"Wanjir, beneran? Jangan-jangan orang itu dari Suku Kerangmu?" Petualang lain mengejek.
"Tepat! Dia dari garis evolusi super Suku Kerang. Legenda bilang bisa imbang melawan ksatria naga manusia. Ksatria itu namanya La... La... A... dengar-dengar masuk peringkat teratas se-Maya!"
"Aku juga dengar kabar itu, entah akurat atau tidak. Baru-baru ini dia membongkar konspirasi arwah lagi, sedang jadi sorotan utama. Dia dianggap perwakilan rakyat jelata!"
"Bukan cuma dia! Kabarnya di kalangan rakyat jelata bermunculan beberapa ahli puncak yang selevel Enam Wangsa Besar."
"Tidak semudah itu. Rumor tetaplah rumor. Menurutku peluang masih dimiliki Suku Naga Laut, Suku Dausu Dolphin, dan ubur-ubur. Jangan lihat kemampuan beberapa orang yang kuat, menghadapi tiga ras ini tetap sulit. Bawaan lahir terlalu berbeda jauh. Serangan aura naga super Suku Naga Laut, teknik gelombang diam Suku Dausu, ilmu rahasia misterius ubur-ubur — belum pernah terkalahkan. Belum lagi magic putri duyung, aura paus Suku Paus, kekacauan berdarah Suku Hiu. Bagi kita rakyat jelata, peluang menonjol bisa dibilang hampir nol."
Perkataan itu meredakan semangat yang tadi membara. Memang begitulah kenyataannya. Selama ratusan tahun selalu begitu. Harus diakui, sangat sulit bagi rakyat jelata melahirkan ahli. Dan ahli sekalipun di mata keluarga kerajaan hanya biasa-biasa saja.
"Ah, keluarga kerajaan juga punya senjata suci. Bisa saja mereka pakai untuk Ritual Pemilihan Raja Laut. Kalau begitu semakin tak ada harapan. Sekalipun ada rakyat jelata yang mencapai level itu, menghadapi senjata suci tetap tak mungkin menang."
Saat semua lesu, tiba-tiba terdengar suara lantang penuh semangat: "Mengapa kalian merendahkan diri sendiri? Hidup ini tentang kejujuran tanpa penyesalan. Belum bertanding sudah putus asa, pasti kalah! Keluarga kerajaan punya keunggulan, tapi ras lain juga punya ciri khas. Kabarnya Kapak Vakum Jianaluo dari Sepuluh Senjata Suci sudah muncul. Enam senjata suci di tangan kerajaan, tapi empat lainnya masih di rakyat jelata. Kemenangan tak ditentukan oleh kata-kata!"
Di rumah duduk sendirian di satu meja, seorang pemuda tersenyum, berasal dari klan Feishi, namun jelas terlihat dari wibawa dan posturnya merupakan ahli yang langka, ketenangannya pun luar biasa.
"Anak muda ini mulut besar, kalau berani tunjukkan kemampuanmu biar semua orang melihat."
Pemuda itu tidak membantah, hanya tersenyum diam sambil terus meneguk minumannya.
Elina yang memperhatikan pakaiannya, terutama tanda cincin ganda berwarna emas di lengan baju, tiba-tiba teringat seseorang.
"Orang ini mungkin ahli terkenal seperti kakak kedua, dari klan ikan pari listrik Feishi, katanya jenius langka ratusan tahun, mewarisi senjata suci - Cincin Tak Tertandingi Garuda."
Suara Elina meski pelan, tapi telinga orang-orang di bar ini tajam. Segera identitas pemuda itu tersebar, semua pandangan kepadanya berubah. Pemuda ini bahkan legendaris, terkenal karena mewarisi senjata suci. Sayang tak ada yang tahu asal-usul pastinya, hanya kabar tak pernah kalah sejak debut... entah kenapa kini datang ke wilayah perairan Putri Duyung.
Mendengar ada yang membongkar jejaknya, pandangan pemuda itu langsung menembak ke arah Caesar. Diangkatnya gelas berjalan mendekati mereka.
"Saya Edmond, tidak keberatan ditambah satu kursi di sini?"
Caesar belum sempat menjawab, Clarisse di sampingnya sudah menyeringai dingin: "Sangat keberatan!"
Ini membuat Edmund tertegun, ini pertama kalinya ia bertemu seseorang yang sudah tahu identitasnya namun tetap tidak memberinya martabat, apalagi itu seorang gadis... Dengan ketampanan dan kegagahannya, latar belakang misterius, serta kemampuan luar biasa, seharusnya ia tak tertandingi dalam menghadapi wanita, bahkan gadis bangsawan sekalipun. Merasakan kekalahan memalukan untuk pertama kalinya membuatnya canggung, tangannya yang memegang gelas pun ragu antara pergi atau tetap tinggal.
"Maaf, Lala tidak suka berkumpul dengan orang asing."
Caesar meminta maaf dengan tenang. Sebenarnya ia tidak keberatan mengenal teman baru, namun mengingat Clarisse tidak menyukainya, ia pun tak mau berpura-pura menjadi orang penting.
Edmund tetap tak kehilangan semangat, "Bukankah kita sama-sama pengelana di bawah langit ini? Pertemuan kita pasti ada jodohnya. Mengapa harus menolak mentah-mentah seperti ini?"
“Hoi, kalian benar-benar tidak memberi martabat orang lain ya? Apakah bangsawan boleh meremehkan rakyat jelata?”
“Mungkin mereka bangsawan terlunta-lunta. Kalau tidak, bagaimana mungkin datang ke tempat seperti ini!”
，，，。
Caesar memutar gelas anggur dengan perlahan, lalu tersenyum santai sambil berkata, "Bahkan Yang Mulia pun harus mematuhi aturan, apalagi tidak ada yang memiliki martabat sebesar itu."
"Caesar benar-benar berkata jujur, memang tidak banyak individu yang punya martabat sebesar itu bisa bersikeras duduk bersama Elina dan Clarisse."
"Bocah, kau terlalu ngegas! Ini bar bukan rumahmu, jangan pakai jebakan itu di tempat kita!"
Caesar tiba-tiba berdiri, dia sama sekali bukan orang berperangai baik, malah terkadang suka menyiksa. Daripada menunggu orang lain yang memancingnya, lebih baik dia yang memancing duluan.
Orang yang bicara itu segera menghunus pedang panjang, bekas luka pedang di wajahnya tampak menyeramkan. "Kau mencari mati, anak muda!" serunya sambil menebaskan pedang ke arah Caesar. Orang-orang sekitar hanya menyaksikan keramaian, hal seperti menghunus pedang karena masalah sepele memang biasa terjadi di bar.
Menghadapi pedang yang datang menghunjam, Caesar tidak menghindar. Dengan santai dia mengulurkan satu jari menyentuh mata pedang. Seketika bar menjadi senyap sunyi.
……Orang ini demam otak, mau kehilangan jari juga!
Meski keributan sering terjadi di bar, kasus pembunuhan jarang terjadi. Para petualang ini biasa berkelahi hanya untuk gengsi, mereka masih menahan diri saat bertarung. Petualang penyerang itu mengira lawannya akan menghindar, tak disangka malah ketemu orang sinting.
Denting...
Pedang panjang di tangan petualang itu berhamburan menjadi serpihan logam…… remuk dihancurkan dengan satu tusukan jari pemuda ini!
Demi Dewa Laut, itu kan besi tempaan, bukan gerabah! Petualang itu terpaku memandang gagang pedang di tangannya dengan wajah tak percaya.
"Ingat, jika kau berani mengucapkan satu kata lagi, besok hari ini akan jadi hari kematianmu." Caesar meninggalkan ancaman dingin itu lalu kembali ke kursinya.
"Apa yang kalian lihat? Kalau masih melotot, kubuang bola matamu!" teriak Clarisse di sampingnya yang berlagak seperti rubah, perasaan itu sangat memuaskan.
Namun, gerakan mendongakkan kepalanya ini membuat Edmund yang berada sangat dekat bisa melihat wajah aslinya, memberikan pukulan kedua berturut-turut pada Edmund. Elina di samping segera menarik lengan Clarisse. Saat Edmund melihat Elina, otaknya benar-benar membeku.
……Seluruh peri dari klan laut berkumpul di sini. Meski pencahayaan bar remang-remang, kecantikan luar biasa mereka sama sekali tak terbendung.
"Tuan Edmund, maukah Anda minggir?" Caesar kembali ke kursinya sambil tersenyum melihat Edmund yang terpana. Tampaknya pesona dua putri ini memang tak sanggup dihalau.
"Kakak Kedua, hebat! Kenapa si orang ini masih berdiri di sini? Kalau tidak segera pergi, kita lempar dia keluar!"
Namun saat itu Edmund justru tersenyum cerah, "Oh begitu? Kalau begitu, bolehkah nona membantu saya?"
Banyak cara menghadapi wanita. Tak harus selalu membuatnya senang. Membuatnya tidak suka pun bisa, asalkan meninggalkan kesan.
Caesar dalam hati menghela napas. Masalah tetap datang. Tampaknya pria ini tidak berniat mengakhiri ini dengan baik.
