"Arwah yang kehilangan jiwa atau mengorbankan jiwa ini, makna keberadaannya hanyalah pembunuhan terus-menerus. Mereka bertahan dengan kenikmatan sesaat saat membunuh untuk mempertahankan impulsif. Tapi arwah di depan mata ini berbeda. Arwah tingkat tinggi masih bisa dimaklumi, bahkan arwah rendahan pun seolah memiliki emosi khusus - perasaan yang hanya dimiliki ras berjiwa: harapan."
Wajah Foulds menampilkan senyuman manusiawi yang kaku namun tidak mengerikan, "Tuan Caesar, baru-baru ini sangat mendapat sorotan. Benarlah pahlawan muncul dari generasi muda."
"Hehe, Tuan Foulds. Anda memanggilku bukan untuk memujiku, kan? Meskipun pujian datang dari arwah, aku tetap merasa senang. Tapi lebih baik keluarkan penawarnya. Aku punya banyak waktu untuk mengobrol panjang denganmu!"
Sudah datang maka hadapilah. Kepanikan takkan menyelesaikan masalah. Hati Caesar sesungguhnya dingin membeku.
"Tuan Caesar jangan panik. Kita perlu konfirmasi: syarat pertama sudah Tuan penuhi. Lalu, Yang Mulia Alexis, apakah Anda membawa barang yang kami minta?"
Foulds memandang Alexis sambil berbicara santai. Jelas para arwah ini memiliki kesabaran luar biasa. Arwah berakal budi justru tak kekurangan waktu. Waktu yang panjang memberi mereka kesabaran berlimpah. Bandingkan kesabaran dengan arwah, bahkan Suku Kura-kura Taote pun harus mengaku kalah.
"Apakah sang Raja Merfolk akan ingkar janji?"
Alexis menunjukkan sedikit kemarahan, diremehkan oleh seorang arwah, mungkin ini pertama kalinya dalam sejarah Keluarga Kerajaan Putri Duyung. Inilah ketidakkekalan takdir.
Arwah itu justru terlihat tenang. Foulds tersenyum, "Yang Mulia Alexis, kami tidak pernah meragukan kemuliaanmu. Tapi kredit bagi kami arwah tidak berarti sama sekali. Biarkan hamba memeriksa dulu. Tentu Yang Mulia ingin segera menyelesaikan transaksi ini, bukan?"
Alexis bukannya marah malah tersenyum lebar. "Arwah zaman sekarang sungguh luar biasa. Penguasa Arwah kah? Ingin rasanya bertemu suatu saat!" Ia mengeluarkan kotak kecil dari kristal iblis murni. "Ini yang kalian cari. Mau memeriksanya?"
Foulds menatap sejenak. "Hehe, tidak perlu. Maafkan kelancanganku tadi. Kristal penentu kualitas ini sudah berusia ratusan tahun, pasti asli. Mari ikut hamba, Yang Mulia."
Foulds membawa keduanya melayang turun dari tebing tinggi. Caesar dan Alexis sudah melihat berbagai ujian selevel, namun pasukan arwah tak berujung di depan mata memberi tekanan tersendiri. Dari dekat, daya hantamnya lebih menggentarkan. Dengan pasukan arwah tak kenal takut ini, hampir semua kota bisa diratakan. Bahkan Kerajaan Duyung pun ragu bisa bertahan menghadapi serangan sebesar ini. Arwah tak perlu istirahat. Serangan mereka hanya berhenti saat kematian tiba.
“Kalian berdua adalah ahli, bagaimana pendapatmu tentang pasukan arwah kami?” Foulds tidak terlihat panik, seolah ingin mengajak mereka berdua melakukan inspeksi pasukan. Pasukan arwah menjadi sangat tenang setelah kedatangan Foulds, dengan aura kematian yang menyebar hingga elemen-elemen magis pun membenci tempat ini.
Ekspresi Alexis tetap tenang, namun hatinya semakin berat. Apa sebenarnya tujuan para arwah ini? Serangan arwah biasanya selalu datang beramai-ramai, paling-paling dikelompokkan berdasarkan level. Dibandingkan dengan pasukan arwah di hadapannya, yang sebelumnya seperti petani arwah, ini adalah pasukan reguler dengan persenjataan lengkap: infanteri, kavaleri, pemanah, penyihir kerangka, bahkan monster arwah tingkat tinggi. Bisa dibilang ini adalah legiun yang tak takut mati.
Alexis sangat meragukan motif para arwah ini, apalagi tidak mengerti mengapa mereka diperlihatkan semua ini.
"Cukup memadai." Alexis bukan tipe yang berbohong. Formasi seperti ini memang bagus, setara dengan pasukan manusia yang biasa menyombongkan diri.
"Pujian Yang Mulia Alexis adalah kehormatan bagi mereka. Apakah Yang Mulia sedang berpikir tentang tujuan kami? Apakah penempatan pasukan di dasar laut berarti akan berperang dengan klan laut? Tenanglah, setidaknya sampai saat ini sang Penguasa belum memiliki niat tersebut. Mengapa arwah dan klan kehidupan tidak bisa hidup damai?"
“Apakah Tuan Foulds sudah terlalu lama menjadi necromancer sampai otaknya tidak berfungsi baik? Arwah dan klan kehidupan kita mustahil bisa hidup berdampingan selamanya!”
“Mengapa?”
“Karena kalian adalah arwah, makhluk jahat yang menjual jiwa!”
Mendengar perkataan Alexis, Foulds tak membantah, “Klan laut dan manusia memperoleh wewenang hidup melalui pembunuhan. Kami para arwah juga sama, hanya bentuk kehidupan yang berbeda. Kalian ingin memusnahkan kami karena tak mengakui cara hidup kami. Jika dihitung, kerusakan akibat arwah jauh lebih kecil dibanding ras kehidupan. Dalam arti tertentu, kami justru pelestari lingkungan.”
“Tuan Foulds, jangan-jangan Anda mau berdiskusi tentang benar salahnya necromancer? Bagiku, arwah maupun ras kehidupan tak ada artinya. Aku ke sini hanya untuk satu hal!”
Melihat Foulds hendak membahas masalah tanpa hasil akhir, Caesar segera menyadarkan kesalahan arahannya. Caesar tak tertarik pada arwah. Jika ada yang tak disukainya dari arwah, itu karena rupa mereka terlalu buruk - bisa menakuti nak-nak saat berkeliaran. Tapi yang tak termaafkan adalah keberanian mereka menjatuhkan tangan pada Elina. Dendam ini pasti akan dibalas Caesar.
Necromancer itu tak tersinggung. Ia mempercepat langkah sambil menunjuk ke depan: “Sekakmat kami ada di sana. Tempatnya sederhana, semoga tak kecewa.”
"Jika bukan di tempat seperti ini, dalam acara resmi, menghadapi seorang arwah, mungkin ini akan dianggap sebagai obrolan antar sahabat lama." Caesar menahan keinginan untuk mencekik tulang-tulang ini. Mungkin karena sudah lama tidak berbicara dengan manusia, necromancer ini benar-benar cerewet. Tapi dari gaya bicaranya, semasa hidup dia pasti seorang bangsawan.
Alexis berpikir lebih dalam dari Caesar. Untuk apa arwah manusia ini datang ke dasar laut? Apa tujuan sebenarnya dari skala sebesar ini? Peta Dewa Laut sama sekali tidak boleh jatuh ke tangan mereka!
Tak lama kemudian, trio mereka tiba di pusat cekungan. Di depan mereka terbentang sebuah lubang besar,... Memang kepiting suka menggali lubang, tapi tak disangka arwah juga menyukai trik seperti ini.
"Silahkan masuk, Tuan-tuan. Sang sekakmat ingin menemui kalian secara pribadi. Setelah masuk ke koridor bawah, teruslah lurus. Jangan masuk ke jalur cabang. Saya yakin kalian orang bijak yang tidak ingin menimbulkan masalah tambahan."
Foulds berbicara dengan sopan. Caesar dan Alexis langsung melompat masuk tanpa ragu. Tak disangka koridor ini lebih dalam dari perkiraan, mereka melayang cukup lama sebelum akhirnya menyentuh dasar.
Mereka berada di sebuah aula luas yang dipenuhi mutiara malam dan lemak yang bisa terbakar lama. Cahaya redup tetap memancarkan aura kematian di tempat ini.
Kedua orang mengangguk hati-hati berjalan maju. Sejak memasuki tempat ini, mereka telah merasakan pancaran qi yang sangat kuat. Orang itu tidak berusaha menyamarkan atau sengaja melepaskan kekuatannya, namun energi sekuat ini cukup membuat mereka terkejut. Tak perlu sungkan mengatakan, kekuatan ini bahkan lebih besar daripada Alexis. Perlu diketahui, pada level tertentu sulit menilai keunggulan hanya dari intuisi. Tapi dalam hati Caesar sudah membuat keputusan: hampir tidak ada peluang menang jika bertarung dengan manusia ini.
Tak masuk sarang harimau mana dapat anak harimau - begitulah yang diajarkan orang tua itu. Meski Caesar tak mengerti apakah memang benar anak harimau yang dipanggang itu seenak yang terus dikenang-nenang oleh si orang tua.
“Dunia bawah tanah ini jauh lebih luas dari yang dibayangkan, hanya aula tempat mereka berada sudah bisa menampung hampir seribu orang. Sebuah koridor langsung menuju ke kedalaman yang gelap, dan di kedua sisi koridor ini terdapat banyak sekali jalan simpang yang tak terhitung jumlahnya... Siapa sebenarnya yang membangun dunia bawah tanah sebesar ini, dan untuk tujuan apa?”
Alexis merasa agak terhina. Sebagai Yang Mulia penguasa wilayah perairan Putri Duyung, selama ini dia mengira telah mengendalikan wilayah ini sepenuhnya. Ternyata masih banyak hal yang tidak dia ketahui.
Dari kejauhan, kekuatan itu terus memanggil. Caesar dan Alexis tidak khawatir tersesat. Mereka sudah menyiapkan segala kebutuhan pertempuran.
“Yang Mulia, ada apa denganmu?”
Caesar yang berjalan hati-hati memperhatikan ekspresi Alexis yang semakin buruk. Keraguan di wajah seorang Yang Mulia seperti ini benar-benar pertama kalinya terlihat. Percaya diri adalah syarat mutlak bagi seorang penguasa, KALAH orang tapi tidak KALAH semangat - itu pasti. Tapi Alexis?
"Alexis menggelengkan kepala, berusaha melepaskan pikiran menakutkannya. Semakin dekat, semakin ia menyadari kekuatan ini terasa begitu familiar, namun di balik kefamiliaran itu tersembunyi ketidakpercayaan yang tak terbatas."
"Alexis, Caesar nak, belok kiri di depan dan kau akan menemukanku."
Suara dari kehampaan membuat tubuh Alexis gemetar tak terbendung. Dengan kepalan tangan terkencang, ia masuk bersama Caesar.
Caesar tiba-tiba menyadari tata ruang dalamnya terasa familiar, mirip dengan Istana Putri Duyung. Tapi ini kan tempat tinggal arwah?
Melihat sosok yang duduk di tempat tinggi, emosi Alexis meluap. Dengan suara tak masuk akal ia berkata: "A-Ayah... Bagaimana bisa...?"
Sekuat apapun mental Caesar, kalimat ini nyaris membuatnya terjengkang. Bola juga menyembulkan kepala, bingung melihat reaksi aneh tuannya.
"Alexis, lama tak jumpa. Tak kusangka kita bertemu lagi."
Memandangi wajah yang tak asing itu, Alexis menelan ludah dengan susah payah. Kata demi kata terucap: "Ayah... Kau menjual jiwa pada arwah? Aku tak percaya!"
Pantas saja arwah tahu tentang peta Dewa Laut. Ayahandanya sendiri jatuh. Tapi meski melihat langsung, ia masih tak mau menerima fakta ini.
