"San Jie sepertinya juga panik. Terlihat jelas dia sangat takut pada Chen Dong ini. Dari cerita yang dia sampaikan padaku, seharusnya dia mencintai Chen Dong, bukan takut. Aku yakin lelaki ini memang bukan suami San Jie yang sebenarnya."
"San Jie diam seribu bahasa. Chen Dong mulai sadar kembali. Dia melangkah mendekat ke arah moncong senjataku: 'Kau polisi? Berani-beraninya mengacungkan senjata padaku? Dia istriku! Kau siapa? Lelaki hidung belang? Pacar gelapnya? Ayo! Tembak sini! Tembak dadaku!' Tangannya bergerak tak menentu, terkadang menunjuk kepala sendiri, terkadang menunjuk dada."
"Pintu bar yang sepi tiba-tiba sudah dikerumuni tujuh delapan orang tak dikenal. Kulihat dua di antaranya pasti datang bersama 'Chen Dong' ini. Tatapan mereka penuh permusuhan, bahkan beberapa sudah mengepal tangan."
"Tentu saja aku takkan sembarangan menembak. Tapi di saat seperti ini mustahil bagiku untuk menyimpan senjata. 'Chen Dong' ini sepertinya membaca pikiranku. Dengan wajah dingin, dia perlahan mendekat. Suaraku gemetar: 'B-Berdiri di tempat!' San Jie malah bersembunyi di belakangku. Tangannya mencengkeram erat bajuku, tubuhnya bergetar ketakutan."
"'Aku ingin lihat apa yang akan kau lakukan padaku!' Chen Dong mengulurkan tangan hendak menepuk senjata di genggamanku."
"Braak! Suara tembakan mengguncang. Aku nyaris menjatuhkan senjata. Kukira senjataku yang meleset."
Chen Dong menghentikan langkahnya. Peluru itu menghantam permukaan jalan di depannya. Saat itu aku melihat Guang Ren, tangannya menggenggam pistol, moncong senjata diayunkan lembut ke arah Chen Dong: "Mundur, atau ku patahkan kakimu!" ujar Guang Ren dengan tenang, kedua matanya menatap dingin ke Chen Dong: "Aku tahu kau tidak percaya, silakan coba!"
Hatiku dipenuhi sukacita: "Paman Guang!" Guang Ren menatapku sambil tersenyum: "Kau tidak apa-apa?" Kugelengkan kepala: "Tidak apa." Guang Ren mendekatiku lalu melirik San Jie: "Aku sudah telepon polisi!" San Jie mengangguk: "Terima kasih!"
Chen Dong kini sudah tidak lagi arogan. Ia melirik dua rekannya di kerumunan orang. Salah satunya menganggukkan kepala halus, memberi isyarat untuk pergi. Chen Dong berdehem: "Tang Shan, kau tunggu saja!" Begitu bicara langsung berbalik pergi. Guang Ren melangkah maju merangkul bahunya: "Buru-buru apa? Aku sudah telepon polisi. Bukannya kau merasa dizalimi? Tunggu polisi datang kau bisa mengadu."
Chen Dong bertanya: "Kalian ini siapa sebenarnya?" Guang Ren menatapnya: "Kau belum pantas tahu."
Dua rekan Chen Dong saling pandang, lalu keluar dari kerumunan menghadang Guang Ren. Yang lebih tua berkata: "Kalian ini siapa? Urusan suami istri orang kok bawa-bawa pisau dan senjata?" Guang Ren melototi mereka: "Kalian satu kelompok dengannya?" Keduanya menggeleng, tapi sengaja menghalangi tubuh mereka di depan Chen Dong. Chen Dong langsung kabur terbirit-birit.
Guang Ren juga tidak mengejar, hanya tersenyum tipis padaku. Aku tahu dia tidak benar-benar berniat menahan mereka, bahkan sama sekali tidak menelepon polisi. Bagaimanapun, perjalanan kami kali ini bukan benar-benar tugas resmi. Setidaknya sampai saat ini kami masih melakukan penyelidikan secara pribadi. Jika polisi benar-benar datang, tembakan ini akan sulit dijelaskan.
Chen Dong kabur, kedua rekannya juga melarikan diri saat Guang Ren tidak mengejar. Orang-orang yang menyaksikan keramaian pun akhirnya bubar tanpa jejak.
Akhirnya aku lega, berkata pada Guang Ren: "Paman Guang, untung Anda datang! Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana!" Guang Ren tersenyum: "Apa susahnya? Paling-paling kita tembak, aku yang akan membersihkan jejaknya." Aku tahu dia punya kemampuan itu, tapi saat ini pikiranku tertuju pada hal lain. Aku berkata pada Sanjie: "Sanjie, sudah aman. Mari kita lanjutkan!"
Sanjie memandang Guang Ren. Segera kukatakan: "Paman Guang adalah keluarga kami." Barulah Sanjie menjawab: "Baiklah, silakan masuk Tuan-tuan!"
Setelah mengunci pintu dan duduk kembali, Sanjie menghidangkan teh baru. Guang Ren ternyata tertarik pada patung Arhat yang dipajang di ruangan. Dia berdiri memandanginya lama, lalu berbisik: "Arhat Sukacita!" Sanjie tertegun sejenak, lalu berkata: "Tak kusangka Tuan Guang bisa mengenali Arhat ini."
Guang Ren tersenyum: "Aku pernah melihatnya di rumah seorang dermawan tua di Beijing. Katanya itu didapatkan dari Biksu Hui Ming dari Kuil Tanzhe. Tapi Biksu Hui Ming juga sudah menghilang bertahun-tahun lalu." Kakak Ketiga kaget: "Biksu Hui Ming?" Guang Ren mengangguk dan bertanya pelan: "Nona Tang juga mengenalnya?" Kakak Ketiga mengangguk halus: "Baru saja sedang berbicara dengan Tuan ini, dan kami juga akan membahas Biksu Hui Ming!"
Aku berkata: "Paman Guang, bagaimana jika aku jelaskan alasan sebenarnya padamu." Kemudian aku menceritakan urusan Kakak Ketiga sesingkat mungkin. Guang Ren mendengarkan sambil terus mengerutkan alis. Hingga aku menceritakan bagian dimana Kakak Ketiga keluar dari hotel, Guang Ren sama sekali tidak menyela.
"Kakak, bagian selanjutnya harus kamu yang ceritakan." Aku hanya mendengar sampai di sini. Bagian selanjutnya memang harus dijelaskan langsung oleh Kakak Ketiga. Kakak Ketiga mengangguk dan melanjutkan: "Saat keluar dari hotel, aku langsung terdiam. Meski di depan hotel hanya ada satu jalan, aku tidak tahu apakah Chen Dong pergi ke selatan atau utara. Akhirnya aku memutuskan untuk mengandalkan hoki, jadi aku memilih utara dulu karena selatan adalah arah asal kami!"
"Aku terus berjalan ke utara hingga keluar dari kota, tapi tak satu pun bayangan manusia terlihat. Hanya desingan angin yang menderu. Malam itu tanpa cahaya bulan, gelap gulita. Tak ada yang bisa kugunakan sebagai penerang. Semakin jauh aku berjalan, semakin takut aku rasakan. Akhirnya aku putus asa, menyerah. Bahkan keberanian untuk berbalik ke selatan dan mencari lagi pun tak kumiliki."
“Aku tak tahu bagaimana akhirnya bisa kembali ke hotel. Secara logika setelah kejadian seperti ini seharusnya aku segera pindah dari sana. Tapi aku tak rela, aku tak percaya seorang yang hidup-hidup bisa lenyap begitu saja. Saat kembali ke hotel, si bos ternyata belum tidur, terjebak di pintu masuk. Ketika melihatku pulang, dia seolah lega. Katanya dia mendengar suara kepergianku, sangat mengkhawatirkan keselamatanku, jadi terus menungguku.”
Kubicarakan dengan tenang: "Dia memang cukup perhatian!" Kakak Ketiga tidak berkomentar tentang hal ini: "Saat itu aku mengabaikannya, langsung masuk ke kamarku. Listrik sudah menyala. Melihat barang-barang peninggalan Chen Dong, hatiku sesak. Tiba-tiba aku menyesal, andai saja dulu tak nekat melihat Menara Gu Lou Lan, pasti kami sudah ke Phuket seperti rencana Chen Dong. Hal seperti ini takkan terjadi."
Guang Ren berkata: "Apa setelah itu kamu pernah bertemu Chen Dong lagi?"
Kakak Ketiga menatap Guang Ren: "Bagaimana kau tahu?" Guang Ren menghela napas: "Kamu bisa memastikan si brengsek tadi bukan Chen Dong, membuktikan kamu pernah bertemunya lagi. Dan tahu apa yang terjadi padanya. Karena ekspresi terkejutmu tadi menunjukkan Chen Dong ini pasti mirip sekali dengan calon suamimu itu, benar kan?"
"Kakak Ketiga mengangguk: 'Benar, itu malam kedua setelah Chen Dong hilang. Sepanjang hari itu aku mengurung diri di dalam rumah, tidak makan maupun minum. Bos dan pemilik wanita berkali-kali naik ke atas untuk menasihatiku, tapi aku tidak pernah membukakan pintu. Aku selalu berpikir mungkin satu menit berikutnya, Chen Dong akan kembali. Aku tidak berani menelepon rumah, tidak tahu harus menjelaskan urusan ini bagaimana pada mereka. Terlalu misterius, juga terlalu mengerikan.'"
"'Karena seharian kondisiku sangat buruk, pikiran selalu setengah sadar. Malam itu sekitar jam sepuluh lebih aku sudah tertidur. Tengah malam, kira-kira lewat jam dua, kudengar suara berisik di tengah halaman, seperti ada yang berjalan. Awalnya tidak kuhiraukan, tapi kemudian aku sampai bisa mendengar suara batuk kecil yang sangat mirip Chen Dong. Seketika semangatku bangkit, melompat turun dari tempat tidur dan membuka pintu - ternyata benar-benar Chen Dong!'"
"'Detak jantungku sampai ke kerongkongan. Aku berdiri di koridor lantai atas, memandangnya dalam keheningan tanpa berani bersuara. Takut kalau-kalau aku membuatnya kabur. Kulihat ia berjalan dalam lingkaran, mengitari halaman. Langkahnya sangat pelan, seolah setiap langkah terasa berat. Wajaknya pucat sekali, tanpa setetes darah, tatapan matanya juga terlihat hampa.'"
“Selama sekitar dua menit aku menatapnya, akhirnya tidak tahan lagi. Kuperhatikan suaraku sengaja kurendahkan, tapi pasti masih terdengar jelas. Namun tak ada reaksi sama sekali darinya. Aku melesat menuruni tangga. Saat turun tadi kulihat ia masih lesu mondar-mandir, tapi begitu melewati sudut tangga dan melanjutkan turun, ia tiba-tiba menghilang.”
“Aku tidak salah lihat! Sungguh, kulihat Chen Dong waktu itu! Aku sengaja terus mengawasinya karena takut ia kabur. Tapi sudut itu... dari sudut tangga kita tidak bisa melihat kondisi tengah halaman. Hanya beberapa detik, ia lenyap begitu saja!”
Guang Ren bertanya: “Kau tidak menelepon polisi? Suruh mereka menggeledah setiap sudut hotel.” Kakak Ketiga menjawab: “Sudah. Tak lama polisi datang. Mereka melakukan pencarian, tapi tidak menemukan jejak Chen Dong. Bahkan mereka bilang hotel itu sama sekali tidak ada masalah.”
Kutanyakan: “Apa kau ikut dalam pencarian?” Kakak Ketiga menggeleng: “Tidak. Seorang polwan menarikku untuk memberi kesaksian. Kenapa? Kau curiga pada polisi?” Kujawab: “Sudah bertahun-tahun kau di kota ini, mestinya kau tahu apakah polisi bermasalah atau tidak.”
Kakak Ketiga tersenyum kecut: “Polisinya baik-baik. Mereka antusias dan teliti.” Guang Ren menyahut: “Memang mungkin polisi tidak bermasalah. Yang bermasalah justru hotelnya. Mungkin ada bagian tersembunyi yang sulit ditemukan.”
Kakak Ketiga kembali berkata: "Setelah polisi pergi malam itu, bos hotel langsung menunjukkan ketidaksenangan. Dia bilang hotel ini sudah tidak mau menerimaku lagi, aku telah menyebabkan pengaruh sangat buruk bagi hotel, dan harus pindah keluar. Meski aku selalu merasa hilangnya Chen Dong ada hubungan besar dengan hotel ini, tapi mereka sudah terang-terangan mengusirku. Hubunganku dengan bos hotel juga sudah renggang, akhirnya terpaksa aku meninggalkan penginapan itu."
Dengan penasaran aku bertanya: "Tapi ini satu-satunya hotel di kota ini, setelah pergi kau mau tinggal di mana?"
