Akibat kejadian ini, reputasi Akademi Karang melambung tinggi. Kehadiran Pangeran Kao yang membawa Kapak Perang Vakum Ghana di Akademi Karang langsung melipatgandakan pamornya. Tentu ada yang senang ada yang sedih, sejak dulu memang begitu.
Nasib beberapa orang yang berani mengganggu Pangeran Kao bisa ditebak. Meskipun sang pangeran tidak berkata apa-apa, tapi kejadian saat itu sudah dilihat oleh orang Suku Kerang,... Berani-beraninya melawan Suku Kerang! Entah mereka tahu atau tidak, hampir setiap hari orang-orang ini dipukuli sekali. Tentu saja Nona dikecualikan, toh dia cucu kepala sekolah, tidak ada yang berani menyentuhnya.
Elina dan teman-temannya menemukan misi yang menarik tapi merasa kurang personel, lalu mencari Caesar dan kawan-kawan. Tentu Elina dan Clarisse ada maksud tersembunyi. Kalau mengikuti keinginan Roye dan Xiao, pasti tidak akan mencari mereka.
Saat akan pergi, Clarisse masih sempat berbisik pada Caesar untuk melapor malam ini, membuat Elina melirik beberapa kali.
Ruang Kepala Sekolah.
Bruk~~~
Pintu meledak terbuka, hanya Nona Kailin yang berani melakukan ini, sang orang tua hampir terjatuh ke bawah meja.
"Siapa yang berani membuat marah nona besar ku? Akan kuhabisi mereka!"
"Elina, Clarisse, Roye, Xiao Bote, ditambah Caesar dan Kao yang kau sebutkan!"
...Lao Jiao bingung, masalah internal ini... cukup serius.
"Ahem, cucu kesayanganku, bahkan nyawa tua ku pun takkan sanggup melawan mereka. Jangan menangis, ceritakan apa yang terjadi."
"Tidak apa-apa, aku pulang saja!"
Memandang siluet Kailin yang pergi, Lao Jiao termenung. Sejak orang tuanya meninggal, ini pertama kalinya dia menangis dan menerima perlakuan tidak adil dengan pasrah.
Mengetuk meja, seorang guru masuk. "Lapor, apa yang terjadi?"
"Yang Mulia Kepala Sekolah, begini kejadiannya..."
Setelah memahami seluruh cerita, sang Kepala Sekolah antara ingin tertawa dan menangis. Sebenarnya dialah yang memperkenalkan Kao dan Caesar pada cucunya. Kehilangan orang tua sejak dini membuatnya memanjakan sang cucu hingga terbentuk karakter pribadi seperti sekarang. Melihat keunikan Caesar, ia berharap bisa mengubah Kailin, namun justru memicu pemberontakan hingga terjadi keributan.
Sakit kepala, gagal lagi, kali ini lebih parah.
……Tunggu, sepertinya tidak terlalu gagal juga.
Kailin pulang sendirian ke rumah, kemewahan rumah yang luas namun sepi membuatnya merasa sangat kesepian. Dia bahkan membenci rumah ini dan dirinya sendiri. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah melawan kakek, karena hanya dengan menciptakan masalah kakek akan menemaninya. Mengapa semua orang sibuk? Mengapa hanya dirinya sendiri? Dia juga membenci orang tua, mengapa meninggalkannya sendirian, mengapa tidak membawanya pergi bersama.
Semakin dipikirkan kejadian siang itu semakin menyakitkan. Tiba-tiba teringat masalah yang pernah dibuat sebelumnya – apakah semua orang membencinya? Hari ini semua orang menertawakannya. Gadis manja yang mengandalkan kekuasaan kakek dan semena-mena akhirnya mendapat hukuman.
Kailin menangis sepuasnya, hingga akhirnya tertidur.
Caesar merapikan diri sedikit, menyelipkan bola di pinggang lalu berangkat. Lagipula di istana kerajaan semua kebutuhan tersedia, tidak perlu dia khawatirkan. ...Dengar-dengar menjadi guru putri tidak mudah, dia 100% percaya itu. Tapi mau bagaimana lagi, dia yang berutang budi.
"Tuan Kao, silakan ikuti saya." Kali ini langsung ada pengawal yang memandu begitu masuk, dengan sikap sangat hormat. Bagaimanapun pengangkatannya sebagai guru sudah diumumkan. Entah itu main-main putri atau tidak, yang jelas statusnya sebagai pejabat istana resmi.
"Tentu saja Caesar tidak berpikir serumit itu, dia hanya ingin segera melunasi utang lalu menarik hingga jatuh."
Begitu masuk ke ruang dalam, yang menyambut adalah dayang kecil Duoduo, "Tuan Caesar, silakan ikuti saya, Putri sudah menunggu lama,... Lain kali datang lebih awal!"
Harus diakui, mata kecilnya yang melotot itu cukup mengesankan.
"Duoduo, aku datang tepat waktu, tidak terlambat lho."
"Tahu tidak, lumba-lumba mati karena apa? Kebodohan! Lain kali datang lebih awal, minimal setengah shichen sebelum Putri."
"Tidak masalah, tapi setengah shichen ini juga harus dihitung uangnya." Caesar tersenyum tulus.
"Kamu!" Duoduo tak bisa berkata-kata, belum pernah melihat orang sebodoh ini.
Caesar langsung masuk ke "ruang kelas" tanpa menghiraukan... Ruangan ini agak spesial, harum semerbak, tataannya terjepit, terbuat dari giok hangat—barang bagus dan nyaman. Tapi material ini rapuh, kalau sampai merusak sesuatu saat belajar, utangku pasti tak akan lunas.
Mirip sekali dengan penginapan istana kerajaan yang pernah dia tinggali dulu.
Tiba-tiba alunan musik nan merdu bergema. Sel musik Caesar terbatas, tapi melodi indah ini tetap memesona. Sebelum sempat bereaksi, nyanyian surgawi dari jiwa langsung menyergapnya.
Nyanyian Putri Duyung!
Baik di Maya Daratan maupun lautan, tidak ada ras yang mampu menahan daya pikat nyanyian ini. Suara yang bahkan mampu menggugah dewa-dewa. Kini semua menyaksikan kemerduan terindah dari klan laut - nyanyian Putri Clara, si cantik jelita nomor satu klan laut, yang hanya bisa didengar setiap empat tahun sekali dalam ritual Pemilihan Raja Laut.
Nyanyian dan alunan musik itu meresap hingga ke sumsum. Caesar merasa dirinya meleleh, larut dalam samudera luas. Ingatan pertama kali menggunakan sihir, pujian orang tua, pertama kali mengeluarkan qi tempur, mengalahkan putri duyung, melengking ke langit. Pertemuan pertama dengan Elina dalam tong anggur, sentuhan lembut tangan mungilnya yang harum menutupi bibirnya. Aroma memikat itu masih membekas di relung hati.
Sisanya adalah kenangan tentang Elina. Meski pertemuan mereka singkat, itu menjadi melodi indah utama dalam hidup Caesar.
Lagu berakhir, Caesar masih terbuai. Clarisse telah duduk dihadapannya. Sebuah harpa kecil nan indah tergeletak di samping. Kedua tangan menopang kepala, matanya tak berkedip memandangi lelaki aneh yang selalu membuatnya jengkel ini.
Clarisse adalah harta karun klan laut. Nyanyiannya dipuja seantero klan, sebanding dengan tarian Siren yang tiada duanya. Tapi Clarisse tak sembarangan bernyanyi. Selain ritual Raja Laut, ia jarang menyanyi. Jika pun bersenandung, hanya saat sendiri atau menghibur Ayah dan Ibunda. Ini pertama kalinya ia bernyanyi untuk orang luar.
“Entah mengapa, ia merasa Caesar selalu tidak menganggap serius kecantikannya, sementara Clarisse juga tidak merasa posisi putrinya istimewa—baginya itu sudah hal yang wajar. Maka ia berniat menaklukkannya dengan suara merdunya. Melihat ekspresi orang itu, jelas dirinya sudah sukses. Hehe, tak ada yang bisa menahan nyanyianku.”
Benarkah sudah sukses?
