Setelah semua pergi, Shu Yi mempersilakan Ye Ran dan Tinglan duduk di sofa. Ling Xiaoyue dengan inisiatif menuangkan teh untuk mereka, lalu duduk diam di sofa kecil di sebelah.
Ye Ran berkata dengan semangat: "Pak Shu, beberapa waktu lalu kami dengar Anda mengalami musibah. Anda tidak tahu betapa khawatirnya kami semua. Ingin menjenguk Anda di rumah sakit, tapi Kepala Bao bilang tidak memungkinkan dan sama sekali tidak mengizinkan kami datang. Tak disangka hari ini bisa bertemu lagi." Shu Yi tersenyum: "Setelah tim khusus dibubarkan, apakah kalian merasa lebih merdeka?" Ye Ran menghela napas: "Tidak, lebih tepatnya sangat kecewa. Perlahan kami sadar, selama mengikuti Anda, banyak hal yang kami pelajari."
Shu Yi menatap Tinglan: "Kenapa kamu diam?" Tinglan tersenyum: "Sebenarnya banyak yang ingin kubicarakan, tapi begitu bertemu, entah kenapa tidak tahu harus mulai dari mana." Shu Yi tertawa: "Apa aku semenakutkan itu?" Tinglan menggeleng: "Awalnya kami semua mengkhawatirkan Anda. Sekarang melihat Anda baik-baik saja, hati kami jadi tenang."
Shu Yi mengangguk pelan: "Terima kasih atas perhatian kalian semua." Ye Ran berkata: "Kami sangat berharap tim khusus bisa dibentuk kembali." Shu Yi menjawab: "Bukankah kantor polisi sudah membentuk tim khusus?" Ye Ran tersenyum kecut: "Tapi kami tidak menemukan ujung pangkalnya. Sekarang baru kami sadar, Pak Shu, Anda lah sosok sentral kami."
Saat percakapan berlangsung, telepon Tinglan berbunyi: "Kakak, ada perlu apa? Cepat bilang, aku sedang bekerja." Tinglan mendengarkan telepon sambil berbicara. Shu Yi memberi isyarat agar dia menerima telepon dulu. Semua orang menunggu dengan tenang.
"Hm? Kamu bilang apa? Anak kecil? Masalah ini sebaiknya kamu laporkan ke kantor polisi setempat, aku ini polisi kriminal. Sudahlah, serahkan saja dia ke kantor polisi untuk ditangani." Tinglan menutup telepon, tersenyum minta maaf. Shu Yi bertanya santai: "Ada apa?" Tinglan menjawab: "Oh, kakak perempuanku menemukan seorang anak yang tampaknya bisu, tubuhnya ada beberapa luka. Karena kakakku tahu aku polisi, dia bertanya harus bagaimana. Aku suruh antarkan ke kantor polisi saja."
"Bisu?" Shu Yi mengerutkan alis.
Tinglan menjelaskan: "Iya, saat pertama bertemu kakakku dia sempat bilang 'tolong aku', setelah itu tidak bicara lagi. Menurut kakakku mungkin karena trauma berat sampai mengalami selective mutism." Shu Yi bertanya: "Kakakmu paham psikologi?" Tinglan tertawa: "Kakakku itu konselor psikologi lho." Shu Yi tampak tenggelam dalam pikiran, tiba-tiba menengadah: "Segera telepon kakakmu! Suruh dia naik taksi antar anak itu ke sini!"
Tinglan bingung maksud Shu Yi, tapi tanpa ragu langsung mengeluarkan HP menelepon kakaknya. Dia memberitahu alamat lalu menutup telepon: "Lokasinya tidak jauh, kira-kira 15 menit sampai." Shu Yi mengangguk: "Sekarang ada satu hal perlu bantuan kalian. Meski seluruh tim Divisi 9 sudah datang, tapi masih kurang personil. Jadi ini harus kuserahkan pada kalian."
Ye Ran dan Tinglan buru-buru berkata: "Pak Shu, jangan bicara seperti itu. Jika ada yang perlu kami lakukan, silakan perintahkan." Shu Yi menjawab: "Kepala Bao pernah menyebutkan sesuatu padaku sebelumnya, tentang kasus anak hilang. Kalian pasti sudah tahu kan?"
Baru sekarang Ye Ran dan Tinglan tersadar. Pantas saja Shu Yi bereaksi seperti itu setelah mendengar kasus anak kehilangan kemampuan bicara. Saat itu mereka juga menyadari jarak kemampuan antara diri mereka dengan Shu Yi. Setiap pesan yang masuk, Shu Yi langsung menyelesaikannya dalam waktu tersingkat - menentukan berguna atau tidak, lalu merespon tepat waktu.
Ye Ran berkata dengan malu: "Harus diakui, kami pernah menerima laporan kasus ini. Tapi baru setelah terjadi delapan kali kasus serupa, kami menemukan pola umumnya. Bahkan setelah menemukan pola, kami tidak menghubungkannya dengan kasus yang sedang ditangani. Kalau bukan karena Kepala Bao memberitahu logika pemikiranmu, kami masih memperlakukan kasus hilangnya anak-anak ini sebagai kasus terisolasi. Jika bisa menemukan lebih awal, mungkin tidak akan seputus sekarang."
Shu Yi melambaikan tangan: "Jangan cari-cari penyebab lagi. Yang harus kita lakukan sekarang adalah mencari cara menemukan anak-anak itu. Semoga mereka baik-baik saja. Selain itu, aku bisa memberi petunjuk: perusahaan modal Jepang atau perusahaan patungan dengan Jepang. Selidiki secara detail dan diam-diam. Jangan lewatkan petunjuk apapun, tapi yang utama jangan sampai membangunkan ular tidur."
Tinglan berkata: "Pak Shu, apa Anda curiga anak yang ditemukan kakak perempuan saya adalah salah satunya?" Shu Yi mengangguk. Tinglan tersenyum: "Kalau begitu, bukankah lebih mudah mencari orang-orang itu?" Shu Yi tidak menjawab, hanya memandangnya dengan insting yang samar. Awalnya Tinglan bingung, lalu wajahnya memerah: "Saya mengerti, jika ada anak yang lolos, mereka pasti sudah mengungsi." Baru sekarang Shu Yi tersenyum mengangguk: "Hm, jawaban ini benar."
Ling Xiaoyue tidak menyela, namun pandangannya pada Shu Yi dipenuhi kekaguman. Menurutnya Shu Yi adalah orang bijak. Di saat yang sama, hatinya merasa kecewa karena muncul perasaan tidak layak. Tiba-tiba ia menyadari kepercayaan dirinya selama ini terlalu buta, sejatinya di hadapan Shu Yi dirinya masih terlalu dangkal. Ia teringat pada Mu Qi'er, wanita yang nyaris kehilangan nyawa demi dirinya. Ia menghela napas, mungkin hanya Mu Qi'er yang pantas untuk Shu Yi.
Memikirkan hal itu, Ling Xiaoyue merasa lega seolah melepas salib berat dari punggungnya. Ia menengadah memandang Shu Yi yang juga menoleh karena mendengar hela napasnya. Dengan malu-malu ia tersenyum, dibalas senyum hangat Shu Yi. Shu Yi memperhatikan alis yang berkerut tadi telah halus kembali. Dari senyumannya, Shu Yi tahu Xiaoyue pasti telah menyadari segalanya. Melalui senyuman itu, terlihat jelas Ling Xiaoyue telah melepaskan beban.
Bel pintu berbunyi, Tinglan berjalan membuka pintu. Di depan pintu berdiri seorang wanita dan seorang anak. Wanita itu sangat mirip dengan Tinglan, hanya sedikit lebih tinggi dan lebih matang. Dia mengenakan setelan jas profesional abu-abu, terlihat sangat energik, sambil memegang selebaran propaganda DM berwarna. Di sampingnya ada anak laki-laki berusia sekitar 7-8 tahun yang terlihat sangat takut. Saat pintu terbuka, dia langsung bersembunyi di belakang wanita itu.
Tinglan menyilakan wanita itu masuk: "Kak, perkenalkan, ini adalah atasan kami, Kepala Departemen Shu." Kemudian dia berpaling ke Shu Yi: "Pak Shu, ini adalah kakak saya, Ting Hong."
Shu Yi menjulurkan tangan dan menggenggam lembut tangan Ting Hong. Ting Hong menarik anak laki-laki dari belakangnya: "Anak ini saya temui di jalan pedestrian lebih dari satu jam yang lalu. Saat itu saya sedang berbelanja, tiba-tiba dia melesat merangkul saya sambil berteriak minta diselamatkan. Saya langsung panik. Sejujurnya, banyak anak jalanan dan berbagai jebakan di luar sana. Saya takut sekali ini jebakan dewa, sampai-sampai lama tak bisa bergerak."
Shu Yi menganggukkan kepala, Ting Hong melanjutkan: "Kemudian kupikir meski dia hanya disuruh orang, tidak lebih hanya ingin meminta sedikit uang, jadi kuberikan sepuluh yuan. Tapi ternyata dia menolak, beberapa menit kemudian dia melepaskanku. Tapi setiap langkahku dia ikuti, mengikutiku dari jalan pedestrian selama setengah jam. Akhirnya kutanya mengapa dia mengikutiku, tapi dia diam seribu bahasa. Kulihat ada luka-luka di tubuhnya, mungkin dia korban penculikan, lalu kutelepon Xiao Lan."
Shu Yi tersenyum dan berkata: "Serahkan dia padaku, terima kasih." Ting Hong melirik Tinglan yang mengangguk perlahan. Ting Hong berkata: "Baiklah, aku pulang dulu." Shu Yi berdiri: "Hm, terima kasih." Ting Hong tersenyum simpul: "Pak Shu, Anda terlalu sungkan. Baru tiga kalimat sudah dua kali mengucapkan terima kasih." Shu Yi pun tersenyum malu.
Setelah Ting Hong pergi, Shu Yi berkata pada Tinglan: "Kalian berdua bersaudara sangat mirip." Tinglan menjawab: "Ah, kakakku ini workaholic sejati, sampai sekarang belum punya pacar." Shu Yi berkata: "Kurang perhatian kamu pada kakak." Tinglan tertegun: "Apa maksudnya?" Shu Yi berkata datar: "Dia sudah punya pacar, tapi kamu sebagai adik tidak tahu." Tinglan terkejut: "Tidak mungkin kan?"
Shu Yi tersenyum: "Ayo kita bertaruh, kalau dia punya pacar, kamu traktir kita semua makan sekali." Tinglan berpikir dalam hati, ini kan kakaknya sendiri, masa dia tidak mengenalnya? Dia berkata, "Taruhantaruhan, aku tetap tidak percaya."
Shu Yi menjelaskan: "Meski kakakmu hari ini memakai setelan bisnis, tapi gaya rambutnya dibuat setelah pulang kerja. Selain itu, ada aroma parfum samar di tubuhnya, mungkin Revlon 'Fantasy'. Lalu, selebaran DM di tangannya yang kubaca adalah brosur restoran Barat, artinya malam ini dia ada janji di restoran itu."
Ketiga orang yang hadir kembali terkesima, mereka tak menyangka mata Shu Yi begitu tajam.
Tinglan protes: "Bahkan kalau ada janji, belum tentu dengan pacar!" Shu Yi menggeleng sambil tersenyum: "Pertama gaya rambutnya memberi kesan alami dan ramah tanpa sikap defensif - itu hanya untuk orang spesial. Seperti pepatah 'Wanita berdandan untuk yang menyukainya'. Kedua, parfum Revlon 'Fantasy' sering dijuluki 'racun perangsang', biasanya hanya dipakai wanita saat menemui kekasih."
Shu Yi menutup dengan tegas: "Kalau tidak percaya, telepon saja dan tanya langsung."
Tanpa ragu, Tinglan mengeluarkan ponsel dan menelepon Ting Hong.
"Kakak, kamu punya pacar pria?" Tinglan bertanya langsung. Ting Hong terkejut dengan pertanyaannya: "Bagaimana kamu tahu?" Tinglan tidak menjawab malah bertanya lagi: "Malam ini kalian kencan di restoran Barat?" Ting Hong tersenyum: "Kamu benar-benar luar biasa, jujur saja, apa kamu mengintip Kakak diam-diam?"
Tinglan merasa kalah! Dia menjawab: "Pak Shu yang bilang." Ting Hong semakin heran: "Dia bagaimana bisa tahu?" Tinglan berkata: "Dia menyimpulkan dari gaya rambut barumu, aroma parfum di badanmu, dan selebaran promosi di tanganmu." Ting Hong berkata: "Ini analisis perilaku psikologis, Xiao Lan, sepertinya kepala biro kalian ini orang hebat!" Tinglan berkata: "Sudahlah, kamu membuatku kalah taruhan makan. Ngomong-ngomong, Kak, analisis seperti ini bisa tidak kamu lakukan?"
Ting Hong berbisik pelan: "Tidak bisa, kemampuan observasi Kakak kurang bagus, dulu pernah mau belajar tapi tidak berbakat." Tinglan tertawa: "Ya sudah, kalau tidak bisa jangan ngomong, aku masih ada urusan lain."
