Jiang Linwei memutar-mutar lehernya: "Duduk di kantor memang bukan hal yang nyaman. Pinggang dan bahuku sudah sangat pegal." Shu Yi berkata tenang: "Bukankah seharusnya kau ceritakan semua tentang dirimu?" Jiang Linwei meliriknya, lalu melemparkan sebatang rokok: "Bicarakan nanti malam. Sekarang kau tidur dulu, istirahat cukup. Semoga ini terakhir kali kita menginap di tempat hantu ini."
Kamar Jiang Linwei tidak memiliki rekaman CCTV. Shu Yi menerima rokok dan menyalakannya, mata tertutup menikmati aroma tembakau. Sudah beberapa hari ia tidak merasakan aroma seperti ini: "Nanti malam? Mau mencuri barang?" Jiang Linwei melirik Shu Yi: "Mana curi? Aku cuma mau melihat sejauh apa penelitian mereka."
Shu Yi menjawab: "Bukannya mereka sudah menyerahkan hasil penelitian awal padamu?" Jiang Linwei menggeleng: "Kau kira mereka benar-benar percaya padaku?" Shu Yi tersenyum: "Mereka memuja seperti dewa, masih belum puas?" Jiang Linwei menggeleng lagi: "Kau tidak tahu, data yang mereka berikan kacau. Sebelum datang aku cuma belajar intensif kurang dari sebulan. Meski dulu fisika ku lumayan, tapi levelku ini... jangankan bom nuklir, kenari pun tak bisa kupreteli."
Shu Yi tersenyum kecut dengan nada meremehkan: "Kalau begitu, meski hasil penelitian asli mereka ditaruh di depanmu, kau tetap tak bisa menilainya." Jiang Linwei mengangguk: "Benar. Tapi bisa kubawa. Kalau aku tak paham, pasti ada yang paham." Shu Yi menggeleng sambil tersenyum getir: "Beban kerja kita akan terlalu berat. Harus bawa semua data?"
Jiang Linwei berkata: "Tak perlu serumit itu. Cari server mereka, copot harddisk. Di dalamnya pasti ada yang kita butuhkan." Shu Yi bertanya: "Kau yakin ini benar pangkalan pengembangan nuklir mereka?" Ekspresi Jiang Linwei menjadi serius: "Sebenarnya... aku tak bisa memastikan."
Jiang Linwei berkata dengan tenang: "Tapi tidak ada jalan lain, kita harus berjudi demi peluang." Shu Yi menjawab: "Mengapa harus berjudi untuk hal yang tidak pasti? Meski kami prajurit, tapi prajurit pun harus mati dengan nilai. Kau tak berhak berjudi, karena yang kaupertaruhkan bukan milikmu sendiri, tapi nyawa orang lain. Itu membuatmu semakin tak berhak."
Jiang Linwei menatap Shu Yi: "Kau takut mati?" Shu Yi berkata: "Aku tidak takut mati, aku hanya tidak mau mati sia-sia." Jiang Linwei tersenyum: "Kalau bukan karena bertemu aku, kau sudah mati." Perkataan Jiang Linwei membuat Shu Yi tertegun. Jiang Linwei berdiri, mendekati Shu Yi dan menepuk bahunya: "Saudara, tenanglah. Kalaupun kalah berjudi, yang mati cuma kita berdua. Jika aku yang mati, itu mungkin ada penyesalan. Tapi kau? Tidak sia-sia."
Meski logika Jiang Linwei seperti perampok, Shu Yi ternyata tak bisa membantah. Shu Yi memilih untuk diam.
Jiang Linwei berkata pada Shu Yi: "Lewat pukul dua pagi aku akan memutuskan rekaman CCTV lalu memanggilmu. Cewek cantik di kamarmu itu, kau yang urus sendiri."
Setelah makan malam, Quan Shuyu membuka televisi untuk Shu Yi: "Mau nonton apa?" Shu Yi berbisik: "Tonton saja yang kau suka." Dua hari terakhir Quan Shuyu terus merawat secara Shu Yi. Hal memalukan seperti "pipis" pun sudah tidak membuat mereka saling memerah lagi. Tentu saja Shu Yi masih merasa canggung, karena sebenarnya ia sudah bisa bergerak sejak lama.
Shu Yi duduk diam di tempat tidur, mata Quan Shuyu menatap layar kaca. Di televisi sedang memutar film romantis, jenis film seperti ini sulit ditemukan di Korea Utara. Shu Yi berbisik, "Ini pasti bukan program stasiun TV, kan?" Quan Shuyu mengangguk, "Hm, televisi tidak akan menyiarkan ini. Ini pemutaran internal pangkalan, tentu hanya perwira tinggi yang bisa menonton."
Shu Yi tersenyum tipis: "Sepertinya aku juga menikmati perlakuan spesial perwira tinggi."
Quan Shuyu ikut tertawa: "Jika kau mau tinggal di sini, ini bukan lagi sekadar masalah perwira tinggi. Bahkan memberi pangkat jenderal pun, aku yakin Pemimpin akan menyetujui." Lelucon Shu Yi berhasil meredakan kecemasan Quan Shuyu. Sebenarnya dua hari terakhir Shu Yi masih berbicara dengannya, hanya saja raut wajahnya selalu tegang.
Shu Yi berkata: "Berarti Pemimpin kalian juga tahu tentangku?" Quan Shuyu berpikir sejenak: "Kurasa sekarang sudah tahu." Shu Yi menghela napas: "Diawasi olehnya bukanlah hal positif. Jam berapa sekarang?" Quan Shuyu tertegun sejenak, perubahan topik Shu Yi terlalu mendadak. Ia menengadah melihat jam dinding: "Lebih dari jam sepuluh."
Quan Shuyu bangkit menuangkan air: "Aku tahu kau suka teh, tapi di sini hanya ada kopi. Minum kopi malam hari mengganggu tidur, jadi minum air saja." Ia memapahu Shu Yi, meletakkan cangkir dengan lembut di bibirnya.
Shu Yi menyesap sedikit: "Sudah, aku mau tidur."
Quan Shuyu mengeluarkan suara "Oh", meletakkan cangkir, lalu merawat Shu Yi tidur.
Quan Shuyu menatap Shu Yi yang berbaring di tempat tidur dengan mata tertutup: "Shu Yi, maafkan aku." Shu Yi membuka matanya: "Kenapa minta maaf lagi?" Mata Quan Shuyu tiba-tiba memerah: "Shu Yi, sebenarnya aku... sebenarnya..." Shu Yi tersenyum lembut: "Jangan cemas, pelan-pelan saja."
Quan Shuyu berkata: "Perasaanku padamu itu tulus. Aku tidak ingin melakukan ini, tapi terpaksa. Kalau tidak, aku akan kehilangan keluargaku."
Shu Yi menarik napas panjang: "Urusan ini sudah berlalu. Jangan dipikirkan lagi. Aku tidak marah padamu."
Quan Shuyu mengangguk: "Aku mengerti. Istirahatlah yang cukup. Aku juga mau tidur." Quan Shuyu merebahkan diri di tempat tidurnya, mematikan televisi. Karena Shu Yi mau tidur, tentu dia tidak bisa terus menonton meski sangat menyukai film ini. Bagi Shu Yi, film cinta Korea Selatan yang diklaim romantis ini justru sangat melodramatis. Sejak dulu dia memang tidak suka drama Korea.
Pukul satu kurang lima menit dini hari, Shu Yi memanggil pelan: "Nona Quan!" Quan Shuyu yang tidur dengan setengah sadar langsung bangun dan hendak menyalakan lampu. Shu Yi berbisik: "Jangan nyalakan lampu." Quan Shuyu tertegun sejenak.
"Aku mau ke WC," kata Shu Yi.
Quan Shuyu berjalan ke tepi tempat tidur Shu Yi, dengan lembut membantu Shu Yi duduk, lalu menempatkannya di kursi roda. Kursi roda itu didorongnya hingga depan pintu kamar mandi. Quan Shuyu menggendong Shu Yi masuk ke kamar mandi, membuka celananya, lalu meluruskan posisi alat vitalnya. Tiba-tiba ia mendengar Shu Yi berbisik "Maaf", saat mengangkat kepala bingung menatap Shu Yi. Di kegelapan, wajah Shu Yi samar-samar, namun matanya yang jernih menyala jelas. Lehernya terkena pukulan keras, dan ia pun tak sadarkan diri.
Shu Yi baru saja mengencangkan celananya ketika pintu kamar terbuka: "Hei, mulai bekerja." Suara Jiang Linwei menggema.
Shu Yi mengikuti Jiang Linwei melewati gang menuju pusat data. Dengan suara lirih ia bertanya: "Petugas jaga malam di pusat data cukup banyak ya?" Ingatannya kembali pada malam penangkapan dirinya dulu, saat menyaksikan puluhan staf dan penjaga keamanan berjaga-jaga.
Jiang Linwei tersenyum: "Hm, tapi saat kita tiba, seluruh Lantai B akan gelap gulita. Mereka butuh minimal 15 menit untuk memulihkan sistem listrik. Untuk antisipasi, kita hanya punya 10 menit. Tugasku mengambil barang, sedangkan kau jadi 'pembasmi cahaya' - bunuh siapa pun yang menyalakan sumber cahaya!"
Shu Yi tersenyum kecut: "Kau memang profesional jadi maling!"
Jiang Linwei menjawab tenang: "Tepat sekali. Aku memang spesialis. Tak ada yang tak bisa kucuri, sekalipun teknologi canggih."
“Shu Yi memikirkan seseorang: ‘‘Bodhisattva bermata seribu’ Gu Hong adalah siapa bagimu?” Jiang Linwei terkekek: “Coba tebak?” Shu Yi menggeleng, Jiang Linwei berkata: “Dia muridku.” Shu Yi terkejut: ‘‘Bayangan Tak Berbentuk’?” Jiang Linwei mengangguk bangga.
Belok di sudut itu langsung pusat data, Jiang Linwei memperlambat langkah: “Persiapan, tiga, dua, satu!”
Lampu benar-benar padam semua, seluruh area terbenam dalam gelap gulita. Pusat data menjadi kacau balau.
“Sial, apa yang terjadi, cepat periksa jalurnya!”
“Aduh, data belum disimpan!”
“Penjaga, penjaga...”
Saat itu beberapa senter menyala, Jiang Linwei berbisik: “Ingat, mati saat kena cahaya! Katanya benda ini cocok untukmu!” Menyerahkan sebuah kantong kecil ke Shu Yi, lalu tubuhnya menghilang.
Shu Yi memasukkan tangan ke kantong, menemukan segenggam kacang kedelai goreng!
Shu Yi menggenggam kacang di tangan, dalam sekejap beberapa senter padam berurutan.
“Ada musuh!” teriak seseorang di pusat data, diikuti keributan lagi.
Lilin yang baru menyala langsung dipadamkan, cahaya terus muncul dan hilang bergantian.
Shu Yi terus berpindah posisi, dia harus memastikan tak ada cahaya yang bisa bertahan.
Tapi Jiang Linwei juga mendapat tekanan, sekitar server banyak penjaga yang tetap tenang. Dalam gelap, mereka bisa mendeteksi invasi Jiang Linwei.
Jiang Linwei beberapa kali berhasil melewati gangguan mereka, namun kesulitan besar muncul saat ingin sukses mengambil harddisk server. Ia menyadari jumlah penjaga terus bertambah, sementara waktu telah berlalu lima menit.
Jika mereka gagal dalam 15 menit, mustahil kabur dari Gunung Vajra. Baik jalur naik maupun turun dijaga ketat pasukan bersenjata. Tim penyelamat akan pergi setelah 15 menit terlepas dari apakah mereka bisa mencapai titik dukungan atau tidak.
Ada kepahitan di hati Jiang Linwei. Terpaksa ia berteriak: "Hoi! Cepat bantu!"
Shu Yi langsung mengenali suara Jiang Linwei. Dengan cepat ia menentukan posisinya, lalu melesat sambil menghantam siapa saja di jalurnya. Sepanjang perjalanan, tangan Shu Yi tak berhenti bekerja - setiap orang yang dilewatinya ambruk tak berdaya. Kali ini ia sama sekali tak menunjukkan belas kasihan.
Jeritan memilukan mengiringi langkah Shu Yi. Dari suara itu, Jiang Linwei tahu sang sekutu telah datang. "Cepat, bantu aku buka celah!" serunya gembira. Beberapa lampu darurat tiba-tiba menyala. Seperti harimau marah, Shu Yi menerjang penjaga keamanan di dekat server! Matanya mengunci target, lalu beberapa biji kedelai goreng melesat memadamkan lampu-lampu itu!
