Meskipun prosesnya tidak mudah, semuanya berjalan sesuai rencana. Kolorissio cukup puas. Tiba-tiba firasat bahaya muncul. Tubuhnya terhantam keras dari belakang hingga terlempar dan menancap dalam-dalam ke tanah.
Kaisar melayang di udara dengan kondisi agak kerepotan. Tadi benar-benar berbahaya. Rupanya mantra terlarang memang sesuatu yang harus dihindari. Lebih baik menjaga jarak next time. Jika bukan karena perlindungan Phoenix dan elemen api yang berjuang mati-matian melindunginya, meski tidak sampai meregang nyawa, cedera parah pasti tidak terhindarkan. Sensasi saat qi tempur hampir ditembus itu benar-benar bukan kenangan yang menyenangkan.
Kolorissio terbang keluar dari tanah retak dengan wajah penuh amarah, memandang Kaisar yang ternyata juga sama sekali tidak terluka seperti dirinya. Frustrasi di hatinya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Ini tidak mungkin! Bagaimana tubuh fana bisa menghalangi daya ledak mantra terlarang!"
"Tidak ada yang mustahil. Di sini masih ada beberapa yang bisa menahan ledakan selevel ini. Apakah ini yang kau sebut sebagai kekuatan?"
Kaisar tentu merujuk pada Raja Laut. Meski level mereka setara Saint Domain, seharusnya tidak bisa menyaingi orang-orang ini kecuali menggunakan jurus yang lebih kuat.
"Cari mati!"
Kolorissio menerjang. Konsumsi kekuatan magis untuk mantra terlarang benar-benar mengerikan. Dalam waktu dekat, keduanya tak mungkin menggunakan serangan magic besar. Lagipula mantra terlarang tadi tidak membuat luka mematikan. Secara tak sadar keraguan mulai muncul di hatinya. Lebih baik bertarung jarak dekat yang lebih pasti. Asal bisa menusukkan tangan ke jantung orang itu, pasti akan mati.
Namun dalam hal pengalaman dan metode pertarungan prajurit, Kaisar jauh lebih unggul dibanding Kolorissio yang memiliki kemampuan setara. Saat inilah kemampuan sebenarnya Kaisar terlihat. Dengan pedang qi tempur di tangan kanan dan Bakuretsu dua lapis tenaga di tangan kiri, Kaisar melesat maju. Kelemahan Kolorissio di bidang ini mulai terlihat setelah hanya bertahan beberapa jurus, terdesak mundur hingga membuatnya geram. Meski tingkat qi tempur mereka hampir sama, Kolorissio tak bisa memaksimalkan potensinya, perasaan tertekan yang menyiksa. Dalam pertarungan qi tempur, keduanya menyertakan sihir tingkat rendah sebagai pendukung - cara umum ahli sihir-sekaligus-prajurit. Di aspek ini pun Kaisar tetap mendominasi, ia telah mempraktikkan gaya bertarung ini sejak petualangannya dulu.
Dari total 13 serangan, Kolorissio menerima 6 pukulan. Beberapa di antaranya terpaksa dihindari dengan teleportasi spasial. Namun aktivasi sihir semacam ini sangat menguras tenaga dan memerlukan persiapan awal. Munculnya juga meninggalkan tanda-tanda sihir. Begitu diperhatikan ahli seperti Kaisar, efek serangan mendadak menjadi sulit dicapai, malah mudah dimanfaatkan lawan.
Semakin panik, situasi semakin tak terkendali. Bagaimanapun Kolorissio bukan prajurit sejati. Mentalitas prajurit berbeda dengan penyihir. Meski tak terlihat sehari-hari, dalam pertarungan seimbang, faktor-faktor ini menjadi titik fatal penentu kemenangan.
Sekali lagi satu pukulan, membuat Kolorissio limbung. Tapi yang lebih menyakitkan adalah sorakan dukungan bagaikan gelombang laut di sekelilingnya, semua untuk Kaisar.
Hati manusia cenderung mengikuti kebiasaan. Pendukung Kolorissio memang minoritas. Ketika mayoritas mendukung seseorang, keinginan minoritas akan tenggelam. Setelah momen hidup-mati tadi, dominasi Kaisar kembali memicu semacam emosi kolektif. Mereka tak ingin idola mereka kalah. Kaisar telah menjadi idola baru klan laut - sang idola tak boleh gagal. Ia harus tetap agung bagai monumen.
Semburan energi pedang aneh menyambar tubuh Kolorissio. Sensasi familiar! Seketika ia teringat momen kekalahan Tsukuyomi - jurus pedang yang sama!
Kolorissio harus menghentikan momentum Kaisar. Ia mengerahkan qi tempur habis-habisan. Tubuhnya sangat tangguh, luka bukan masalah. Tapi saat eksekusi, masalah muncul: Serangan pedang Kaisar selalu datang di detik tenaga lama mulai melemah, tenaga baru belum terbentuk. Sasaran sebenarnya bukan dirinya. Jika diserang... untung. Dari arah manapun Kolorissio menghindar, serangan tak bisa sepenuhnya keluar dari jangkauan serangan Kaisar, tapi juga tak mematikan.
Karena serangan pedang terakhir belum dilancarkan!
Akhirnya Kolorissio menyadari tubuhnya tidak bisa bergerak, seperti ikan kecil yang terjerat jaring. Meski hanya sesaat, momen singkat ini cukup bagi seorang ahli untuk melakukan banyak hal. Yang dilakukan Kaisar hanyalah menusukkan pedang qi tempur ke dalam dadanya!
Tepat di jantung!
Terhadap musuh bebuyutan, Kaisar sama sekali tidak berbaik hati. Berbelas kasih pada musuh berarti mengkhianati diri sendiri.
Bruuum~~~
Qi Tempur Laut meledak dalam tubuh Kolorissio, membuatnya terjatuh perlahan dari udara seperti daun musim gugur.
Tepuk tangan...
Yang bertepuk tangan ada dua orang: Raja Naga Laut Carasso dan Styralia yang bersembunyi di antara klan laut. Serangan berantai ini memiliki efek yang sama dengan ilmu andalannya, tapi dari segi teknik terlihat lebih tinggi levelnya. Masalah terbesar adalah seolah-olah masih ada kemungkinan pengembangan lebih lanjut - sensasi ini sungguh luar biasa bagi seorang master.
"Anak muda yang menakutkannya! Baru memasuki Saint Domain sudah bisa memahami cara penggunaan kekuatan yang begitu detail!" Raikkonen di sampingnya menghela nafas.
"Benar. Saat mendengar penuturan Styralia, kukira dia melebih-lebihkan. Ternyata tidak hanya tidak berlebihan, malah justru mengurangi."
Master Saint Domain lainnya berkomentar.
"Jika benar-benar tidak ada mentor, berarti ini hasil pemahamannya sendiri. Dalam tiga tahun, jika pemuda ini tetap hidup, dia akan menjadi tak terkalahkan di dunia!"
"Perkataan ini tidak bisa diucapkan sembarang orang. Tapi ketika salah satu dari enam orang ini mengatakannya, dan lima lainnya tidak membantah, maka kalimat ini menjadi kebenaran mutlak di seluruh Maya."
Hanya Kaisar yang mampu membuat Carasso bereaksi di depan umum. Ini adalah pujian tertinggi dari petarung terhebat klan laut kepada Kaisar.
Setelah keheningan, kerumunan klan laut mulai bersorak histeris ke langit, merayakan kelahiran raja baru mereka. Segala benda yang bisa dilempar beterbangan di udara - baju, sepatu, bahkan perhiasan. Para pendukung setia Kaisar yang telah mendukungnya diam-diam sejak awal kini bergembira seolah merekalah yang menang. Di tengah euforia ini, Kaisar perlahan mendarat dengan kedua tangan terbuka, mendongak sambil memejamkan mata, menikmati sorakan ratusan ribu orang.
"Kaisar Agung! Kaisar Agung! Kaisar Agung!!!"
Semua yang hadir yakin, pemuda di bawah dua puluh tahun ini akan menjadi bintang cemerlang dalam sejarah klan laut sesuai namanya. Perjalanannya sebagai penguasa baru saja dimulai.
Shakespeare yang tetap paling tenang di antara kerumunan bersiap mengumumkan kemenangan Kaisar. Ekspresi genitnya menghilang, digantikan pandangan bijaksana yang tertuju pada pusat perhatian itu. Senyum tipis mengembang di bibirnya - dialak saksi sejarah yang akan mencatat momen ini.
Namun sorakan gegap gempita itu tiba-tiba mereda. Seorang sosok bangkit perlahan dari tanah - Kolorissio.
Kaisar sedikit terkejut, namun tetap fokus. Baginya, cukup bangkit dan pukul lagi. Bangkit seratus kali, pukul seratus kali.
Wajah Kolorissio yang bangkit kembali terlihat tenang luar biasa. Perlahan melangkah beberapa langkah ke depan, pandangannya menyapu lingkaran demi lingkaran anggota klan laut di sekelilingnya. Suaranya yang terdengar asing perlahan berkata,
"Kaisar, tahukah kau? Yang paling kudambakan dan kudengki adalah dirimu. Ada orang yang merelakan segalanya demi meraih prestasi agar dikenang sejarah, tapi tetap tak bisa lolos dari takdir kekalahan seperti aku. Sementara ada yang tanpa sengaja meraih semua yang didambakan orang lain, sepertimu. Kini kau seperti diriku sepuluh tahun lalu, tapi aku bukanlah dirimu di sepuluh tahun mendatang."
Perasaan aneh membanjiri hati Kaisar. Mungkin Kolorissio di hadapannya inilah sosok aslinya yang sebenarnya.
Kolorissio tak menghiraukan Kaisar. Ia terus bergumam mengungkapkan feel-nya. Dalam keheningan yang memekakkan ini, suaranya justru terdengar jelas hingga ke seluruh area pertandingan.
“Saat kecil, cita-cita terbesarku adalah menjadi penyair hebat. Tapi aku bukan rakyat jelata. Aku lahir di keluarga Reynolds yang mulia, seharusnya menjadi pangeran. Satu-satunya tujuan hidup ayah adalah merebut kembali tahta Raja Duyung. Sejak sadar, aku harus mengabdi pada tujuan ini. Mungkin kami memang sejenis, lambat laun aku terbiasa melakukan hal-hal yang tak kusukai, belajar jadi curang. Tapi rencana yang dipersiapkan 20 tahun lebih tetap gagal. Saat pisau kutusuk ke jantung ayah, senyum mengembang di wajahnya. Tapi kupastikan mendengar surai pisau menggesek tulang. Wajahku sedih, tapi mengapa hatiku tertawa? Sejak saat itu, nasibku sudah ditakdirkan. Kau benar, kekuatan arwah yang kubeli dengan jiwaku, tubuh abadi ini – serangan begini takkan membunuhku.”
Kolorissio membuka kulitnya yang ternyata hanya cangkang. Di dalam tubuhnya hanya ada tulang-belulang, kegelapan, dan kristal iblis raksasa.
“Mengapa kau mengaku? Rencanamu belum sepenuhnya gagal.”
“Ha ha ha, apakah Alexis bodoh? Seseorang yang jantungnya meledak tapi tak mati, hanya ada satu kemungkinan – apalagi dia punya catatan kriminal!”
Barisan penjaga sudah mengepung mereka, bersiap menangkap Kolorissio.
Saat itu Kaisar mengangkat tangan, “Ini pertarunganku! Selama aku belum mati, jangan ada yang ikut campur!”
"Suara Kaisar tegas dan penuh kepastian."
Alexis menatap Kaisar dengan ekspresi tak senang, namun para anggota klan laut di sekelilingnya justru serentak mendukung Kaisar. Seorang pahlawan selalu melakukan hal-hal yang tampak bodoh, dan kebodohan heroik semacam itulah yang paling disukai klan laut karena mencerminkan jiwa prajurit sejati.
