Shu Yi memasuki kamar Bao Wei dan duduk di sofa.
"Bao Wei, ada urusan yang harus kuberitahukan." Suara Shu Yi lembut. Bao Wei menatapnya: "Apa ada sesuatu yang terjadi pada Bao Yan?" Shu Yi mengangguk: "Kurang lebih." Dengan tenang, Bao Wei mengeluarkan rokok, menyerahkan sebatang pada Shu Yi lalu menyalakan rokoknya sendiri.
Shu Yi menerima rokok, memainkannya sejenak di tangan, lalu berkata: "Yanhong kabur. Dia menggunakan metode tertentu membuat Bao Yan tertidur dan menyembunyikannya di lantai atas rumahmu." Bao Wei mengerutkan alis: "Lantai atas?" Shu Yi mengangguk. Bao Wei bertanya: "Xiao Yan tidak apa-apa?" Shu Yi menjawab: "Tidak masalah, sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter mengatakan dia mengalami tidur akibat obat, diperkirakan akan siuman nanti malam."
Bao Wei berkata: "Rumah di lantai atas itu sudah disewakan, tapi aku belum pernah melihat seperti apa penyewanya. Kau tahu, aku pulang-pergi pagi buta, sulit bertemu tetangga kiri-kanan." Shu Yi tersenyum: "Mungkin penyewanya adalah Yanhong dan kawanannya." Bao Wei menghela napas: "Tak kusangka, aku sudah hidup dengan wanita seperti ini lebih dari sepuluh tahun." Shu Yi berkata: "Sekarang kau bisa pergi, bawa Xiao Cao bersamamu."
Bao Wei menggelengkan kepala: "Tidak, lebih baik aku ikut denganmu. Anggap saja ini cuti kerja, atau kesempatan belajar. Shu Yi, harus kuakui, ada banyak hal dalam dirimu yang layak kupelajari." Shu Yi tersenyum: "Kepala Bao, ucapanmu ini bisa membuatku tersesat arah utara."
Bao Wei juga tertawa: "Kalau kau tak punya keteguhan hati, tentu bukan Shu Yi sejati. Jujur saja, nyalimu memang besar, bertindak dengan semangat meledak-ledak. Ini hal yang tak akan pernah bisa kusamai." Shu Yi mengalihkan topik: "Kalau kau bersikeras tetap di sini, baiklah. Nanti malam kita ada aksi nyata, kau harus berkoordinasi dengan baik saat itu!"
Bao Wei bertanya: "Bagaimana kombinasi?" Shu Yi menjawab: "Berakting dalam sebuah drama." Kemudian Shu Yi menjelaskan rencananya secara detail kepadanya. Bao Wei mendengarkan dan berkata: "Hm, tenang saja soal ini, aku pasti bisa memerankannya dengan baik. Tapi kukatakan dari sekarang, nanti kamu harus pesan ke biksu itu untuk menjatuhkan tangannya dengan lembut. Tulang tua ini tidak tahan proses berlarut-larut."
Shu Yi berkata: "Ini konsekuensi logis, hanya saja ketidakadilan untukmu."
Bao Wei mengibaskan tangan: "Ah, ngapain bicara begitu? Asal kasus ini bisa dibongkar, ketidakadilan kecil apa lagi ini?" Shu Yi mengangguk perlahan.
Ximen Wuwang menelepon Xie Yi: "Di situ tidak ada masalah kan?" Xie Yi menjawab: "Tidak ada, Xia Xiaoqing terus di rumah." Ximen Wuwang berkata: "Menurutmu Pak Shu memang aneh, awalnya suruh kami mengawasi Xia Xiaoqing, sekarang kenapa malah menyuruhku mengawasi Jianni ini?" Xie Yi berkata: "Pasti ada alasannya Tuan menyuruh awasi Jianni. Ngomong-ngomong, Mo Dong suruh sampaikan ke Mo Xi, tadi istrinya menelepon mencari dia ada urusan, suruh dia balik telepon."
Ximen Wuwang berkata: "Itu harus tunggu sebentar, aku suruh dia beli makanan dulu. Sudah, tidak usah bicara lagi. Jianni sepertinya mau keluar. Mo Xi ini, kenapa belum kembali juga." Ximen menutup telepon, memandang Jianni yang sedang berdiri di pinggir jalan berusaha memanggil taksi. Saat itu Mo Xi sudah naik mobil.
Dia juga melihat Jianni dari kejauhan sedang panik melambai-lambaikan tangan, berusaha menghentikan taksi.
Ximen Wuwang berkata dengan suara lembut: "Kalau kamu tidak segera datang, aku akan meninggalkanmu di sini." Mo Xi berkata dengan perasaan tidak adil: "Bukankah kamu yang bilang mau makan kekacacauan? Kamu tidak tahu seberapa jauh aku berjalan!" Ximen Wuwang melirik kekacacauan yang masih mengepul: "Tidak tahu ada kesempatan makan atau tidak. Ngomong-ngomong, HP-mu mati?" Mo Xi mengeluarkan HP-nya dan melihat: "Batrenya habis, aku ganti dulu." Ximen Wuwang berkata: "Kakakmu menyuruh kamu menghubungi istrimu, dia ada urusan denganmu."
Ximen Wuwang menghidupkan mobilnya karena melihat Jianni sudah naik ke kendaraan. Mobilnya mulai mengikuti diam-diam dari belakang.
Shu Yi melihat jamnya yang sudah menunjukkan pukul dua lebih. Ia menunggu telepon dengan panik sambil duduk di sofa menghisap rokok berturut-turut. Hatinya diliputi kecemasan, hilangnya Yanhong seperti sinyal bahaya yang mengganggu ketenangannya. Yang paling mengkhawatirkannya adalah waktu menghilangnya Yanhong yang terlalu sensitif - malam ini Paduka Nomor Lima akan tiba di Shanghai. Meski Pang Tiexin sudah dalam kendalinya, Shu Yi yakin orang yang selalu berhubungan dengan Pang Tiexin pasti adalah Yanhong.
Bisa jadi Yanhong malah pemimpin Pang Tiexin. Sangat mungkin, orang yang ahli menggunakan otak biasanya mengendalikan situasi menyeluruh. Yanhong, atau mungkin Yanzi, memang tipe orang seperti itu.
Kekhawatiran terbesar Shu Yi adalah keterkaitan hilangnya Yanhong dengan kunjungan Paduka Nomor Lima. Ia takut target mereka adalah sang Paduka. Sampai saat ini, Shu Yi sama sekali tidak tahu apa yang mereka rencanakan dan bagaimana cara melakukannya.
Akhirnya, telepon berdering, itu panggilan dari Guang Ren. Shu Yi berkata dengan panik: "Paman Guang, bagaimana?" Guang Ren menjawab: "Semua sudah diatur baik, kamu fokus saja pada kasusmu." Shu Yi masih ragu: "Paman, ini masalah besar, tidak boleh sembarangan." Guang Ren tertawa: "Bocah ini, masa tidak percaya dengan caraku mengurus sesuatu?"
Shu Yi terkekeh: "Bukan tidak percaya, hanya ingin lebih tenang." Guang Ren menenangkan: "Taruh hatimu di perut! Gurumu sudah mengatur semuanya. Yang bertanggung jawab atas keamanan Paduka Nomor Lima kali ini adalah tim dari Badan Keamanan Militer, pasti tidak mungkin gagal. Tahukah kamu siapa koordinator utama keamanannya?" Shu Yi menggeleng: "Tidak."
Guang Ren membuka tabir: "Lu You." Shu Yi menarik napas dalam-dalam. Ternyata Dewa itu yang ditugaskan. Dengan kehadirannya, mustahil terjadi kesalahan. Tim Lu You dipenuhi ahli-ahli kelas atas. Jika mereka pun tak mampu, tak ada solusi lain. Shu Yi menghela: "Sekarang aku tenang."
Guang Ren berkomentar: "Memang pengaruh gurumu luar biasa. Soal acara malam nanti, sudah diatur?" Shu Yi paham yang dimaksud adalah urusan Pang Tiexin: "Sudah. Waktu operasi kira-kira lewat pukul dua pagi. Paman cukup datang jam sebelas malam." Guang Ren mengangguk: "Baik, aku tutup telepon dulu. Mau tidur nyenyak sebentar."
Setelah menutup telepon, barulah Shu Yi merasa lega. Di lubuk hatinya, ia sangat berterima kasih pada Zhu Yi yang telah memberikan bantuan besar dalam kasus ini.
Tepat pukul 00:50, Shu Yi mengirim SMS ke Guangren: "Aksi dimulai, laksanakan sesuai rencana."
Persis pukul 01:00, bayangan hitam melayang masuk ke halaman. Wujudnya tak jelas terlihat, hanya dua kilau dingin dari sepasang katana Jepang di tangannya. Tak lama terdengar teriakan penjaga: "Siapa di sana?" Disusul suara mendengus kesakitan sebelum tubuhnya ambruk.
Pang Tiexin mendengar jelas. Ia sama sekali tidak tertidur. Di lubuk hatinya bergelayut kecemasan: Malam ini Paduka Nomor Lima tiba di Shanghai, apakah operasi mereka sukses? Apapun hasilnya, ia harus mencari cara kabur. Bertahan berarti menantang gerakan tak terduga Shu Yi - pria yang terkenal Tak Mengikuti Aturan Biasa. Pang Tiexin tahu, menahannya pasti memberi tekanan besar bagi Shu Yi.
Sebenarnya tak perlu ia takut. Setidaknya saat ini Shu Yi belum punya bukti konkret. Namun perasaan bersalah seperti maling tetap menghantuinya. Ia tak tahu apakah mereka benar-benar menyerang malam ini. Jika iya, sukses atau gagal, ia tetap terlibat.
Dentuman di halaman membuat hati Pang Tiexin berdebar-debar. Pasti regu penyelamatnya datang!
Gemerincing senjata saling beradu memecah kesunyian malam.
Pintu Pang Tiexin terhempas terbuka, seseorang yang seluruh tubuhnya berlumuran darah ambruk di hadapannya. Kemudian ia melihat sosok lain, seorang berbaju hitam bertopeng. Di tangan sosok berbaju hitam itu tergenggam dua bilah katana Jepang. Pang Tiexin bertanya, "Apa kau datang untuk menyelamatkanku?" Namun sosok hitam itu tak menjawab, hanya mengeratkan cengkeraman pada pisau di tangannya sementara sorot mata berbahaya memancar dari balik topeng.
Perasaan takut menyelinap di hati Pang Tiexin. Mo Fei ini bukan datang untuk menolongnya? Kalau begitu...
Kekhawatiran Pang Tiexin menjadi kenyataan. Sosok hitam itu mengayunkan kedua katananya bagai tarian maut, mengarah tepat ke dirinya. Berbekal latar belakang militer, meski kemampuan bertarungnya tak tergolong hebat, refleks Pang Tiexin cukup baik. Dengan lincah ia melompat ke kiri, menghindari serangan mematikan itu, meski lengan kanannya terkena sayatan dalam.
"Bangsat! Kalau gila!" Pang Tiexin menggeram geram. "Gue kan belum ngomong apa-apa!" Sosok hitam itu tetap membabi buta, menghunus pisau dan kembali menyerbu. Tiba-tiba dua orang menyergap masuk ke dalam kamar. Pang Tiexin mengenali mereka sebagai bawahan Shu Yi. Keduanya menempatkan diri di antara Pang Tiexin dan sosok hitam itu, menangkis serangan ganas yang ditujukan pada Pang Tiexin.
Sosok berbaju hitam mengeluarkan dua kata pelan: "Baka!" Tatapannya semakin dingin, sepasang katana Jepang di tangannya berputar cepat. Dua orang yang masuk sudah terkena tusukan beberapa kali. Ye Qinghan merasakan nyeri di betisnya, di lubuk hatinya menggerutu: "Biksu brengsek, main serius!" Tapi dia tahu kepura-puraan yang berlebihan takkan bisa mengelabui Pang Tiexin. Untungnya Ye Qinghan sempat berkoordinasi dengan Shu Yi sebelumnya, semua orang sudah tahu operasi ini palsu. Kalau tidak, dengan serangan sekeras biksu ini, bukan tidak mungkin ada yang nekat menembak.
Biksu ini bermain sangat realistis karena Shu Yi menekankan sebelum operasi: "Sandiwara ini krusial. Kalau tidak meyakinkan, Pang Tiexin akan melihat celah dan semua usaha sia-sia." Biksu sangat menghormati setiap perintah Shu Yi. Begitu operasi dimulai, aksinya langsung brutal meski tetap menjaga kendali agar tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Hal ini membuat semua pihak dibuat menderita.
Melihat pasukan Shu Yi berantukan dengan sosok berbaju hitam, Pang Tiexin segera mengambil keputusan: Kabur! Rupanya mereka benar-benar ingin mencabut nyawanya, dan sosok berbaju hitam itu adalah algojonya. Memperhatikan kelincahan gerakan sang algojo, Pang Tiexin yakin tak ada yang bisa menghadangnya di sini. Dengan memperhatikan timing, dia melesat ke arah pintu keluar.
Saat itu dia mendengar teriakan menyayat dari dalam rumah. Dia tahu pasti anak buah Shu Yi yang diserang sosok berbaju hitam sampai mati. Langkahnya semakin menjadi-jadi. Tapi secepat apapun dia lari, tetap tak bisa menandingi kecepatan sosok itu! Sosok berbaju hitam menyusul dengan cepat. Pang Tiexin mendengar suara gesekan bilah pisau menembus angin. Lalu punggungnya terasa dingin. Tak lama nyeri mulai terasa. Bangsat! Pasti punggungnya kena serangan!
"Siapa kau!" Pang Tiexin mengenali suara Bao Wei. Saat menoleh, dia melihat Bao Wei merangkul pinggang sosok berbaju hitam itu. Melihat tak ada orang lain di sekitar, Pang Tiexin tak peduli lagi pada Bao Wei. Dia berlari sekuat tenaga. Ketika menoleh ke belakang, dilihatnya Bao Wei sudah tergeletak di tanah. Bilah tajam di tangan sosok itu diangkat, lalu ditusukkan ke tubuh Bao Wei. Di hati Pang Tiexin muncul rasa bersalah samar. Bagaimanapun juga Bao Wei mati karena dirinya. Membayangkan kematian, langkahnya semakin kencang...
