Tengah malam, Elina yang selama seratus tahun selalu gagah perkasa berubah menjadi seorang gadis penuh berkah, bersembunyi dalam pelukan Kaisar menikmati ciuman hangat sang kekasih. Kini keduanya sudah sangat mahir, rasa malu Elina telah lama "dimakan" oleh Kaisar, sekarang dia juga belajar menguasai kombinasi dengannya.
"Putri kesayanganku, performansi hari ini sungguh luar biasa. Aku sempat mengkhawatirkan."
Mendengar ini Elina ragu sejenak, "Kaisar, ada hal yang harus kuberitahukan padamu."
Kaisar tersenyum tanpa menunjukkan keanehan, "Sayangku, katakanlah, apa yang membuatmu begitu khawatir?"
Elina menceritakan kejadian aneh selama pertandingan kepada Kaisar, "Meski dia melarangku mengatakannya, tapi aku tak bisa menyembunyikan ini darimu. Aku berharap tak pernah ada rahasia antara kita."
Kaisar perlahan melepaskan Elina, matanya menatap tajam ke kejauhan dengan semburat basah yang membuat Elina kaget. Dia segera menggenggam tangan Kaisar, berkata dengan panik, "Aku tidak bermaksud menipumu."
Kaisar memeluk Elina dengan lembut, membelai rambutnya, "Dasar si gadis bodoh. Tahukah kau, dunia ini kejam. Dulu aku enggan mempercayai siapapun karena mempercayai seseorang sepenuhnya berarti membuka kelemahan mematikan. Tapi ada dua orang yang kupercaya sepenuhnya, bahkan rela mati karenanya - satu adalah kamu, satunya lagi adalah dia."
"Ah, apakah dia Guru Madden?" Elina berkata dengan haru dan kagum. Ia tahu perasaan Kaisar padanya, tapi lelaki klan laut selalu menganggap wanita sebagai bawahan. Bahkan ayahnya Carasso pun begitu. Tapi kebiasaan buruk ini tak pernah terlihat pada Kaisar. Sejak awal, cintanya begitu tulus.
Kaisar mengangguk pelan. "Elina, kurasa Guru kemungkinan besar manusia. Karena itu dia menghindariku."
Manusia?
Murid manusia!
Elina tahu artinya. Klan laut pasti tak akan menerima orang seperti ini!
Perlahan bersandar di pelukan Kaisar, memeluk pinggangnya. Ia tahu prajuritnya butuh dukungan. "Manusia punya pepatah bagus: Menikahi ayam ikuti ayam, menikahi anjing ikuti anjing. Kalau sudah mencintaimu, murid manusia saja kuantar, apalagi cuma manusia."
Keduanya berpelukan tanpa kata. Mungkin banyak rintangan di depan, tapi cinta juga salah satu kekuatan terkuat di dunia.
Kaisar menatap Bulan Suci di angkasa. Kenangan masa kecil berputar di benaknya. Dalam hati ia bertanya: Pak Senior, apa kabarmu di sana?
Di sudut pulau terpencil, Mardon berpakaian santai tanpa kesan Magister Sihir sama sekali. Duduk di pohon sambil menenggak minuman dari botol, matanya tertuju pada Bulan Suci.
“Waktu berlalu begitu cepat, dia sudah tua, sang pangeran kecil pun telah dewasa. Wahai pangeran dan permaisuri, kalian telah melahirkan seorang anak yang luar biasa. Meski tak bisa menyaksikan langsung, tapi Caesar Alexander pasti akan menggemparkan Maya. Marga ini akan menjadi keabadian di dunia Maya.”
“Sejak titik perpisahan dengan Caesar, Mardon mulai mempersiapkan. Caesar bukan manusia biasa, dia putra Bulan Suci, klan laut? Manusia? Kecilnya Kerajaan Cagliari?”
“Semua ini hanyalah fondasi kecil. Ini akan menjadi sesuatu yang mengabadikan sejarah. Yang harus dilakukan Mardon hanyalah menjalankan tugasnya dengan baik.”
“Satu teguk demi satu teguk, Mardon menenggak minuman. Hatinya sulit tenang - hal yang sangat langka bagi seorang Magister Sihir.”
“Setelah menghabiskan minuman, Mardon berdiri lalu menghilang sekejap mata tanpa jejak.”
“Tak lama setelah Mardon pergi, dua siluet muncul. Ternyata Markoni dan Raikkonen.”
“Sepertinya teman kita ini sudah lebih dulu pergi.”
“Hmm, dari aura yang tertinggal, jelas ini bukan orang yang kita kenal. Pasti ahli Saint Domain baru, tapi kemampuannya sungguh mengerikan.”
“Markoni juga mengangguk, ‘Dia mendeteksi kita lebih cepat. Memang lebih sensitif. Ck ck, sungguh membuat gatal tangan. Sayang tak bisa bertarung dengan ahli selevel ini.’”
“Sudahlah, jangan disesali. Jika ada jodoh, pasti ada kesempatan bertemu.”
“Setelah berkata demikian, siluet Markoni dan Raikkonen pun lenyap dari tempat itu.”
“Beberapa prajurit patroli klan laut mendekat, ‘Aku tadi jelas mendengar suara, apa ini hantu?’”
“Bangsat, jangan lebay. Di pulau ini ada dua Yang Mulia, banyak ahli. Siapa berani ganggu? Biar sekalian diberesin.”
“Ayolah, mungkin aku salah dengar. Pertandingan beberapa hari ini terlalu menarik, bikin aku susah tidur.”
Para prajurit patroli terus mengobrol sambil pergi, segera menghilang...
Senjata suci bukan tak terkalahkan. Favorit juara dari ubur-ubur sudah tereliminasi total. Suku Dausu Dolphin hanya menyisakan Diddy yang tak dikenal – tepatnya sih dulu tak terkenal. Pemuda manis ini dijuluki petarung paling kejam tak berperikemanusiaan di turnamen duel kali ini. Lawannya kali ini adalah Roradman dari Suku Hiu yang juga terkenal gila. Lagipula senjata suci Suku Hiu akan muncul. Kebanyakan komentator sudah tutup mulut soal pertandingan ini. Kalau pun berkomentar, paling-paling cuma ngomong ambigu. Soal kemenangan atau kekalahan, tak ada yang berani nebak. Akhir-akhir ini terlalu banyak kemenangan tak terduga. Bahkan para Kepala Sekolah pun bingung sama kemampuan muridnya, terutama Lao Jiao dan Edinburgh. Edinburgh masih mending karena beda akademi. Lao Jiao tipe kepala sekolah setengah pikun. Dia juga tak menyangka murid SD yang direkomendasikan Kaisar bisa lolos ke babak 16 besar. Bahkan di pertandingan Delapan Besar melawan Roradman pun, tak ada yang berani remehin dia.
Para kepala sekolah di sekitar juga hanya bisa tersenyum kecut, Kepala Akademi Suku Hiu pun berwajah muram. Andai bisa memilih, dia tak mau berhadapan dengan pelajar-pelajar menyimpang dari Akademi Putri Duyung ini. Meski sangat percaya diri pada murid-muridnya, siswa-siswi Akademi Putri Duyung seolah khusus diciptakan untuk menghancurkan mereka. Dari awal sampai akhir, lihatlah rakyat jelata ini yang semakin menakutkan. Diddy ini juga bukan anak baik-baik. Dua penyerang gila yang bertemu, entah akan seperti apa jadinya.
Diddy dan Roradman bisa dibilang sudah saling mengenal. Satu tersenyum manis, satu lagi cengengesan, seolah bukan pertarungan hidup-mati tapi sekadar mengobrol. Tapi para penonton justru tertegun. Yang paling kejam pertama adalah Diddy, kedua Roradman. Begitu mantra kegilaan haus darah digunakan, Suku Hiu benar-benar tak takut mati. Tak hanya kejam pada musuh, kadang juga pada diri sendiri. Saat itulah Suku Hiu paling mengerikan.
Sedangkan Diddy memandang nyawa bagai rumput liar, pembunuh bayaran sejak lahir.
Saat dua orang ini bertemu, bahkan sebelum pertarungan dimulai, semua sudah mencium bau amis darah.
"Tak kira kita yang akan bertemu. Nanti jangan beri keringanan ya! Kalau bisa memukulku setengah mati, aku traktir kamu mendekati cewek!"
"Kalau sampai mati seluruhnya?" tanya Diddy polos.
"Hmm, berarti kamu harus pergi sendiri!"
Roradman pasrah mengangkat bahu. Mereka tertawa bersama, sungguh seperti reuni teman lama. Di tengah tawa, tiba-tiba mereka serentak menyerang, sama sekali tak peduli wasit siapa itu.
Pertarungan brutal tanpa rekayasa, kedua petarung bergerak dengan kecepatan tinggi. Di tengah jalan, serangan ultrasonik Diddy melesat, disusul satu telapak Bodongong. Menghadapi serangan itu, Roradman sama sekali tidak menghindar atau menangkis, malah menyambut dengan pukulan - bukan membalas serangan, melainkan saling melukai.
Bruuum~~~
Roradman mundur dua langkah, sementara Diddy terpental jatuh ke tanah. Darah menyembur beberapa kali. Meski tubuh Suku Hiu terkenal tangguh, tetap saja tak kebal terhadap Bodongong. Darah yang nyaris muncrat itu dipaksa ditelan Roradman, hanya tersisa bercak di sudut bibir yang dijilatnya perlahan. Ekspresi kegilaan terpancar dari wajah keduanya.
"Sinting, dua-duanya sinting!" Kao menggelengkan kepala pasrah. Dua idiot tak karuan ini, mana ada variasi permainan yang menyakiti diri sendiri begini.
"Hihi, gimana? Udah mulai kerasa feel-nya?" Roradman mengedipkan mata.
Diddy mengangguk sambil tersenyum, "Minatku mulai muncul."
Hadirin tertegun. Penyair agung masa depan Shakespeare pun tak berkutik. Dia bisa memuji keindahan, tapi takkan pernah memuji penyimpangan.
Keduanya kembali bertarung, siluet mereka bergerak dengan kecepatan tinggi. Tentu saja mereka tidak benar-benar bermasalah di otak. Jika terus saling membunuh seperti ini, hanya dalam beberapa jurus, mereka bisa melapor ke Dewa Laut bersama. Pertarungan serangan super cepat ini benar-benar sebuah tantangan. Setiap jurus mempertaruhkan nyawa, seringkali mengorbankan lengan atau kaki untuk merebut nyawa lawan. Jika serangan tak bisa dihindari, mereka sama sekali tidak menghindar, malah langsung menyerang titik vital lawan. Bukan soal seberapa parah luka yang diterima, tapi berapa pengorbanan yang diperlukan untuk menghabisi lawan.
Yang tak bisa dihindari, langsung tak dihindari. Kau tinju aku, aku tendang kau. Puluhan ronde berlalu, tubuh keduanya sudah penuh luka. Tubuh Diddy lebih lemah, tapi daya rusak Bodongong-nya lebih kuat. Setelah beberapa saat, kedua petarung separuh kati sama delapan liang ini terlihat imbang.
"Hmm, Lao Jiao, kamu benar-benar tidak sopan. Bagaimana bisa merebut aset Akademi Jin Mang kami?" Kepala Sekolah Akademi Klan Lumba-lumba berkata dengan bingung. Sebenarnya ini refleks setelah melihat kemampuan Diddy, tapi kalimat ini sudah lama terpendam di hatinya.
"Lao Tun, bukan maksudku mencela, tapi bawahanmu benar-benar bermasalah. Menolak talenta seperti ini malah memaksanya ke sini. Kau tahu sendiri, aku ini selalu berbaik hati, tak tega melihat talenta terbuang."
Sambil berpura-pura menghela nafas, gerak-geriknya hampir membuat Kepala Sekolah Jin Mang pingsan. Dari raut wajahnya yang bermasam, jelas guru malang itu akan menerima akibat buruk.
Sekolah-sekolah lain juga memandang lapangan dengan rasa kagum. Mampu bermain imbang dengan Roradman, bagaimana mungkin mereka tidak mendapatkan bakat seperti ini? Tampaknya reformasi akademi sudah menjadi keharusan. Hampir semua yang bersinar di Akademi Putri Duyung kali ini berasal dari rakyat jelata. Ini sangat terkait dengan ambang masuk rendah mereka, tentu juga karena Lao Jiao sendiri berasal dari latar belakang rakyat jelata.
"Lao Jiao, jangan terlalu cepat bersukacita. Kami Roradman punya senjata suci, lho!" Kepala Sekolah dari kota kerajaan Suku Hiu terpaksa menambah sedikit kepercayaan diri untuk dirinya sendiri.
“Oh, benarkah?” Lao Jiao sengaja berpura-pura hampir tidak mendengar, “Tidak tahu apakah kalian pernah mendengar Pisau Pemikat Shiwaloka, salah satu dari sepuluh Senjata Suci yang mengklaim diri sebagai perusak utama, hahaha.”
Para Kepala Sekolah terlihat penuh keterkejutan, senjata suci bergelar "gigi setan" dari sepuluh Senjata Suci yang telah menghilang lama tanpa jejak ini benar-benar muncul kembali!
Sedangkan Kepala Sekolah Akademi Jinmang saat ini hanya ingin menggigit sampai mati guru bermata putih itu!
