Perjalanan yang seharusnya 10 hari, Kaisar dan rombongan menghabiskan satu setengah bulan. Tinggal setengah bulan lagi menuju ritual Pemilihan Raja Laut. Tapi dibandingkan protokol rumit, Baptista menganggap hal-hal ini lebih bermakna. Sering kali dia berharap seandainya orang ini adalah Yang Mulia mereka.
Ada keadilan, ada belas kasih, juga tidak segan menghabisi pengacau dengan kejam tak berperikemanusiaan. Beberapa penghasut dibantai langsung oleh Kaisar. Saat itu dia terlihat sangat dingin, tapi justru ini yang paling dihormati klan laut. Hati seluas samudera, tapi jika marah, siapapun akan remuk redam.
“Seringkali dia berpikir bahwa lelaki di hadapannya adalah sosok legenda yang disebut-sebut dalam cerita turun-temurun di Kuil. Bahkan Santo sendiri tak menganggapnya benar, tapi legenda itu tetap bertahan.”
“Santo yang sekarang adalah sosok penyayang seperti ibu, tapi ia tak memiliki kekuatan untuk menyelamatkan dunia. Sedangkan Pendeta Agung memenuhi semua syarat, hanya membutuhkan waktu saja.”
“Melihat lautan umat di belakang, Baptista merasa legenda itu hampir terwujud.”
“Kuil berdiri di puncak Gunung Dewa Laut di wilayah perairan pusat. Seluruh gunung diselimuti cahaya mistis sepanjang tahun. Untuk mencapai kuil, harus menapaki 3.600 anak tangga. Hanya Santo, Pendeta, dan Pendeta Wanita Kuil yang diperbolehkan mendekat. Prajurit biasa hanya bisa sampai tangga ke-2.000 kecuali dipanggil Santo. Sehari-harinya mereka berlatih di Kota Prajurit di kaki gunung. Umat hanya boleh sampai tangga ke-600 kecuali saat ritual Pemilihan Raja Laut dimana semua umat Dewa Laut boleh menapaki seluruh anak tangga.”
“Yang Mulia Pendeta, tujuan Anda sudah tercapai.”
“Akhirnya sampai juga,” wajah Kaisar terlihat letak. Berhari-hari ini ia tak sempat beristirahat.
Turun dari kereta kuda laut, memandang ke kejauhan terlihat kilauan emas. Itulah Kuil Suci klan laut? Sungguh megah... Banyak sekali anak tangga. Apakah harus didaki satu per satu? Ini akan menyiksa nyawa kecil Kaisar!
Tapi setidaknya sekarang dia adalah pendeta terkenal. Ah, beban ketenaran. Mau tak mau harus dilalui.
Kaisar memimpin di depan, diikuti Putri Clara, Putri Alena, Putri Xiao Yao, lalu para prajurit kuil suci. Dua prajurit akan tinggal di setiap anak tangga. Di belakangnya, ribuan umat klan laut bersujud setiap tiga langkah mengikuti jejak Kaisar.
Santo berdiri di puncak gunung memandang kerumunan di bawah. Bertahun-tahun tak ada pendeta yang mencapai level ini. Bahkan Santo sendiri paling-paling hanya memiliki kharisma sebesar ini, apalagi ini baru pendeta yang baru saja lolos ujian.
Dialah Kaisar!
Santo menatap patung Dewa Laut yang berkilauan, "Wahai Dewa, berikanlah petunjuk pada hamba-Mu yang setia. Mengapa ramalan ini begitu kacau? Apakah dia dewa atau iblis?"
Baptista memandangnya seolah melihat Raja Laut sejati membawa rakyatnya menuju singgasana nan jauh. Hatinya terharu. Sebagai prajurit kuil suci seharusnya tak goyah, tapi kali ini dia ragu. Menurutnya, orang inilah harapan klan laut.
Pemandangan yang megah dan mengharukan. Semua ini berasal dari Kaisar.
"Tapi teman sekelas Kaisar... sekarang sudah bukan teman sekelas lagi," Imam Kaisar mengeluh tak nyaman, "Lelah sekali, siapa yang mendesain tempat ini."
"Hihi, Kakak Kedua, jangan bicara sembarangan, Dewa Laut akan marah nanti." Clarisse menutupi mulutnya sambil tertawa, lalu buru-buru bersembahyang, "Kakek Dewa Laut jangan marah, Lala hanya bercanda, mana mungkin Kakek Dewa Laut jadi orang pelit."
Kaisar tak tahan tersenyum, putri kecil ini paling jago mengganggu, sungguh menggemaskan. Elina dan Xiao Yao juga menahan tawa.
"Kakak Kedua, kamu masih kuat kan?" Elina bertanya penuh perhatian, Kaisar ini sudah kelelahan.
"Hehe, kalau tidak sanggup, bisa minta digendong Kakak Elina." Xiao Yao menjulurkan lidah.
Dingin... digendong... biar merangkak pun harus naik, kalau tidak nanti tidak bisa angkat kepala lagi.
Masalahnya setelah merangkak setengah jalan, ada yang sudah tak kuat. Mulai dari kaki sakit, sebentar lagi lengan juga sakit. Tak lama Clarisse sudah duduk di tangga tak bergerak.
Tapi bisa dimaklumi, mana mungkin ahli sihir sekaligus putri seperti Clarisse punya stamina bagus. Seperti kata Clarisse, dia ahli sihir murni yang tak punya kerumitan pikiran, stamina buruk adalah reaksi paling wajar.
Clarisse tak peduli apakah digendong Kaisar masuk kuil suci itu sakral atau tidak, juga tak peduli apakah Dewa Laut melihat. Sekalipun melihat, sebagai Dewa Laut seharusnya lebih mengerti kesulitan rakyatnya.
Melihat Clarisse yang tersenyum bahagia, Elina juga merasa cemburu, … Seandainya dia bukan prajurit naga laut, pasti dialah yang sekarang berada di punggung Kaisar, … Tapi jika anggota Suku Naga Laut mengaku kakinya gemetar, pasti akan menjadi lelucon tahun ini.
Rakyat biasa sudah lama berhenti, etiket Kuil Suci harus dipatuhi. Setelah berjalan lama, prajurit kuil semakin berkurang. Di belakang, Baptista juga memberikan penghormatan dan berhenti, sisa perjalanan harus ditempuh sendiri oleh pendeta.
Meski suku perempuan iblis yang mencintai tarian memiliki stamina yang baik, tetap saja tidak cukup. Kelebihan serangan mereka adalah ilusi dan serangan mental, mirip dengan penyihir. Bertahan sebentar hampir membuat mereka terjatuh. Akhirnya, Clarisse yang sudah beristirahat harus menggantikan posisi. Xiao Yao awalnya merasa malu, tapi karena benar-benar tidak bisa jalan, terpaksa menuruti. Ekspresi canggung dari suku perempuan iblis yang biasanya terbuka ini sungguh menggemaskan.
Kaisar menggendong Xiao Yao sambil menggunakan Qi Tempur Laut untuk melakukan pijatan ringan, mempercepat siklus darah agar pemulihan lebih cepat. Xiao Yao memejamkan mata, akhirnya mengerti mengapa Kakak Clarisse tidak mau turun – ini adalah tempat paling nyaman dan aman di dunia.
Tak lama kemudian, mungkin Xiao Yao sudah cukup istirahat, Kaisar merasa tidak boleh membiarkan Elina dirugikan. Clarisse dan Xiao Yao sama-sama tahu maksud Kaisar, mana mungkin membiarkan putri mereka sendiri dirugikan.
Tiba-tiba Kaisar berhenti berjalan dan menurunkan Xiao Yao sambil tertawa: "Nona kecil sudah bisa berjalan sendiri. Putri Nana yang cantik, apakah masih perlu dilayani?"
Elina sebenarnya sangat mau, dirinya sudah sangat dirugikan. Tapi dia masih agak tidak leluasa, pura-pura menolak padahal ingin menerima. Kaisar mana peduli Dewa Laut atau Si Maut, semua omong kosong. Di hatinya hanya ada satu dewi yaitu Elina.
Perempuan memang pemalu, lelaki harus mengambil inisiatif. Dalam teriakan terkejut Elina, Kaisar mengangkatnya. Meski sudah akrab, Elina tetap malu tidak berani mengangkat kepala.
Clarisse agak cemburu, "Adik Xiao Yao, Kakak Kedua terlalu berat sebelah!"
Xiao Yao mengangguk sambil tersenyum. Di hatinya kedua putri ini sama-sama baik, cocok untuk tuan. Alangkah baiknya menikahi keduanya sekaligus. Dia tidak mengerti mengapa hal sederhana jadi serumit ini.
Tak lama Elina pun melepaskan diri. Dia tidak peduli ada orang sekitar, tidak peduli ini Kuil Dewa Laut. Dengan santainya memeluk Kaisar, berkah memenuhi jiwa raga. Di sini dia tidak takut dilihat orang, bisa menikmati cintanya sendiri.
“Melihat mereka berdua, Clarisse merasa sedikit cemberut, tapi juga terharu. Hanya selisih tipis antara dirinya dan Elina, mengapa yang kabur waktu itu bukan dirinya?”
“Tapi bertemu Kaisar tetap menjadi keberuntungan terbesarnya.”
“Akhirnya mereka menyelesaikan anak tangga terakhir. Kuil megah terhampar di depan mata. Mukjizat, atau lebih tepatnya keajaiban klan laut yang agung, mustahil dibayangkan berapa tenaga dan sumber daya yang dikerahkan untuk membangun keindahan ini.”
“Siapapun yang melangkah ke sini akan merasakan kekuatan sakral nan agung, memaksa setiap orang untuk bersikap khidmat dan penuh wibawa.”
“Seluruh kuil terbuat dari material tak dikenal, menyatu sempurna dengan alam. Kemegahannya dipadu kesederhanaan khas, memancarkan kilau keemasan sarat aura magis. Seluruh bangunan terlindungi barrier atau formasi raksasa. Kaisar yang peka terhadap energi besar merasakan kekuatan ini memenuhi kuil, benar-benar menciptakan kesan istana para dewa.”
“Tiba-tiba pancaran emas menyilaukan. Pintu kuil raksasa terbuka. Dua barisan Pendeta Wanita berjubah putih berbaris keluar. Di tengah muncul tiga pendeta senior: satu dari putri duyung, satu dari Suku Hiu, satu dari ubur-ubur.”
“Empat Pendeta Agung Ritual Pemilihan Raja Laut, selamat datang pulang. Sang Santo telah menanti. Silakan ikuti kami.”
“Berbeda dengan kesakralan tiga pendeta senior, para magang pendeta justru mengamati keempat tamu dengan penasaran, terutama Kaisar. Gadis-gadis cantik dari berbagai klan ini memandangi pendeta aneh itu dengan rasa ingin tahu.”
