Legiun Siglolo terus bersembunyi, menunggu kabar tindakan dari sisi ini. Mereka sadar bahwa pasukan mereka hanyalah kumpulan orang yang tidak terorganisir. Orang itu cukup mengirim satu pasukan kavaleri kuat untuk menghabisi mereka. Tapi begitu pertarungan di sana dimulai, tidak mungkin ada energi lagi untuk mengurus mereka.
Pertarungan di sisi Kaisar masih dalam fase stagnan, sekaligus menjadi pertarungan habis-habisan mental paling krusial dalam kampanye ini. Saat ini tak ada yang takut mati, bahkan jika harus mati pun mereka ingin menggigit orang itu.
Sementara Cagliari masuk ke dalam perang besar, Kerajaan Ottoman juga tidak diam.
Ottoman tidak memiliki banyak taktik seperti Cagliari, juga tidak punya banyak rencana. Tapi mereka memiliki Pasukan Kavaleri Kuda-Naga Api!
Pasukan Kavaleri Kuda-Naga Api yang tak pernah terkalahkan, pasukan kavaleri terbaik di Maya Daratan!
Formasi kedua tim identik: pasukan kavaleri berat utama di bagian tengah, diikuti oleh legiun campuran. Kualitas prajurit Ottoman tidak perlu diragukan - meski kualitas individu lebih rendah, hal ini tidak mengganggu kesatuan operasi tempur.
Dalam hal Pasukan Kavaleri Kuda-Naga Api, siapa yang lebih kuat benar-benar belum diketahui!
Saki membawa pasukan utama, sementara pasukan kavaleri berat di sisi Lamparo hanya 100.000, berhadapan dengan 150.000 Pasukan Kavaleri Kuda-Naga Api.
Pusaran ungu bertabrakan dengan arus Hitam.
Pasukan kavaleri berat kedua tim sprint frontal!
Kasa yang sedang melaju kencang mengangkat tombak panjangnya. Ksatria yang seumur hidup mengenakan baju zirah ini mengeluarkan teriakan yang memekakkan telinga. Pasukan Kavaleri Kuda-Naga Api menerobos masuk bagaikan binatang buas purba.
Sekarat pun takkan mundur!
Pasukan Kuda-Naga Api mengeluarkan senjata pamungkas mereka yang sesungguhnya – kekuatan serangan puncak tertinggi kesatria, serangan serempak. Ketika langkah pasukan kavaleri menyatu, daya tempur mereka bisa meningkat 20% hingga 50%.
Benturan...
Saat bersentuhan, warna merah langsung mendominasi.
Dua legiun kavaleri berat yang memaksimalkan kekuatan bertubrukan frontal. Sensasi kontak fisiknya mirip dihantam meteor, bahkan lebih mengerikan. Di detik-detik sakratulmaut, masih terlihat tubuh yang remuk redam dan musuh yang tersisa.
Prajurit iblis memang gahar, tapi ksatria Pasukan Kuda-Naga Api adalah orang-orang sinting!
Sinting yang dingin, gila yang tak takut mati. Jika bukan karena mereka masih bernyawa, tak ada bedanya dengan arwah penasaran. Tak seorangpun menganggap Kasa punya sisi manusiawi.
Formasi legiun Ottoman dan formasi suku Deville saling serang. Sihir, panah, ketapel, berbagai kereta perang – tapi ujung-ujungnya pertempuran tetap ditentukan infanteri.
Hanya saja dalam serangan frontal ini, Kerajaan Ottoman membayar harga yang sangat mahal!
Kedua tim kehilangan puluhan ribu orang hanya dalam sepuluh menit kontak pertama. Dari awal sampai akhir, Ottoman tetap berwajah dingin tanpa reaksi sedikit pun, tak satu pun perwiranya yang berbicara.
Ini adalah harga yang harus dibayar oleh Kekaisaran berdarah besi. Mereka telah mencapai puncak di jalan ini, tapi puncak juga merupakan akhir. Zaman sedang berubah, model perang seperti ini sudah tidak relevan lagi.
Perang memasuki fase pertarungan jarak dekat. Ottoman melesat bagai bayangan melintasi medan perang. Ia tak peduli aturan main, melepaskan Naga Jahat Ilahi di tengah formasi musuh - kali ini cukup untuk membuatnya puas beberapa lama.
Target Ottoman tentu saja pemimpin lawan. Mengambil kepala jenderal musuh dari pasukan yang berjumlah puluhan ribu bukanlah lelucon, dan pasti tidak sembarang orang bisa melakukannya.
Tapi Ottoman yakin dirinya mampu!
Kaisar juga merasa dirinya bisa. Tak berlebihan menyebut mereka berdua sebagai penjahat berdarah dingin. Meski Yang Jingyi menentang, sia-sia. Kaisar berpendapat setiap tindakan punya risiko - jika ada kesempatan menghabisi panglima musuh, bahaya itu wajar.
Dan peluangnya sangat besar!
Saki dan Lamparo tak menyangka hal ini. Sebenarnya mereka sama sekali tidak takut, mengingat satu adalah level Magister Sihir, satunya level Jian Sheng yang bahkan lebih misterius. Di klan Deville, pemimpin yang tidak kompeten sudah lama jadi mumi.
"Kaisar langsung melakukan transformasi Naga Sihir, tapi kali ini bukan dalam bentuk yang berlebihan. Dari ribuan perubahan magis, ada satu jenis penyamaran. Bisa dikatakan jika Kaisar benar-benar menguasainya, dia bisa mencapai puncak profesi apapun, termasuk pembunuh bayaran."
"Hanya ada satu kesempatan dalam pembunuhan. Siluet Kaisar melesat cepat di medan perang, tubuhnya menghilang di udara. Baju zirah Naga Suci membuatnya tak terlihat, ditambah kecepatan, hampir tak ada yang bisa merasakan kehadirannya."
"Menyusup ke sektor lawan hanya masalah waktu. Sedangkan Ottoman lebih langsung, mengayunkan arit dewa kematian dengan kecepatan mencapai batas tertinggi, menyambar langsung melintasi medan perang. Tentu kecepatannya sudah mencapai tahap tertinggi, orang lain pun tak bisa mendeteksi, paling-paling hanya merasa ada sesuatu yang lewat, tapi sebenarnya tak bisa mengetahui apa-apa."
"Tapi ternyata kondisinya tidak sesederhana yang dibayangkan..."
"Di sisi lain medan perang, Shakespeare dan Roro Desari diam-diam mengamati."
"'Adik, mengapa belum mengerahkan pasukan? Yang Mulia Visanderu sudah memberi otorisasi penuh padamu untuk penyelesaian ini.'"
"Penampilan Shakespeare saat ini tak berubah, hanya pandangan matanya yang kini mengandung sesuatu bernama Ambisi. Emosi itu berkilauan terang."
"'Kakak tersayang, menurutmu bagaimana caranya agar orang-orang ini bisa kita manfaatkan?'"
"Roro Desari menatap medan perang, lalu melirik Shakespeare dengan pandangan asing, 'Maksudmu?'"
Sejak menghabiskan beberapa hari berduaan dengan Visanderu, Shakespeare mulai menunjukkan perubahan yang agak asing. Apakah sang Penguasa Abadi yang ahli ilmu sihir jiwa melakukan sesuatu padanya? Tapi Shakespeare sendiri adalah Ksatria Naga Emas, kemungkinan itu kecil. Meski dia juga memiliki pemahaman di bidang ini, meski merasakan keanehan, dia tak tahu di mana letak masalahnya.
"Hehe, Kakak. Kau pasti juga merasakannya. Saki terus menerus menolak kita. Smak bahkan menganggapku seperti duri dalam daging. Para pendukung kita hanyalah orang-orang yang diatur Saki, hanya agar mereka bisa mengontrol kondisi nyata kita. Nyatanya setelah sekian lama berlalu, dunia telah berubah. Kini mereka telah turun, nilai kita pun tak ada lagi. Tak ada yang menganggap kita berarti. Jika kemampuanku lebih lemah, kakakku yang cantik, mungkin kau sudah terbaring di tempat tidur Smak sekarang. Jadi yang hidup tak berguna bagiku, tapi yang mati... mungkin masih bisa dimanfaatkan."
Senyum aneh mengembang di sudut bibir Shakespeare.
"Adik, bagaimanapun juga mereka adalah bangsanya kita! Perjuangan bertahun-tahun kita semua untuk hari ini!"
"Hah, mengapa? Mengapa harus untuk ini? Hanya karena kita keturunan Aruira? Atau karena kita orang Deville? Apakah ini alasan untuk mengorbankan diri? Tidak! Aku memilih jalan lain."
Aura hitam membubung, lima komandan Legiun Arwah muncul di belakang Shakespeare.
“Pangeran, pasukan arwah telah siap sepenuhnya. Kami bisa bergerak kapan saja keluar dari Gurun Kematian. Tak ada yang bisa menandingi kita!” Mata Sevansite memancarkan kilatan cahaya yang mendidih namun licik. Para komandan legiun lainnya juga sama. Mereka telah menunggu terlalu lama, hampir melupakan kenikmatan dalam pembunuhan.
Hanya ada satu cara bagi arwah untuk memastikan eksistensi mereka: melalui pembunuhan makhluk hidup. Hanya dengan begitu mereka bisa merasakan diri sendiri - sebuah pengakuan yang menyedihkan.
“Hehe, kemampuan kedua tim cukup baik. Mari kita tonton pertunjukan menarik dulu. Lagi pula mereka akan menyediakan banyak bahan baku untuk kita.”
Para komandan legiun arwah menunggu dengan penuh hormat, tak ada yang berani melawan Shakespeare. Sang penyair juga menikmati wewenang mutlak atas hidup-mati ini. Kini dia berada di posisi kedua setelah Penguasa Abadi. Tak lama lagi, takkan ada yang berani melawannya di benua ini. Saat itulah dia bisa mewujudkan keinginannya - janji dari Sang Penguasa Abadi. Dan saat itu, takkan ada tuduhan atau penentangan, hanya pujian yang tersisa.
Pada pupil mata Shakespeare terpantul siluet Luoluo Desali...
