Lewat pukul empat pagi, di depan kamar pasien 612 lantai enam bagian rawat inap Rumah Sakit Umum Angkatan Darat, dua prajurit muda duduk di kursi sambil berbisik.
“Kapten, menurutmu orang seperti apa yang tinggal di dalam sini? Direktur rumah sakit sampai harus serius meminta kami menjaganya. Kau bisa tebak latar belakangnya?” prajurit yang lebih muda bertanya pelan. Sang kapten mengangkat bahu: "Aku juga tidak tahu. Tapi karena direktur memastikan kami harus menjamin keamanannya, mungkin statusnya memang istimewa. Jangan banyak tanya, lebih waspada. Jangan sampai terjadi kekacauan."
"Tenang saja, di wilayah kita mana mungkin ada masalah. Cuma Kapten, ini sudah lewat pukul empat. Perutku keroncongan. Bolehkah aku cari makanan?" prajurit muda itu tersenyum. Kapten refleks mengusap perutnya - ya, dia juga mulai lapar: "Pergilah, cepat kembali."
Tepat saat prajurit muda pergi, seorang pria berbaju jas hitam bertopi baseball menundukkan kepala keluar dari lift di lantai tujuh. Ia memasuki area perawatan, tapi tidak menuju kamar pasien. Di ujung koridor, langkahnya terhenti.
Matanya menatap plang bertuliskan "Gudang". Senyum tipis mengembang di wajahnya. Dengan kawat tipis, ia menyodok lubang kunci beberapa kali hingga pintu terbuka. Sesuatu dikeluarkan dari sakunya, tutup botol diputar dan dibuang. Segera setelah itu, ia menyelinap pergi menuju koridor darurat.
Ia melihat jam, tiga menit kemudian suara alarm berkumandang di area perawatan, merupakan peringatan kebakaran. Lantai tujuh sudah mulai dipenuhi asap hitam yang menyengat. Seketika seluruh lantai tujuh menjadi kacau, petugas medis jaga mulai mengatur evakuasi pasien. Seseorang melaporkan kabar ini kepada kepala departemen rumah sakit, lantai lain juga menerima pemberitahuan evakuasi.
Koridor darurat tiba-tiba ramai. Jas hitam itu entah kapan sudah berganti jas lab putih, terlihat persis seperti dokter. Ia cepat-cepat turun tangga, menembus kerumunan orang menuju kamar pasien di ujung lantai enam. Sang Kapten yang belum menunggu prajurit muda kembali, bersama seorang perawat sedang bersiap memindahkan pasien ke tempat aman.
Pasien tersebut adalah Ding Jingru yang baru dirawat hari ini. Mendengar kepanikan di luar ia bertanya: "Ada apa? Kok ribut sekali?" Perawat menjawab: "Katanya ada kebakaran di lantai atas, pihak rumah sakit meminta evakuasi semua pasien." Sang Kapten menghampiri Ding Jingru: "Tante, bagaimana kalau saya gendong Tante keluar?" Ding Jingru menggeleng: "Tidak perlu, saya bisa jalan sendiri."
Sambil berkata demikian ia turun dari tempat tidur dan cepat-cepat mengenakan baju: "Ayo pergi." Persis saat itu seorang dokter menerobos masuk, menarik tangan Kapten dan perawat: "Cepat! Pasien di kamar 602 kritis. Kalian bantu!" Perawat menyahut, sedangkan Sang Kapten tampak ragu - tugasnya adalah menjamin keamanan Ding Jingru.
Kapten mengerutkan alis: "Tapi di sini..." Belum selesai bicara, sang dokter sudah berteriak: "Nyawa di ujung tanduk, kau masih berdebat? Cepat pergi, ini perintah!" Kapten tentu paham, sebagian besar dokter di rumah sakit adalah tentara. Level pejabat sipil ini pun cukup tinggi, wajar disebut perintah. Ia tersenyum kecut menatap Ding Jingru. Dokter itu berkata: "Pergilah! Aku yang akan menjaganya, tidak akan ada masalah!"
Sang Kapten tahu tak bisa membantah, akhirnya mengikuti perawat menuju ruang 602 di ujung lain koridor.
Memandang punggung perawat dan Kapten yang menjauh, "dokter" itu berbisik: "Ikut aku!" Ding Jingru mengikuti dari belakangnya, sambil berkata tenang: "Sudah kuduga ini kamu. Api ini juga yang kau nyalakan?" "Dokter" itu membawa Ding Jingru ke koridor darurat. Memanfaatkan kepanikan orang-orang yang berlarian, ia mengambil sebungkus barang dari tempat sampah besar, menggandeng tangan Ding Jingru langsung turun ke lantai dua. Alih-alih keluar, mereka masuk ke kamar pasien kosong di lantai dua.
Sekitar dua menit kemudian, sepasang orang tua saling memapah turun perlahan. Tampaknya mereka sudah tujuh puluhan. Tanpa saling menopang, mungkin berjalan saja sulit. Sesampainya di halaman luar rumah sakit, mereka menengok ke gedung rawat inap yang mengeluarkan asap tebal. Wajah mereka penuh ketakutan bercampur sukacita, seolah baru lolos dari malapetaka.
Tapi saat itu tak ada yang memperhatikan pasangan senior ini, semua sibuk evakuasi dan memadamkan api.
Shu Yi baru menerima telepon Li Biquan setengah jam setelah kebakaran terjadi.
"Shu Yi, sungguh menyesal, kami juga tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini." Li Biquan menjelaskan garis besar kejadiannya, lalu memberitahu Shu Yi tentang hilangnya Ding Jingru. Dia berkata akan menghukum keras Kapten tersebut. Shu Yi menghela napas: "Lupakan, ini bukan salahnya. Level siapa di tempat kalian yang tidak lebih tinggi darinya? Biarkan saja seperti ini." Shu Yi langsung menutup telepon sebelum Li Biquan sempat berkata-kata.
Li Biquan gemetar marah, bahkan atasan pun tak pernah seenak itu memutus teleponnya. Tapi kini dia tak bisa meluapkan amarah. Dia paham betapa pentingnya Ding Jingru bagi kelompok Shu Yi. Setelah merenung, dia akhirnya mengerti - sikap kasar Shu Yi bukan masalah kesopanan, melainkan karena Shu Yi harus segera mencari cara mengatasi masalah ini.
Tebakannya tepat. Setelah memutus telepon, Shu Yi langsung menerobos masuk ke kamar Lü Yuan. Melihat wajah bermuram durja Shu Yi, Lü Yuan bertanya: "Tengah malam begini ngapain ribut?" Shu Yi menatapnya: "Orang yang kau tugaskan mengawasi rumah sakit mana?" Lü Yuan balik bertanya: "Kenapa? Jangan-jangan ada masalah di rumah sakit?" Shu Yi menjawab: "Ada kebakaran di bagian rawat inap! Ding Jingru hilang kontak!"
Lü Yuan terkejut: "Bagaimana mungkin begini? Bukannya Pak Senior Li sudah menepuk dada menjamin semuanya baik-baik saja?" Ia mengeluarkan telepon untuk menghubungi orang yang diatur di rumah sakit, memang langsung tersambung, tapi malah dua orang yang ditugaskannya itu ikut mengevakuasi pasien saat alarm kebakaran berbunyi! Lü Yuan marah sekali sampai mencaci di telepon: "Apa yang kalian lakukan? Kalian bukan petugas pemadam, kalian punya tugas sendiri, saat genting begitu tak terpikir itu mungkin konspirasi musuh?"
Shu Yi menarik lengannya: "Memaki mereka sekarang tidak ada gunanya, suruh secepatnya ambil rekaman CCTV rumah sakit, lihat apakah ada temuan. Selain itu, kita harus segera ke rumah Yang Mulia Yueyu!" Setelah mengatur beberapa hal, keduanya naik mobil.
"Di tempat Yang Mulia Yueyu juga sudah kusiapkan pengawas, seharusnya dia tidak pergi, kalau tidak pasti sudah memberi kabar." Lü Yuan merasa bersalah karena urusan rumah sakit, dia tidak ingin ada masalah lagi di sisi Yang Mulia Yueyu. Tapi Shu Yi berkata: "Belum tentu, orangmu mengawasi rumahnya, tapi bisakah kau jamin dia tidak mencoba menghindari pengawasmu? Misalnya lewat jendela, atau melalui unit lain!"
“Kak Lü, sebenarnya menurutku untuk kasus ini, kalian masuk ke jalur yang salah. Bagaimana ya, kamu dan timmu dalam batas tertentu tidak memberikan perhatian khusus yang cukup pada lawan kita. Kalian tidak bisa menyamakan mereka dengan pelaku kriminal biasa! Perlu diketahui bahwa beberapa dari mereka kemungkinan besar telah menjalani pelatihan mata-mata yang ketat dan memiliki kemampuan anti-intelijen yang sangat kuat! Kemampuan mereka dalam merencanakan dan melaksanakan kejadian juga sangat mumpuni.” Shu Yi berhenti bicara setelah beberapa kalimat. Gendang yang bagus tidak perlu dipukul keras – dia tahu Lü Yuan seharusnya sudah mengerti maksudnya.
Untungnya ini malam hari, kalau tidak Shu Yi pasti akan melihat wajah Lü Yuan yang sudah memerah padam.
“Maaf!” bisik Lü Yuan dengan suara pelan: “Aku sebelumnya tidak benar-benar menangani banyak kasus, jadi…”
Shu Yi tersenyum: “Kak Lü, kamu tidak perlu minta maaf padaku. Sebaliknya ini justru hal positif. Jika Wang Yueyu benar-benar tidak ada di rumah, maka semuanya akan menjadi jelas bagi kita. Bukankah sebelumnya kita sudah mengunci dua orang terakhir? Wang Yueyu dan Ding Jingru, sekarang kan sudah terbukti?”
Lü Yuan mengangguk: “Aku benar-benar tidak menyangka, Ding Jingru ternyata berpura-pura! Dia bahkan bisa menahan uji farmakologi dari tim ahli!” Shu Yi berkata dengan tenang: “Ini wajar. Pasti dia pernah menjalani latihan seperti itu. Kalau diganti kita, bukankah juga bisa bertahan?”
“Tapi jika Yang Mulia Yueyu sudah menghilang, pasti dia telah bertemu dengan Ding Jingru. Seandainya mereka benar-benar seperti yang kau katakan, telah melalui latihan ketat, maka mencari mereka akan sangat sulit.” Lü Yuan tampak mengkhawatirkan, namun Shu Yi tersenyum tipis: “Tidak apa, mereka tidak akan kabur!” Lü Yuan tidak tahu mengapa Shu Yi begitu punya rencana matang.
Mobil tiba di asrama grup teater musik. Keduanya segera sampai di depan rumah Yang Mulia Yueyu. Shu Yi mengetuk pintu, yang ternyata terbuka. Yueyu yang masih bermata berkaca-kaca, melihat Shu Yi dan Lü Yuan dengan raut tidak senang: “Ada apa?” Shu Yi berbisik: “Bolehkah kami masuk memeriksa?” Yueyu ragu sejenak, lalu mengangguk dan minggir: “Masuklah.”
Shu Yi dan Lü Yuan masuk ke dalam rumah. Tanpa menunggu ajakan Yueyu, Shu Yi langsung memeriksa sekeliling ruangan. Yueyu menyilangkan kedua tangan, mengawasi mereka dengan dingin. Lima menit kemudian, Shu Yi berkata pada Yueyu: “Maaf, mengganggu!”
Yueyu tidak berkata-kata. Setelah Shu Yi dan Lü Yuan keluar, dia menutup pintu dengan keras.
“Bukan dia!” kata Lü Yuan. Shu Yi mengangguk: “Memang bukan dia, dia tidak pernah keluar.” Lü Yuan melanjutkan: “Tapi urusan tertentu tidak harus dia lakukan sendiri, bukan? Pasti masih ada bawahannya.” Lü Yuan yakin kasus ini pasti ulah Yueyu - Yueyu menyembunyikan Ding Jingru, lalu mereka berdua mengamankan harta dan kabur dari Tiongkok.
Setelah masuk ke dalam mobil, Shu Yi tidak buru-buru menghidupkan mesin, malah menatap HP-nya dengan tatapan kosong.
"Sedang memikirkan apa?" tanya Lü Yuan. Shu Yi meliriknya: "Kita sedang menunggu telepon, jangan panik. Bukankah sudah kukatakan? Yang kutakutkan justru kalau mereka diam. Selama mereka bergerak, permainan kita praktis sudah berakhir. Bersabarlah, begitu telepon berbunyi, semua teka-teki akan terpecahkan."
Lü Yuan tersenyum: "Sehebat itu?" Tiba-tiba dia seperti tersadar, menuding Shu Yi dengan jarinya: "Oh, kau pasti menyimpan pasukan cadangan, ya? Jadi kau sama sekali tidak percaya padaku dan anak buahku?" Shu Yi tersenyum kecut: "Mana mungkin aku tidak percaya. Ini hanya langkah pengamanan tambahan." Lü Yuan menggaruk bagian belakang kepalanya: "Jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi?" Shu Yi berkata: "Aku hanya menyuruh Paman Guang mengawasi Ding Jingru. Begitu persembunyian mereka ketahuan, dia akan menghubungiku."
"Lalu buat apa kita repot-repot ke rumah Yang Mulia Yueyu?" tanya Lü Yuan. Shu Yi menjawab datar: "Sekadar memastikan spekulasiku!"
