bersama, selain beberapa kepala geng, tidak banyak orang jahat. Jadi tidak ada lagi eksekusi.”
“Aku berkata: ‘Maka semua direset. Masalah masa lalu tidak akan dipermasalahkan lagi. Jangan berbuat kejahatan lagi. Kalau melanggar, hukuman mati. Sekarang bersihkan kuil Guan Gong, kuburkan yang mati, lalu jalani hidup seperti biasa. Perempuan-perempuan mantan selingkuhan bos kalian, pilih beberapa yang layak, jalani hidup dengan tenang. Paham?’”
“‘Paham, paham.’”
“Tidak jadi dieksekusi malah dapat bagi-bagi perempuan, mereka langsung mengangguk cepat-cepat.”
“Aku bilang ke Titan: ‘Kumpulkan semua senjata, harus kita kendalikan sendiri. Lalu ke belakang kuil, kita bangun tempat tinggal sendiri. Daerah ini asri, tidak ada infected, cocok untuk hidup tenang.’”
Kami semua mengangguk setuju, pergi mengumpulkan senjata. Kekuatan tembak harus kita kendalikan sendiri. Mengenai kuil ini, kami kosongkan dan biarkan mereka tetap tinggal. Kuil Guan Gong tetap dipertahankan, tidak dihuni lagi.
Kami pergi ke area belakang.
Sambil memandang ke bawah, saya berkata: "Kita bisa membangun tembok mengelilingi seluruh area ini. Di lereng gunung, tank dan pos penjagaan ditempatkan. Sangat mudah dipertahankan. Ada juga lahan pertanian, sepi dari manusia. Hidup di sini tidak masalah."
Xia Feng juga mengangguk: "Benar, tempat ini bagus. Mereka memilih lokasi yang tepat, bisa dikembangkan dengan baik." Semangatnya sama-sama menggebu, penuh tekad.
