Terhadap Yang Jie, Zhen Nanfang tak bisa menjelaskan perasaannya. Kadang merasa dekat, tapi sering juga merasa wanita ini menyembunyikan wajah lain di balik topeng lembut dan hangat itu.
Karena Zhen Nanfang tak percaya bisa timbul perasaan sedalam ini hanya dari sekali pertemuan, seolah benar-benar seperti hubungan kakak-adik. Ini tak masuk akal. Meski punya lingkaran cahaya misterius, toh mereka bukan dari lingkaran yang sama.
Tapi Zhen Nanfang ragu, karena tak melihat celah sedikitpun. Mungkin karena Yang Jie anak tunggal, jadi merindukan hubungan persaudaraan. Setiap kali berpikir begitu, dia merasa dirinya seperti berpikiran sempit menuduh orang bijak.
Memikirkan ini, Zhen Nanfang menggelengkan kepala getir.
Yang Jie memperhatikan gerakan kecilnya: "Memikirkan apa? Serius sekali, sampai ketawa diam-diam." Zhen Nanfang menjawab malu: "Tak ada, cuma urusan tak penting."
Zhen Nanfang juga pernah curiga dengan tujuan Yang Jie mendekatinya, terutama ketika kasus mulai menyoroti cabang Qianzhou Grup Hengyi, dia semakin waspada terhadap Yang Jie. Namun dia juga mengalami konflik batin, secara tulus dia tidak ingin Yang Jie terlibat masalah. Sejak kecil dia hanya hidup berdua dengan ayahnya, jarang merasakan kehangatan keluarga. Apalagi sekarang ayahnya sudah tiada, dia bahkan berharap ikatan kakak-adik dengan Yang Jie ini murni, karena itulah kerinduannya.
Melihat Zhen Nanfang diam lagi, Yang Jie bertanya: "Dulu kamu pernah bilang asalmu dari Jinling?" Zhen Nanfang mengangguk. Yang Jie melanjutkan: "Pernah merantau jauh sebelumnya?" Zhen Nanfang menjawab: "Tidak. Baru setelah mengikuti Lao Shu saya keliling beberapa tempat." Penasaran, Yang Jie bertanya: "Lao Shu itu siapa?" Zhen Nanfang menjelaskan: "Oh, Lao Shu itu Kepala Biro kami, juga guru saya. Orangnya sangat hebat."
Yang Jie tersenyum: "Pasti sudah tua bangka kan?" Zhen Nanfang ikut tertawa: "Iya, orang tua berbadan 30-an tahun dengan mentalitas 60-an tahun." Yang Jie terkejut: "Baru 30-an tahun?" Zhen Nanfang mengangguk: "Ya. Bukan cuma licik, juga blak-blakan." Yang Jie berkomentar: "Pasti mukanya jelek, kayak labu gepeng." Zhen Nanfang mencibir: "Nggak kok, tampangnya ganteng. Cuma sok cool aja."
Sepanjang perjalanan mereka tetap bercanda, namun tawa Zhen Nanfang tak tulus dari hati. Bayangan Xiao Hui terus menghantui pikirannya, tak bisa diusir maupun dihapus.
Satu setengah jam kemudian, mobil sampai di area wisata Air Terjun Huangguoshu. Akhirnya menemukan tempat parkir, Yang Jie menyodorkan kamera kepada Zhen Nanfang, lalu mengeluarkan dua botol minuman dari bagasi: "Bawalah ini. Tunggu saya di pintu masuk, saya mau beli tiket." Setelah berkata demikian, dia bergegas ke loket tiket.
Zhen Nanfang melihat Yang Jie sudah menjauh, menoleh ke belakang namun tak melihat siluet Tang Rui maupun Feng Yixi. Dengan senyum kecut, dia menggelengkan kepala - rupanya mobil bagus memang lebih cepat.
Di pintu masuk, tak sampai beberapa menit menunggu, Yang Jie sudah datang. Setelah tiket diperiksa, mereka naik eskalator turun. Baru separuh jalan, dentuman air sudah terdengar. Saat eskalator turun lebih jauh, megahnya air terjun langsung menyergap pandangan: "Indahnya! Jauh lebih spektakuler daripada di foto." Yang Jie tersenyum: "Nanti kalau sudah dekat, rasanya seperti masuk gua tirai air. Kamu bisa jadi Raja Kera sebentar!"
Karena bukan hari istirahat, jumlah turis tidak terlalu banyak meski tetap agak ramai. Zhen Nanfang heran: "Setiap hari biasa selalu sebanyak ini pengunjungnya?" Yang Jie menjawab: "Sepertinya iya. Dua kali ke sini, salah satunya hari libur jumlahnya lebih banyak berkali-kali lipat."
Kedua orang itu berjalan sampai di bawah air terjun, sebuah teluk sungai yang sangat besar. Yang Jie berkata, "Tunggu sebentar." Zhen Nanfang menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Yang Jie. Saat ini Yang Jie sedang menarik seorang turis dan bernegosiasi dengannya, kemudian dengan antusiasme dia mendatangi Zhen Nanfang, merangkulnya: "Aku minta dia memotret kita berdua!" Setelah berkata demikian, dia menyandarkan kepalanya di bahu Zhen Nanfang, senyum bahagia terpancar di wajahnya dengan latar belakang Air Terjun Huangguoshu yang megah.
Zhen Nanfang juga tersenyum ke arah lensa kamera.
Setelah menyeberangi jembatan, mereka tiba di dasar air terjun kemudian mulai naik melalui tangga batu. Saat itu Zhen Nanfang merasakan percikan air halus seperti hujan rintik-rintik yang tertiup angin dari derasnya aliran air terjun. Yang Jie berkata, "Sebentar lagi kita sampai di Gua Shuilian." Zhen Nanfang bersandar di pagar pembatas, memejamkan mata membiarkan percikan air menyiram wajahnya, menikmati kesegaran itu.
Ketika membuka matanya, dia terdiam sejenak. Seolah melihat siluet di seberang sungai - tidak, sebuah punggung yang menjauh. Punggung ini begitu familiar baginya. Dia lupa bahwa Yang Jie masih ada di sampingnya, tanpa pamit dia berlari seperti orang gila menyusuri jalan, menabrak beberapa orang dalam perjalanan. Akhirnya dia tiba di kaki gunung, melesat melewati jembatan, tapi siluet itu telah menghilang, seolah lenyap tiba-tiba atau mungkin memang tak pernah ada dari awal.
Dia mengucek-ucek matanya kuat-kuat, tetap tak menemukannya. Dengan napas terengah-engah dia langsung berlari kencang menuju pintu keluar.
Berdiri di pintu keluar, dia membeku. Dia berpikir, pasti matanya yang berkunang-kunang, atau mungkin sedang mengalami halusinasi.
Yang Jie berlari kecil mengejarnya: "Ada apa? Nanfang." Zhen Nanfang menggelengkan kepala, tidak berbicara. Yang Jie bertanya: "Apa bertemu kenalan?" Zhen Nanfang menjawab: "Aku sepertinya melihat Xiao Hui." Yang Jie kaget, melihat ke sekeliling: "Xiao Hui? Di mana?" Zhen Nanfang berkata: "Mungkin aku salah lihat." Yang Jie menanggapi: "Kamu pasti terlalu banyak berpikir."
Melihat Zhen Nanfang sudah kehilangan minat bermain, Yang Jie berkata: "Sepertinya moodmu sudah hilang, ayo kita pulang." Zhen Nanfang menjawab: "Maaf, Kak Yang, sudah merusak suasana." Yang Jie menyandarkan tangannya di lengan Nanfang sambil menggerutu: "Ngomong apa, kakak juga ingin mengajakmu refreshing, sayangnya masih belum bisa membuatmu senang." Zhen Nanfang menggeleng: "Kakak, aku sudah sangat bersyukur. Ini masalah internalku."
Keduanya naik mobil. Yang Jie berkata: "Jam empat, tidak ke sana kemari. Bagaimana kalau kita jalan-jalan sekitar dulu, lalu makan spesialis Provinsi Qianzhou, daging anjing Huajiang!" Zhen Nanfang bertanya: "Daging anjing?" Yang Jie tertawa: "Kenapa?" Zhen Nanfang menjawab: "Tidak apa, hanya agak terkejut. Aku belum pernah makan daging anjing." Yang Jie berkata: "Aku juga dulu tidak pernah. Saat pertama tiba di Kota Lin, Jiang Yan pernah mengajakku makan sekali. Menurutku luar biasa, sangat stimulan!"
Zhen Nanfang tersenyum, Yang Jie malah menggunakan kata "stimulan": "Stimulan seperti apa?" Yang Jie menjawab: "Cuaca panas terik, makan hotpot, apalagi dengan cabai sebanyak itu." Zhen Nanfang mengerutkan kening: "Bukannya malah bikin keringat bercucuran?" Yang Jie juga tertawa: "Iya, tapi sensasinya memang menantang, bahasa mereka sih, 'Bashi'!"
Zhen Nanfang asli orang Jiangnan, mendengar kata cabai langsung ciut nyalinya.
Yang Jie tertawa: "Aku orang Guangdong Timur, dulu juga tidak bisa makan pedas, tapi sekarang sedikit demi sedikit mulai terbiasa. Coba lah, setidaknya sekarang cuaca sudah tidak terlalu panas." Zhen Nanfang tersenyum kecut sambil menggelengkan kepala: "Kamu tidak takut panas dalam?" Yang Jie berkata: "Takut, mana ada yang tidak takut. Habis makan sekali jerawat kecil bisa bermunculan berhari-hari. Kenapa? Benar-benar tidak mau mencoba?"
Zhen Nanfang menjawab: "Coba! Kak Yang saja berani makan, mana mungkin aku kalah! Siap tempur!"
Yang Jie menyetir mobil berputar-putar di sekitaran. Zhen Nanfang sangat menyukai pegunungan Qianzhou, berbeda dengan Jiangnan, puncak-puncak di sini berlapis-lapis megah, jauh lebih anggun.
Hampir pukul lima sore, mereka baru menemukan restoran hotpot daging anjing. Rasa daging anjing bumbu kuning memang nikmat, Zhen Nanfang makan dengan lahap. Ia bahkan mulai menyukai sensasi keringat mengucur deras ini.
Dalam perjalanan pulang, Yang Jie memandangi Zhen Nanfang yang masih berkeringat deras, menyodorkan selembar tisu: "Gimana? Memuaskan?" Zhen Nanfang menjawab: "Sangat!" Sambil meneguk air mineral besar-besaran.
Yang Jie berkata: "Kalau ada kesempatan kamu ke Guangzhou, di sana juga banyak makanan enak." Zhen Nanfang berkata dengan nada kesal: "Kak Yang, dari ucapanmu, sepertinya aku benar-benar rakus ya." Yang Jie tertawa.
Saat Zhen Nanfang kembali ke hotel, Feng Yixi dan Tang Rui sudah berada di kamarnya. Yang Jie tidak ikut naik, hanya menurunkan dia di depan hotel penginapan sambil berpesan agar cepat beristirahat sebelum pergi.
Zhen Nanfang tersenyum ke arah Tang Rui: "Bukannya kalian mengikutiku? Kok bisa lebih dulu kembali?" Feng Yixi menyela: "Mobilnya terlalu kencang, baru masuk tol kami sudah kehilangan jejak." Tang Rui bertanya: "Kalian ke mana? Longgong? Tunpu? Atau Huangguoshu?" Zhen Nanfang menjawab: "Huangguoshu."
Feng Yixi berkata pada Tang Rui: "Sudah kuduga, pasti tujuan utamanya Huangguoshu. Tidak mendengarkan saranku." Tang Rui tersenyum kecut: "Ada beberapa objek wisata di arah itu, mana saya tahu." Melihat keseriusan Feng Yixi, Zhen Nanfang buru-buru menenangkan: "Sudah-sudah, Kak Feng, bukankah aku sudah kembali?" Feng Yixi mendengus: "Ke depannya tanpa pendampinganku, kamu tidak boleh jalan sendiri lagi." Zhen Nanfang mengangguk sambil tersenyum: "Siap, saya janji tidak akan bertindak sendiri lagi."
Sambil berkata demikian, dia mengedipkan mata ke arah Tang Rui.
Akhirnya berhasil melewati Feng Yixi, setelah duduk, Tang Rui berkata: "Wu Liang dan Huang Yongzhong sudah menelepon, melaporkan situasi siang hari." Zhen Nanfang bertanya: "Ada temuan apa?" Tang Rui menggelengkan kepala: "Tidak ada. Saya suruh mereka terus mengawasi, lihat apakah ada gerakan mencurigakan setelah jam kerja." Zhen Nanfang berpikir sejenak lalu bertanya: "Sudah minta bagian teknis pasang alat penyadapan di rumah mereka?" Tang Rui tersenyum: "Sudah terpasang." Zhen Nanfang berkata: "Kalau ada masalah langsung hubungi saya."
Tang Rui pergi. Feng Yixi menarik lengan Zhen Nanfang: "Nanfang, kamu merokok?" Zhen Nanfang menjawab: "Iya, bukan kecanduan. Cuma iseng saat stres." Feng Yixi menggelengkan kepala: "Sebaiknya jangan merokok, merusak tubuh. Aku tahu hatimu sakit, tapi jangan menyiksa tubuhmu." Zhen Nanfang tersentuh, dia mengangguk: "Iya, aku mengerti."
