Markas pemberontak, Kota Toronto.
“Tuan Zizai Piao, ada tuan-tuan yang berkunjung,……mengaku sebagai teman lama Anda.”
“Oh, di sini juga ada teman lamaku?” Zizai Piao menatap Ling yang lembut sambil tersenyum.
“Haha, teman sekelas Zizai Piao, apa maksudmu? Mau menolak teman lama di depan pintu?” Suara santai terdengar.
Senyum Zizai Piao berhenti sejenak, lalu semakin manis, “Kukira siapa, ternyata teman sekelas Shakespeare. Orang sibuk sepertimu mau datang ke gubukku, benar-benar kehormatan besar.”
“Shakespeare mengayunkan langkah budaya khasnya, masuk sambil mengibaskan kipas,”Ck ck, tempat setan ini panas sekali. Tak bisakah kau pilih lokasi yang sejuk sepanjang tahun penuh gadis cantik? Ah, selera tetap buruk seperti biasanya.”
Zizai Piao tak marah, pura-pura tak mendengar. Di sampingnya, Ling berdiam tak bergerak bagai patung.
Shakespeare dengan gegabah mencari kursi sendiri, “Pelayanan di sini payah. Masa tak menyuguhkan teh? Perjalanan ini membuatku kelelahan.”
“Ling, sajikan teh!”
“Baik.”
Bayangan manusia berkelebat, siluet Ling menghilang. Shakespeare melirik, “Bidak ini adalah barang temuanmu itu? Tumbuh cukup baik.”
“Ling adalah alat yang sangat bagus.” Zizai Piao mengangguk. Ling yang baru masuk tetap tak bereaksi mendengar ini.
“Bicaralah, tujuanmu ke sini apa?”
“Wahai teman sekelas Zizai Piao, kau masih terlalu serius. Tentu saja untuk menyaksikan keramaian. Kau tahu aku tak bisa diam.”
“Hmph, jangan-jangan kau juga mau ikut campur?” Mata Zizai Piao menyipit tajam, seolah ingin menembus hati Shakespeare. Tapi Shakespeare tetap bergaya seperti penyair keliling yang genit.
“Ah, jangan salah paham. Bertahun-tahun masih suka serius. Aku cuma ingin melihat, sekalian urus sedikit pekerjaan. Tapi kali ini kegaduhanmu memang luar biasa.” Shakespeare menyeruput teh dengan santai. Teh berkualitas, jelas dia puas.
“Zaman sudah maju, cara lama sudah tidak efektif, kamu belakangan ini juga cukup aktif, hanya saja aku lebih dulu menjatuhkan tangan.” Zizai Piao menatap tajam pria ceroboh ini tanpa berkedip.
Ling di sampingnya tak pernah menyadari Tuan Zizai Piao begitu memberi perhatian khusus pada seseorang. Bahkan saat menghadapi Kaisar yang sedang jadi sorotan belakangan, sikapnya tak seperti ini. Tampaknya sebagian besar alasan sikap ini karena Tuan Shakespeare berasal dari...
“Hihi, aku berbeda denganmu. Jangan disamakan. Tenang saja, aku cuma penonton pasif. Tapi kali ini kamu terlalu panik, langsung memilih Cagliari.” Shakespeare menggelengkan kepala.
“Kamu ingin bilang Kaisar terlalu kuat, akan membuatku makan uap ya.”
Shakespeare tanpa basa-basi mengangguk.
“Hm, siang dan malam adalah dua sisi. Mereka sudah terlalu lama menikmati waktu. Anggap saja ini permainan sekali saja.”
“Hihi, Teman Zizai Piao masih selalu murah hati. Aku akan menanti hasilnya.”
Usai berkata, Shakespeare menyimpan cangkir teh ke dalam jubah sambil bergumam tentang uang minuman nanti, lalu berjalan keluar dengan limbung.
Baru setelah bayangan punggung Shakespeare menghilang, Zizai Piao menarik kembali pandangannya dan termenung cukup lama.
“Tuan, apa perlu...”
Zizai Piao melambaikan tangan, “Jangan urusi dia, jangan dekati dia. Bagaimana kondisi Sepuluh Pembunuh?”
“Saat ini terlihat tidak begitu lancar.”
“Hm, Shakespeare si bocah ini muncul, urusan jadi rumit, rencana mungkin perlu diubah sedikit, hehe, mau ikut keramaian ya, bermain api itu berbahaya, hahaha.”
Kaisar dan rombongan berjalan seharian, akhirnya melihat sebuah penginapan. Banyak orang, wajar saja, siapa sangka tempat terpencil ini begitu sepi, ditambah cuaca panas seperti ini, satu-satunya permintaan Roque Santa Cruz adalah mandi dengan nyaman.
Untungnya kamar masih tersedia, dan melihat makanan di sini juga enak. Banyak pelancong makan dengan riang, wajar saja setelah menempuh perjalanan jauh, makan enak, mandi, dan tidur nyenyak benar-benar kesenangan hidup.
Setelah makan malam, Kaisar kembali ke kamarnya masing-masing untuk istirahat. Saat mereka tiba langit sudah mulai senja, tak lama setelah makan hari pun gelap tanpa bulan, malam yang membosankan.
Tak ada angin.
Perlahan keributan di lantai bawah berakhir, pintu gerbang penginapan ditutup. Pak Senior penjaga dengan senyum kaku di wajahnya, puluhan jimat ditempel di pintu, memandang dengan misterius ke arah tempat tinggal Kaisar.
“Malam yang indah, darah dinginku seperti mendidih, sstt...”
“Tuan-tuan, air panas yang Anda pesan sudah datang.”
“Taruh saja di depan pintu.” Roque Santa Cruz bersikeras harus mandi, kalau tidak tidak bisa tidur.
“Baik.”
Pelayan penginapan dengan hormat menurunkan ember air, lalu berbalik pergi. Hanya saja cara jalannya agak aneh,... seperti boneka.
"Semua orang di penginapan ini terlihat aneh…"
Tiba-tiba teriakan terdengar dari kamar Roque Santa Cruz. Seketika Kaisar, Mida Blasuo, Beast, dan Diddy membuka mata mereka. Dalam sekejap, keempatnya sudah melesat masuk.
Keringat…
Roque Santa Cruz buru-buru menyelipkan diri ke dalam ember air, "Kalian berempat bajingan cabul! Ada apa sih!"
"Kapten Roque, tadi kenapa berteriak?"
"Gak ada. Cuma kecoak sialan, sudah kubantai!" Roque Santa Cruz tersenyum kecanggungan.
Keempat orang itu melihat: bukan sekadar dibantai, demi seekor kecoak, area seluas itu dihancurkan.
"Sudah, kembali saja. Kalau masih mengintip nanti kena biaya!"
Melihat tak ada masalah, Kaisar dan yang lain pun bubar. Bagaimanapun mengintip gadis mandi itu tak pantas. Saat keempatnya pergi, Roque Santa Cruz malah cemberut. Menunduk memandangi dadanya sendiri, "Hmph, apa aku tak punya daya tarik? Empat orang tak berinsting ini."
Syooor...
Cahaya api berkedip-kedip, bayangan di dinding perlahan mendekati gadis cantik yang sedang mandi.
Beast duduk bersila. Pedang Dewa Titan sudah disimpan di perhiasan dimensi. Meski klan raksasa miskin, sebagai keturunan kuno mereka masih punya beberapa aset.
"Tuan, tadi ada seorang bangsawan muda menyuruh saya menyerahkan ini pada Anda."
Beast membuka matanya, "Masuklah."
Seorang duta masuk membawa nampan berisi beberapa lembar kertas, "Barang Tuan-tuan, saya taruh di sini. Takkan mengganggu istirahat Anda."
Bester mengangguk, mengambil piring,...ternyata ada tulisan klan raksasa di atasnya!!!
"Bester, situasi darurat! Kami diserang, untungnya masih bisa bertahan. Kamu harus..."
Tiba-tiba surat itu lengket. Bester menjilati jarinya, mencubitnya sedikit, hampir tidak berhasil, lalu menjilat lagi. Jari raksasa memang terlalu besar, sulit.
Di depan pintu Bester, sekelompok orang berdiam-diri. Tepat tamu-tamu yang tadi makan.
Mida Blasuo meletakkan pedang berat di lututnya, memejamkan mata. Latihan harus dilakukan setiap saat. Suara ketukan "dang-dang-dang" terdengar, disusul suara gemetar.
"Tu-Tuan, apakah Anda butuh layanan pijatan?"
Sebelum Mida Blasuo sempat jawab, pintu sudah terbuka. Seorang gadis kecil yang lembut masuk, mata dipenuhi ketakutan dan rasa malu.
"Tidak perlu."
Mida Blasuo membuka mata, berkata dengan dingin.
"Kalau begitu...saya pergi. Silakan beristirahat." Gadis itu seperti ingin berkata sesuatu, tapi akhirnya mengurungkan niat. Pandangan sedih yang menusuk luka di kedalaman jiwa Mida Blasuo saat berbalik.
"Tunggu. Ambil koin emas ini."
Langkah gadis itu terhenti. Perlahan berbalik, memandang tamu dengan tak percaya, tubuhnya gemetar. "Tuan, saya...tidak bisa menerima uang Anda."
"Ambil saja! Jangan banyak omong kosong!"
"Gadis kecil itu mengangguk dengan agak takut, berjalan mendekat, menerima kantong uang dengan kedua tangan, lalu membungkuk dalam-dalam. "Terima kasih, Tuan. Anda benar-benar orang baik, tapi... orang baik tidak berumur panjang!"
Begitu bicara, dia terjatuh ke pelukan Mida Blasuo...
Didi sedang berbaring di tempat tidur hendak tidur nyenyak. Perjalanan jauh sangat melelahkan. Pintu terbuka, muncul seorang wanita muda berdaya tarik dengan aura keibuan yang menyelimuti.
"Lele, apakah itu kamu, nak? Tahukah kamu bagaimana beratnya perjuangan ibu merindukanmu?"
Matanya yang berkaca-kaca memancarkan kilauan yang memikat hati. Air mata berputar-putar sebelum akhirnya jatuh. Di balik sorot mata berkabut itu tersimpan pesona menggoda. Dadanya yang montok bergoyang mengikuti getaran tubuhnya, putih mempesona dengan lekukan dalam yang mampu membangkitkan ambisi lelaki dan kerinduan anak akan keibuan.
"Siapa kamu?"
"Bodohnya anak Ibu! Akulah ibumu. Setelah lama henggang, akhirnya kamu mau pulang. Ini salah Ibu. Ibu tak akan memaksamu latih jurus lagi."
"Ibu...?" Didi terdiam bingung. Panggilan yang begitu menyentuh hati.
Bayangan wanita cantik itu menyunggingkan senyum tak selaras dengan pemiliknya. Malangnya anak ini. Mati dalam dekapan hangat sang ibu - alangkah indahnya cara kematian.
