Kaki Luo Na terangkat tinggi di atas meja kerja, matanya menatap erat Luo Xi: "Sudah bertemu dengannya?" Luo Xi mengangguk. Luo Na berkata: "Obat itu kau yang racik sendiri?" Luo Xi menjawab: "Ya, perkiraan enam jam lagi dia akan mulai pulih perlahan."
Luo Na tersenyum tipis: "Kerja bagus. Ngomong-ngomong, hari ini akan ada wakil manajer baru di pangkalan, katanya wanita yang sulit dihadapi." Luo Xi mengerutkan alis: "Oh? Kenapa tiba-tiba ada wakil manajer lagi?" Luo Na menghilangkan senyumannya: "Tak tahu, yang pasti kita harus berhati-hati. Aku khawatir ini targetnya kita."
Luo Xi berkata: "Kakak, menurutku saat ini tidak worth it untukmu bertengkar dengan si Feng demi Yanhong itu."
Luo Na menggeleng: "Konflikku dengan si Feng sudah lama, semua orang tahu. Masalah Yanhong juga kumanfaatkan sebagai dalih. Lagipula Yanhong adalah langkah krusial bagi kita. Atasan melarang kita terbuka, jadi kita harus memanfaatkan Yanhong. Waktu kita tinggal seminggu, harus segera ungkap semua di sini. Kita tidak bisa langsung turun tangan, harus lewat dia. Lebih baik sekalian jebak Feng Borong dalam kesempatan ini."
Luo Xi menghela napas: "Kakak, kurasa kita semua sudah berubah terlalu banyak." Luo Na menatap adiknya: "Apa kau merasa kakak sekarang kejam?" Luo Xi diam saja, seperti membenarkan.
Luo Na berbisik: "Ingat itu, pekerjaan kita tidak boleh ada kesalahan. Jika kita salah, konsekuensinya tak terbayangkan. Harganya bukan sekadar beberapa nyawa malang. Seringkali kita mungkin akan bersikap dingin menghadapi kehidupan—bukan hanya milik orang lain, tapi juga diri sendiri. Dibanding kepentingan nasional, segalanya tak berarti."
Luo Xi diam seribu bahasa, menundukkan kepala.
Luo Na melanjutkan: "Aku memilih Yanhong karena dia juga prajurit. Seorang prajurit harus selalu siap berkorban untuk negara, klan, dan keyakinannya. Kita juga begitu, Luo Xi. Setiap hari kita dalam bahaya—mungkin besok, bahkan semenit lagi harus menghadapi pilihan hidup-mati. Jika hari itu benar datang, kuharap kau bisa tegak berdiri dan tersenyum menghadapinya."
Luo Xi mengangguk: "Kakak, aku mengerti!"
Luo Na berdiri: "Baik, turunlah beristirahat. Aku akan ke tempat Yanhong."
Di kamar Yanhong, Feng Borong menyeringai dengan tangan tergenggam di punggung: "Apa katamu? Kau mau bersama si lelaki berkelamin perempuan itu?" Yanhong berbisik: "Aku menyukai wanita." Feng Borong mencibir: "Oh ya? Kurasa ini bukan sesederhana itu! Mengaku! Ada urusan kotor apa lagi di antara kalian?"
“Kepala Departemen Feng, aku justru ingin mendengar penjelasanmu, sebenarnya ada urusan apa yang tak pantas dilihat antara aku dan dia?” Suara itu datang dari luar. Daging di wajah Feng Borong berkedut, memaksakan senyuman: "Luo Na, kenapa kamu datang?" Luo Na berkata dengan tenang: "Kalau tidak datang, aku tidak akan tahu bagaimana kamu memfitnahku di belakang."
Feng Borong menjawab: "Salah paham, salah paham, aku hanya ingin menjalin hubungan dengan Nona Yanhong."
Yanhong menatap Luo Na yang membalas dengan senyuman. Hati Yanhong kacau, jika Feng Borong adalah harimau, maka Luo Na baginya adalah serigala.
Setidaknya bersama Luo Na terasa lebih aman. Antara wanita meski ada keambiguan, takkan terjadi masalah. Lagipula dibandingkan babi korup Feng Borong, Luo Na lebih mudah diterima.
Feng Borong bertanya: "Luo Na, Wakil Kepala Luo, persiapan untuk eksperimen kemarin sudah selesai?" Luo Na menjawab: "Sudah." Feng Borong menatap Yanhong dengan sinis: "Sepertinya tikus percobaan kita masih kurang sempurna." Yanhong merasa gemetar tak jelas, Feng Borong melanjutkan: "Luo Na, tentang Yanhong ini bagaimana..."
Luo Na mengerutkan alis: "Feng Borong, kau sengaja ya? Jika Yan Hong mau ikutmu, apa kau masih akan menjadikannya kelinci percobaan?" Feng Borong menjawab: "Orang seperti ini cukup untuk main-main, Luo Na, jangan-jangan kau ingin melindunginya?" Luo Na berkata dingin: "Justru aku ingin melindunginya, terserah kau. Mulai sekarang, aku akan membuatnya ikut denganku."
Feng Borong wajahnya dipenuhi murka: "Kau... kau tunggu saja! Aku akan melaporkanmu!"
Luo Na berkata: "Silahkan! Orang ini sudah pasti kubela."
Feng Borong menghempas lengan bajunya lalu pergi saking marahnya.
Luo Na menunggu sampai ia cukup jauh baru berkata tenang pada Yan Hong: "Ikut aku!" Setelah itu mendorong kursi roda Yan Hong ke kamarnya. Luo Na menutup pintu, tak peduli pada Yan Hong, malah mengambil sebuah jarum suntik di lemari, memasang jarum, mengambil sebotol cairan obat, menyedot air, lalu menghampiri Yan Hong: "Setelah disuntik ini, kau bisa bergerak."
Yan Hong bertanya: "Kau tidak takut aku kabur?" Luo Na meliriknya: "Jika itu terjadi, aku hanya bisa mengatakan salah menilaimu." Yan Hong bingung: "Apa maksudmu?" Luo Na menjelaskan: "Kau akan meninggalkan sini, tapi bukan sekarang. Saat waktunya tepat aku akan membantumu pergi. Tapi selama ini kau harus patuh padaku, dan... kita akan sangat intim."
Yan Hong mendengar kalimat terakhirnya, wajahnya langsung memerah.
Luo Na menghela napas, menusukkan jarumnya lalu mendorong plunger.
Luo Na meletakkan jarum suntik: "Setelah dua jam, kamu akan pulih, Yan Hong. Ada satu hal yang kuharap kamu setujui." Yan Hong bertanya: "Apa itu?" Luo Na menggigit bibirnya: "Aku ingin kamu merayu Feng Borong. Di satu sisi bersikap mesra denganku, di sisi lain menggoda dia." Yan Hong melotot pada Luo Na: "Kau anggap aku apa?"
Luo Na berkata dengan tenang: "Orang yang rela mengorbankan segalanya demi menyelesaikan misi." Yan Hong memicingkan matanya: "Kau ini sebenarnya siapa?" Luo Na menggeleng: "Tak akan kuberi tahu. Intinya, target kita sama." Yan Hong menyeringai: "Mengapa aku harus percaya? Bagaimana aku tahu ini bukan skenario yang kau dan Feng Borong rancang bersama?"
Luo Na menjawab: "Kau boleh menolak, jika menurutmu reputasimu lebih penting dari kepentingan nasional."
Yan Hong terdiam. Pengalaman dua hari terakhir membuatnya kebingungan. Ia tak lagi bisa menilai situasi ini.
Luo Na bertanya: "Kau kenal Shu Yi?"
Yan Hong tertegun sejenak, lalu mengangguk. Luo Na melanjutkan: "Jika mau bekerja sama, paling lama seminggu, aku akan pertemukan kau dengannya. Biar dia yang mengantarmu keluar dari Korea Utara." Yan Hong kembali terperanjat. Siapa sebenarnya Luo Na? Mengapa mengatakan ini? Namun di lubuk hati, ia mulai menerima dan mempercayai wanita ini.
Luo Na berkata: "Sejak kau bangkit kembali saat itu, kau adalah Yanhong - seorang wanita yang rela mengorbankan jiwa, tubuh, dan harga dirinya demi menyelamatkan nyawa dan meninggalkan tempat ini. Aku tahu ini terasa kejam bagimu, tapi kau harus melakukannya. Jika tidak, tidak hanya misimu yang tidak akan sempurna, tapi juga akan mengganggu penyelesaian misi aku, Shu Yi, bahkan Kawan-kawan lainnya, bahkan membawa ancaman nyawa bagi mereka."
Yanhong menutup matanya. Dia butuh waktu untuk mencerna, dan lebih banyak waktu lagi untuk mengumpulkan tekad.
Luo Na melanjutkan: "Pikirkan baik-baik. Aku akan keluar sebentar." Setelah berkata demikian, Luo Na meninggalkan kamar dan mengunci pintu dengan rapat.
Shu Yi menggeliat dalam tidurnya, lalu tersentak bangun.
Dengan diam-diam Shu Yi melirik Quan Shuyu di tempat tidur sebelah. Wanita itu tertidur lelap, kelelahan setelah berlarut-larut semalaman ditambah tekanan psikologis yang berat.
Shu Yi mencoba menggerakkan tubuhnya dan mendapati dirinya benar-benar sudah bisa bergerak. Tiba-tiba dia teringat perkataan Jiang Linwei - rupanya Jiang Linwei tahu bahwa efek jarum itu tidak akan membuatnya lemah terlalu lama.
Tapi dia tidak berani bergerak. Pasti ada rekaman CCTV di kamar ini. Mengingat ini semua adalah drama yang diatur Jiang Linwei dan kroni-kroninya, dia harus terus berakting. Shu Yi batuk kecil dengan lembut. Quan Shuyu langsung terbangun: "Ada apa?" Dia melirik jamnya: "Astaga, aku sampai tertidur begitu lama?"
Quan Shuyu berkata kepada Shu Yi: "Apa kamu mau ke toilet?" Ternyata tebakan Quan Shuyu tepat, Shu Yi memang sangat ingin buang air kecil. Tapi bagaimana mungkin dia meminta bantuan Quan Shuyu? Ia tahu saat ini dirinya sama sekali tak punya tenaga, kedua tangan dan kaki tak bisa digerakkan. Untuk sekedar buang air kecil pun harus mengerahkan segala upaya.
Melihat wajah Shu Yi yang memerah, Quan Shuyu langsung paham maksudnya. Pipinya juga berubah kemerahan, namun ia tetap menyangga tubuh Shu Yi: "Ayo." Ia mendorong kursi roda Shu Yi sampai ke depan kamar mandi, lalu dengan susah payah menggendongnya masuk. Setelah menurunkan Shu Yi di depan toilet, ia memapahnya dengan stabil.
Shu Yi hampir berseru ingin melakukannya sendiri. Tapi ia menahan diri. Alisnya berkerut saat melihat sudut pandang matanya menangkap rekaman CCTV di kamar mandi: "Ini... agak tidak nyaman, ya?"
Quan Shuyu menarik napas dalam-dalam. Tangan kanannya dengan cekatan membuka kancing celana Shu Yi, lalu menjepit bagian tersebut sambil memalingkan muka. Pipinya merah membara seperti apel matang.
Suara aliran air terdengar jelas. Quan Shuyu bisa merasakan perubahan tertentu pada Shu Yi. Cepat-cepat ia bertanya: "Sudah selesai?" Shu Yi berbisik: "Sudah." Quan Shuyu segera melepaskan genggamannya, mengenakan kembali celana Shu Yi, lalu menggendongnya kembali ke kursi roda. Baru setelah itu ia masuk ke kamar mandi dan mencuci tangannya dengan teliti.
Shu Yi juga merasa sangat canggung. Ia sama sekali tidak punya pikiran apa-apa terhadap Quan Shuyu, tapi situasi tadi terlalu khusus, dan dia adalah lelaki normal.
Quan Shuyu akhirnya keluar dari kamar mandi. Shu Yi menatap pipinya yang memerah sambil batuk kecil: "Emm, Nona Quan, tolong dorong saya menemui Dr. Lin." Quan Shuyu menunduk sambil berbisik "Oh", lalu berjalan ke belakang Shu Yi. Satu tangannya memegang stik game kursi roda, tangan satunya mengelus lembut pipinya sendiri dengan punggung tangan. Panas sekali.
Jiang Linwei melihat kedatangan Shu Yi dan tersenyum: "Sudah bangun? Lapar?" Shu Yi menjawab: "Sepertinya memang agak lapar." Jiang Linwei menoleh ke Quan Shuyu: "Nona Quan, tolong ambilkan makanan untuk Tuan Shu." Shu Yi menambahkan: "Nona Quan, silakan makan dulu sendiri baru bawa untukku." Quan Shuyu merasa hangat di hati mendengar kepedulian Shu Yi: "Baik, tunggu di sini ya."
