Zeng Fan keluar dari stasiun kereta api. Memandang kota asing yang dipenuhi kerumunan manusia seperti air, ia merasa bingung. Meski wanita paruh baya di kereta menawarkan niat baik untuk menginap di rumahnya, ia menolak. Walau masih anak sembilan tahun, ia memiliki pikiran kecilnya sendiri. Ayah pernah berkata: "Dunia luar penuh hati jahat. Siapa pun bisa menjadi serigala berbulu domba."
"Ini bukan kesalahan Zeng Zhigao. Setiap hari Zeng Zhigao harus bekerja di luar, berangkat pagi pulang malam. Ia harus membuat Zeng Fan mengerti betapa berbahayanya dunia ini. Jangan berniat jahat pada orang, tapi waspadalah selalu terhadap niat orang lain."
Setelah melewati begitu banyak cobaan, Zeng Fan jauh lebih matang dibandingkan anak-anak sebayanya. Tapi bagaimanapun ia masih seorang anak. Saat ini ia tak tahu harus pergi ke mana. "Ibu, di mana engkau?"
"Nak, kenapa kau sendirian di sini?" Seorang pria tua berusia enam puluhan mendekati Zeng Fan, bertanya pelan. Zeng Fan memandangnya. Pria tua ini terlihat ramah, tidak seperti penjahat. Matanya memancarkan kepedulian. Zeng Fan diam. Pria tua itu melirik sekeliling lalu bertanya: "Di mana orang tuamu?" Zeng Fan menggeleng. Pria tua itu menghela napas: "Kau pendatang, ya?"
Zeng Fan berbisik menjawab: "Kampung halamanku di Dongliao!" Pria tua itu tertegun sejenak: "Dongliao? Itu jauh sekali. Bisakah kau ceritakan pada kakek, untuk apa datang ke Kota Hu?" Akhirnya Zeng Fan menjawab: "Aku mencari ibuku." Di bawah interogasi pria tua itu, Zeng Fan pun menceritakan garis besar asal-usulnya. Hanya saja ia tidak menyebutkan peristiwa yang dialaminya bersama ayah. Ia tahu semua bahaya ini berawal dari peristiwa itu. Refleks ia menyembunyikannya, hanya mengatakan bahwa ayahnya telah meninggal, sehingga terpaksa datang ke Kota Hu mencari ibunya.
“Kalau gitu, kau tahu di mana ibumu?” tanya orang tua itu. Zeng Fan mana tahu. Orang tua itu berkata, “Ini jadi masalah. Kota Hu sangat luas, memang seperti mencari jarum di lautan. Apa kau masih punya kerabat lain?” Zeng Fan kembali menggelengkan kepala. Orang tua itu menanyai soal makan dan tempat tinggal, selain menggeleng, Zeng Fan sama sekali tak tahu apa-apa. Orang tua itu berkata, “Begini saja, ikut kakek yuk. Tinggal dan makan di rumah kakek dulu, kita atur barang-barang, baru kakek antar kau cari ibumu!”
Zeng Fan sudah tak punya pilihan lain, hanya bisa mengangguk.
Orang tua itu membawa Zeng Fan ke sebuah gedung tempat tinggal yang tak jauh dari stasiun. Rumahnya di lantai tiga. Saat pintu terbuka, orang tua itu berteriak, “Nenek, siapkan makanan!” Seorang wanita tua keluar dari kamar, bergumam, “Kan baru saja makan? Kok mau makan lagi?” Begitu melihat ada anak kecil di ruangan, ia tertegun sejenak. Orang tua itu tersenyum, “Ini buat si bocah ini!” Sang nenek menarik orang tua itu ke samping, “Dari mana asalnya anak ini?” Orang tua itu menjelaskan garis besar kejadiannya. Setelah mendengar, rongga mata sang nenek memerah, “Huh, nasibnya memang getir ya anak ini!”
Kemudian dia berkata kepada Zeng Fan: "Nak, kamu tunggu di sini, Nenek akan menghangatkan makanan untukmu!" Zeng Fan menjawab dengan sopan: "Terima kasih, Nenek!" Tak lama kemudian makanan dihidangkan. Zeng Fan yang memang lapar mulai menyantap dengan lahap. Sang nenek sambil menasihatinya untuk makan pelan-pelan bertanya: "Kamu tahu nama ibumu?" Zeng Fan menjawab: "Ibu saya bermarga Wen, namanya Wen Hui." Sang nenek berkata kepada suaminya: "Orang tua, nanti temani anak ini ke kantor polisi. Urusan ini harus meminta bantuan polisi."
Sang kakek mengangguk: "Hm!" Matanya tertuju pada kantong plastik hitam yang selalu digenggam erat Zeng Fan: "Xiao Fan, isi tas ini apa?" Zeng Fan berpikir sejenak: "Ini buku!" Sang kakek tersenyum licik: "Tak kusangka Xiao Fan rajin belajar. Besar nanti pasti jadi orang sukses." Zeng Fan ingin menjelaskan, tapi teringat begitu banyak korban jiwa termasuk ayahnya karena buku itu, ia pun menahan diri.
Sang kakek berkata: "Aku bermarga Zhang, panggil saja Kakek Zhang." Zeng Fan meletakkan mangkuknya yang sudah kosong. Dengan penuh hormat ia berkata: "Kakek Zhang, Nenek Zhang, terima kasih!" Sang nenek tersenyum bahagia: "Anak ini benar-benar dewasa sebelum waktunya!" Tangannya mengelus kepala Zeng Fan.
Tiba-tiba, pintu terbuka, seorang pria paruh baya sekitar 40 tahun masuk: "Ayah, beri aku uang!" Sesepuh Zhang mengerutkan alis, melototi pria itu: "Berjudi lagi?" Pria paruh baya baru menyadari ada anak kecil di dalam rumah, ia berkata: "Ini siapa?" Zeng Fan tidak berkata-kata, bersembunyi di belakang Sesepuh Zhang. Sesepuh Zhang berkata: "Yuning, kau sudah jadi ayah, bisakah hiduplah dengan tenang dan berhenti membuat masalah? Kalau begini terus, rumah tanggamu akan bubar. Xiaofen wanita baik, jangan buat dia kecewa. Lagi pula, takkan kau pikirkan nasib Xiao Jian?"
Pria paruh baya itu bernama Zhang Yuning, putra Sesepuh Zhang yang kecanduan judi. Meski sudah kepala empat, ia masih sering merepotkan keluarga. Mendengar nasihat ayahnya, pria itu menunjukkan wajah tidak sabar: "Banyak omongan! Beri uang!" Sesepuh Zhang mendengus dingin: "Tak ada!" Pandangan pria itu tertuju pada kantong plastik hitam di meja. Ia menyambar kantong itu. Zeng Fan berteriak kaget: "Kembalikan!" Sesepuh Zhang juga murka: "Kembalikan barang itu!"
Zhang Yuning melihat reaksi tegang mereka terhadap isi kantong plastik hitam, hatinya berdebar. Barangkali isinya berharga? Ia membuka kantong dan melirik - sebuah buku. Alisnya berkerut, para penjudi biasanya menghindari benda semacam ini. Tapi saat melihat aksara segel di sampulnya, ia tersadar ini mungkin kitab kuno yang bernilai tinggi. Ia tersenyum: "Tak ada uang? Baiklah, buku ini jadi milikku!" Tanpa menunggu respons, ia membanting pintu dan kabur.
Sesepuh Zhang wajahnya pucat karena marah, mengangkat kaki hendak mengejar. Tapi tiba-tiba penglihatannya gelap hingga akhirnya pingsan. Zeng Fan pun tak lagi memedulikan buku itu, ia segera merangkul Sesepuh Zhang: "Kakek Zhang, Kakek Zhang!" Sang istri tua juga buru-buru memapah suaminya ke sofa, dengan lembut mengulek dada sang kakek: "Orang tua, bangunlah!" Sesepuh Zhang perlahan membuka matanya, berkata pada Zeng Fan dengan penuh penyesalan: "Xiao Fan, maafkan aku!" Zeng Fan menggelengkan kepala, ia tahu ini bukan kesalahan Sesepuh Zhang, berbisik lembut: "Kakek, tidak apa-apa."
Zhang Yuning membawa buku itu ke sebuah rumah gadai di pusat kota: "Bos!" Sang bos datang, melihat Zhang Yuning tersenyum: "Yuning? Mau gadai apa lagi?" Zhang Yuning memang pelanggan tetap di sini, karena hampir semua barang berharga di rumahnya sudah digadaikan di tempat ini. Zhang Yuning menjawab: "Buku kuno!" Sang bos paham betul nilai pasar naskah kuno. Jika benar buku kuno dengan nilai koleksi, itu seperti menemukan harta karun.
Zhang Yuning menyerahkan buku itu kepada bos. Sang bos melihat sampulnya: "Buku ini, kau yakin ini asli kuno?" Zhang Yuning menjawab: "Tentu! Lihat tulisan cacing tanah di sampulnya!" Bos menyeringai. Zhang Yuning sampai menyebut tulisan segel sebagai tulisan cacing tanah, padahal ayahnya adalah ahli epigrafi ternama. Sebenarnya bos sudah melihat dari tekstur kertas bahwa benda ini mungkin berasal dari era Tang. Tapi saat membuka halamannya, ia terdiam sejenak - selain empat kata "Kitab Ramalan Langit" di sampul, isinya ternyata hanya kertas putih polos. Bos melemparkan buku ke konter: "Zhang Yuning, main apa ini? Ngibulin gue pakai kertas kosong?"
Zhang Yuning tak menyangka hasilnya begini. Ia mengangkat buku itu dan memeriksanya - benar, tak ada satu huruf pun. Wajahnya bermuka masam: "Bagaimana mungkin bisa seperti ini?" Pemilik pegadaian berkata: "Begini saja, 50 yuan. Anggap saja aku berbaik hati!" Meski tak ada isinya, sang bos punya rencana: dengan memalsukan isi dan membuatnya tampak usang, sampul ini bisa dijual mahal. Tepat saat itu, terdengar suara dari samping: "Aku tawar 5000 yuan!"
Zhang Yuning terdiam membeku, kemudian di lubuk hatinya tak bisa menahan senang. Dirinya yang awalnya sudah putus asa kini seperti disuntik adrenalin, bersemangat kembali. Ia menoleh ke arah sumber suara, seorang lelaki berusia empat puluh hingga lima puluh tahun sedang tersenyum menatapnya. Ia mengenal lelaki ini, dia adalah Mafan, pemilik toko lukisan kaligrafi di Jalan Selatan. Pemilik rumah gadai itu mendengar tawaran orang ini, berkata sambil tertawa: "Bos Ma, 5.000 yuan untuk membeli sampul buku, ini benar-benar investasi besar!" Mafan juga tersenyum: "Kau kan tahu, aku memang suka mengoleksi barang-barang yang berkesan misterius. Uang? Bagi kami bukankah hanya sekumpulan angka? Membeli kebahagiaan juga tidak buruk!"
Hubungan pemilik rumah gadai dengan Mafan sebenarnya cukup baik. Karena Mafan sudah menawar, ia otomatis tidak akan berkomentar lagi. Kepada Zhang Yuning ia berkata: "Yuning, cepat ucapkan terima kasih pada Bos Ma!" Awalnya Zhang Yuning melihat Mafan yang mengambil alih pembicaraan, masih ingin menaikkan harga sedikit. Setelah mendengar dialog antara pemilik rumah gadai dan Mafan, barulah ia sadar bahwa dirinya mendapat keuntungan besar. Zhang Yuning pun segera tersenyum penuh sanjungan: "Terima kasih Bos Ma!" Mafan mendengus pelan melalui hidung: "Hm, ikut aku ke toko untuk mengambil uangnya!"
Setelah Zhang Yuning pergi dengan membawa uang, Ma Fan baru memasuki ruang dalam sambil menyangga buku ini. Yang selalu mengikuti di belakang Ma Fan adalah adik laki-lakinya, Ma Bing. Dia memperhatikan kakaknya dengan hati-hati mengalas bagian bawah buku dengan selembar kain kuning, lalu bertanya pelan: "Kakak, benarkah ini Kitab Ramalan Langit yang legenda itu? Tapi mengapa isinya kosong?" Ma Fan menggelengkan kepala: "Aku juga tidak tahu. Aku hanya melihat di sampul memang tertulis 'Kitab Ramalan Langit'. Selain itu, dilihat dari brokat sampul dan kertasnya, ini seharusnya produk asli era Tang Song. Lagipula lima ribu yuan bagi kita bukan masalah, simpan saja untuk diteliti perlahan!"
Masuk malam, di sebuah rumah tua di pinggiran utara Kota Hu, seorang sosok berbaju hitam menepuk-nepuk pintu dengan lembut. Pintu terbuka, di baliknya berdiri pria tua bermata satu dengan rambut acak-acakan. Pipi kirinya cekung membentuk lubang, seolah tulang pipinya pernah dihancurkan. Pria tua itu memandangi sosok hitam dengan tatapan yang sangat dingin. Sosok hitam itu berbisik: "Aku punya informasi penting, harus bertemu pemimpin!" Sambil berkata, tangannya membuat gestur tertentu. Barulah pria tua itu mengizinkannya masuk.
Di tengah ruang utama juga duduk seorang sosok berbaju hitam, hanya saja wajahnya masih mengenakan topeng hitam. Sosok berbaju hitam yang baru masuk itu bergegas mendekati orang bertopeng dan berkata, "Pemimpin, pihak Tuan Xiao Lin telah memastikan bahwa bocah itu membawa buku ke Kota Hu. Selain itu, Tuan Xiao Lin mengalami kejadian aneh - ayah bocah itu yang seharusnya sudah ditembak mati, ternyata hidup kembali! Sekarang dia telah diterima oleh orang-orang dari Biro Penelitian Fenomena Non-Alam Tiongkok. Kabarnya dia dan seseorang bermarga Shu juga sudah tiba di Kota Hu, sedang mencari anak itu!"
