Shu Yi dan Hu Die kembali ke kamar. Ia segera menelepon Ye Qinghan dan Xiao Sheng untuk menceritakan kejadian secara garis besar.
Jantung Hu Die masih berdebar kencang. Ia tahu baru saja menginjakkan kaki di pintu gerbang kematian. Memandang Shu Yi yang sedang menelepon, pandangannya terlihat samar. Lelaki ini bagai teka-teki, namun justru karena itulah perasaannya pada Shu Yi semakin menguat.
Setelah Shu Yi selesai menelepon, Hu Die berkata dengan lembut: "Terima kasih!" Shu Yi menatapnya: "Saya sarankan kamu sebaiknya segera kembali ke Beihe." Hu Die tertegun, dia tidak menyangka Shu Yi akan mengucapkan kalimat seperti ini, kata-kata yang sudah direncanakannya pun jadi sulit diungkapkan.
Meski Hu Die tahu Shu Yi sudah punya pacar, dia tidak peduli. Dia sudah bulat tekad, bisa mengejar Shu Yi adalah harapan terbesarnya. Jika hati Shu Yi tidak bisa melupakan pacarnya, maka dia akan menjadikan tubuhnya sebagai hadiah khusus untuk Shu Yi, sebagai balas budi atas pertolongan menyelamatkan nyawanya.
Tapi siapa sangka Shu Yi hanya mengucapkan kalimat biasa ini untuk mengusirnya.
Ekspresi sedih muncul di wajah Hu Die: "Apa kamu sangat membenciku?" Sepasang mata indahnya memandang Shu Yi penuh kedalaman perasaan. Shu Yi tersenyum sambil menjawab: "Kamu overthinking. Kita baru kenal, tidak bisa dibilang suka apalagi benci. Saya hanya mempertimbangkan alasan keamananmu. Lagipula, di dunia ini tidak ada perjamuan yang tak berakhir. Kamu punya jalanmu, saya punya jalanku."
Hu Die menghela napas dalam: "Baiklah, saya akui kamu benar. Besok saya akan meninggalkan sini. Tapi, saya punya permintaan." Wajah Hu Die memerah. Shu Yi berbisik bertanya: "Urusan apa?" Hu Die menjawab: "Malam ini bisakah kamu menemani saya?" Shu Yi memicingkan matanya. Hu Die melanjutkan: "Maksud saya, malam ini bisakah kita tinggal dalam satu kamar?" Suaranya semakin pelan, kepala semakin menunduk: "Apa kamu bersedia?"
Penampilan femininnya yang lembut membuat Shu Yi terdiam membeku. Hu Die meliriknya diam-diam, dan senang melihat reaksi Shu Yi. Dengan langkah perlahan, Hu Die mendekat lalu menyandarkan lengannya pada Shu Yi. Kepalanya bersandar lembut di bahu Shu Yi: "Shu Yi, tahukah kamu? Aku sangat menyukaimu!"
Suaranya menyadarkan Shu Yi dari keterkejutannya. Perlahan ia melepaskan diri: "Kau memang wanita luar biasa. Pasti akan menemukan pria tepat yang sepadan. Tapi bukan aku, karena aku sudah punya pacar. Ke Yun Du ini tujuanku untuk melamar keluarga kekasihku." Hu Die memucat, tak menyangka keteguhan hati Shu Yi begitu kuat.
Penolakan langsung itu melukai martabat Hu Die. Sebagai wanita, harga dirinya tersinggung. Bibirnya tergigit erat, matanya berkaca-kaca: "Cukup! Aku mengerti." Shu Yi tahu perbuatannya menyakitkan, namun di hatinya hanya ada Mu Qi'er.
Cinta Shu Yi dan Mu Qi'er mungkin tampak biasa, tapi telah melewati ritual penyucian dalam kobaran api perjuangan.
Demi amanah yang dititipkan Shu Yi, Mu Qi'er tidak segan mempertaruhkan nyawanya sendiri hingga mengalami cedera parah. Selama Shu Yi dirawat di rumah sakit, dia setia menjaga tanpa lepas pakaian, bertanggung jawab atas makan, minum, dan kebutuhan dasarnya. Emosi yang terakumulasi seperti ini tidak bisa dirasakan Hu Die, apalagi digantikan posisinya.
Shu Yi berkata lembut: "Kamu mandi dulu yang bersih, istirahat lebih awal. Besok pagi akan kusuruh orang mengantarmu ke bandara, biaya tiket pesawat aku yang tanggung." Setelah berkata demikian, Shu Yi tidak lagi mempedulikannya. Dia duduk sendiri di sofa, merokok sambil menonton TV.
Hu Die menyadari bahwa bagaimanapun usahanya, tidak akan ada lagi interaksi antara dirinya dengan Shu Yi. Seperti kata Shu Yi, mereka hanyalah dua insan yang bertemu secara kebetulan, lalu akan melanjutkan perjalanan masing-masing di jalurnya sendiri. Dengan menghela napas, dia pun duduk di sofa: "Shu Yi, bisakah kau ceritakan sebenarnya siapa dirimu?" Shu Yi menatapnya sambil menggeleng: "Tidak bisa." Sikap Shu Yi ini membuat Hu Die akhirnya menyerah total.
Ketika Ye Qinghan dan Xiao Sheng datang, Hu Die sudah kembali ke kamarnya sendiri.
Setelah duduk, Ye Qinghan berkata: "Pak Shu, seharusnya Anda tidak naik ke atas gedung sendiri." Shu Yi tersenyum: "Bukankah saya baik-baik saja?" Xiao Sheng juga menambahkan: "Tapi tindakan itu terlalu berisiko. Zhuge Fengchu ini sudah gila. Jangan-jangan dia benar-benar nekat memerintah bawahannya untuk menembak? Tidak worth it mati bersama sampah seperti itu." Shu Yi menggelengkan kepala: "Kalian tidak memahami orang ini. Dia biasanya tidak akan bertindak tanpa keyakinan 100% akan kemenangan."
"Tapi dia meremehkanku. Bahkan jika dia tidak mencoba merebut senjata atau memberiku kesempatan seperti itu, aku tetap bisa mengendalikannya." Sambil mengatakan ini, Shu Yi melemparkan sebatang rokok kepada mereka berdua: "Dalam jarak tiga meter, tidak ada yang bisa mengenaimu dengan peluru!" Suara Shu Yi penuh percaya diri saat mengucapkan ini, membuat Ye Qinghan dan Xiao Sheng hanya bisa tersenyum kecut sambil menggeleng.
Shu Yi berkata: "Xiao Sheng, pesan tiket pesawat untuk besok. Antar Hu Die ke pesawat." Xiao Sheng mengangguk: "Siap!"
Ye Qinghan bertanya: "Pak Shu, bagaimana dengan Zhuge Fengchu ini?" Shu Yi menjawab dengan tenang: "Apa maksudmu bagaimana?" Ye Qinghan menjelaskan: "Apakah kita akan melakukan operasi penangkapan di seluruh kota?" Shu Yi menggeleng: "Dia sudah membangun jaringan di Kunmi selama puluhan tahun. Mencari persembunyian baginya mudah sekali. Sungguh sulit untuk menemukannya."
Ye Qinghan berkata dengan kesal: "Dia kabur lagi!" Shu Yi tersenyum: "Sudahlah, nggak ada yang disesali. Tenang saja, selama Shu Yi masih hidup, dia pasti akan datang lagi." Ye Qinghan menatap pintu kamar Hu Di yang tertutup rapat, lalu berbisik: "Pak Shu, apa ada urusan khusus antara Bapak dengan Hu Di ini?"
Shu Yi melotot padanya: "Mikirin apa sih? Maksudmu 'urusan khusus' gimana?" Ye Qinghan terkekeh: "Laki-laki dan perempuan berduaan di satu ruangan, apalagi cewek secantik itu. Kalau aku sih, pasti nggak bisa tahan." Shu Yi menatapnya: "Ngomong-ngomong, menurutku Hu Di ini cocok banget buatmu. Gimana, mau kubantu jodohin?" Ye Qinghan tertegun, tidak menyangka Shu Yi akan berkata begitu.
Xiao Sheng tertawa: "Kayaknya ide bagus tuh! Kakak Ye kan sudah hampir 40 tahun masih jomblo." Ye Qinghan buru-buru menyela: "Udah deh, jangan menggoda aku terus. Pak Shu, menurutku Bapak harusnya nelpon Nona Mu dan jelaskan semua urusan ini."
Setelah berkata demikian, ia menatap Shu Yi dan menyadari bahwa atasannya itu sedang melamun.
Xiao Sheng berbisik memanggil: "Pak Shu, Pak Shu!" Shu Yi tersadar: "Hah?" Xiao Sheng melirik ke Ye Qinghan, Ye Qinghan bertanya: "Pak Shu, ada apa?" Shu Yi menghela napas pelan: "Sayang sekali, aku masih belum bisa memahami urusan api biru itu." Ye Qinghan dan Xiao Sheng tahu, persoalan api biru di hati Shu Yi bagai bom waktu yang tertanam, siap meledak kapan saja.
Penyesalan Shu Yi bisa mereka pahami. Ye Qinghan berkata: "Pak Shu, tenang saja. Seperti katamu, mereka pasti akan datang lagi. Masalah internal ini pasti akan kami selidiki."
Shu Yi mengangguk: "Hanya bisa berpikir seperti itu."
Zhen Nanfang berdiri di halaman, menatap langit malam yang tak bertepi.
Xiao Hui mendekatinya: "Kau sudah berdiri sejam lamanya, kembalilah ke kamar untuk istirahat." Zhen Nanfang menoleh ke Xiao Hui: "Menurutmu, malam ini rumah sebelah akan ramai lagi?" Xiao Hui tertegun sejenak, lalu menggeleng. Zhen Nanfang berkata: "Kurasa tidak."
"Mengapa?" Xiao Hui tampak bingung. Zhen Nanfang menarik tangan Xiao Hui menuju ruang utama.
"Tidak tahu, cuma perasaan." Zhen Nanfang berkata. Xiao Hui tidak bertanya lagi, Zhen Nanfang sudah beberapa kali menyebut tentang feel, deskripsinya tentang feel mirip dengan Shu Yi. Xiao Hui berkata: "Hari ini tidak bertemu Tuan Zeng Zecheng." Zhen Nanfang menjawab: "Dia bilang ada urusan ke kota, mungkin baru pulang besok." Xiao Hui berkata: "Kasus Lu Heping lagi-lagi menyeret kita ke celah." Zhen Nanfang berkata dengan tenang: "Ya, Lu Heping adalah orang pertama yang mengatakan kebenaran, sayang sekali."
Zhen Nanfang menyalakan rokok, menghirup lalu berbisik: "Masuk celah tidak menakutkan, yang menakutkan adalah kita kehilangan kepercayaan diri. Jadi kita harus pertahankan keyakinan ini, celah pun tidak apa, !" Xiao Hui merasakan semangat heroik memancar dari tubuh Zhen Nanfang! Xiao Hui sangat menyukai mentalitas Zhen Nanfang, dia menuangkan secangkir teh untuknya: "Tidak mau menjenguk biksu?" Zhen Nanfang menggeleng: "Tidak perlu, Kak Xie sudah menemaninya."
Xiao Hui bertanya: "Tidak takut dia mengira kau memarahinya?" Zhen Nanfang tersenyum tipis: "Kau terlalu banyak berpikir, dia bukan tipe seperti itu, cuma aku khawatir dia akan terbebani pikiran."
Tiba-tiba, seperti ada sesuatu menghantam pintu gerbang, suaranya meski tidak keras tapi jelas terdengar oleh Xiao Hui, dia langsung melesat ke pintu gerbang. Xiao Hui membuka pintu dan mengejar keluar, melihat ke kiri-kanan tapi tidak menemukan bayangan orang. Alisnya berkerut, dirinya yakin tidak salah dengar, ternyata di Kota Mang memang ada ahlinya.
Zhen Nanfang juga melesat keluar, melihat Xiao Hui tertegun di situ. Zhen Nanfang bertanya: "Ada apa?" Xiao Hui berbisik: "Aku jelas mendengar ada orang di luar pintu, tapi ketika mengejar tidak melihat siapa-siapa." Zhen Nanfang juga memandang sekeliling: "Kamu yakin tidak salah dengar?" Xiao Hui mengangguk: "Tidak mungkin salah." Zhen Nanfang menarik napas dalam: "Jika benar tidak salah dengar, berarti keterampilan bertarung orang ini setidaknya sepadan denganmu!"
Wajah Xiao Hui berkerut: "Bahkan lebih tinggi. Mungkin itu bayangan hitam yang kita lihat hari itu!"
Di lubuk hati Zhen Nanfang timbul kekhawatiran. Keberadaan ahli seperti ini benar-benar menjadi bibit masalah besar bagi mereka. Ahli misterius ini bahkan mengancam keselamatan mereka langsung. Bukan berarti mereka pengecut, tapi pengorbanan seperti ini tidak sepadan. Apalagi saat ini mereka tidak menguasai faktor cuaca, medan, maupun dukungan manusia. Musuh bersembunyi sementara mereka terpapar. Jika benar-benar menggunakan cara licik, mustahil diantisipasi.
Setelah berpikir sejenak, Zhen Nanfang akhirnya menelepon Shu Yi.
