Ucapan Che Rui tidak berlebihan. Ai Zixin memang wanita cantik berusia 36-37 tahun yang terlihat seperti awal tiga puluhan. Kulitnya putih mulus dan halus bak gadis remaja, seolah bisa dipantulkan oleh tiupan angin. Aura elegannya terpancar bahkan dari gerakan terkecil sekalipun yang memesona siapa pun yang melihat.
Hanya saja wajahnya tidak tersenyum, namun juga tidak terkesan dingin. Jika harus mencari kata untuk menggambarkannya, itu adalah ketenangan yang terpancar seolah acuh tak acuh terhadap segala hal.
Ia mengenakan setelan bisnis hitam dengan kemeja merah tembaga berenda di dalamnya, sepatu hak tinggi hitam, dan stoking hitam yang semakin mempertegas pesona femininnya di malam hari.
Masuk ke dalam rumah, tatapannya menyapu ruangan sebelum akhirnya berhenti di Shu Yi: "Pak Shu, salam kenal, saya Ai Zixin." Ia mengulurkan tangan seperti giok. Shu Yi menggenggamnya lembut sambil tersenyum: "Kami sudah lama menantikan kedatanganmu. Silakan duduk. Nanfang, bantu Nona Ai membawa bagasi ke kamar."
Alis Ai Zixin berkerut: "Saya tidak terbiasa dipanggil 'Nona'. Panggil saja nama saya. Selain itu, saya lebih suka mengatur barang-barang sendiri. Bagaimana kalau tunjukkan kamar saya dulu?" Yang Xiuyun yang mengawasi dari samping dalam hati mencibir: "Sok suci!" Sebenarnya ini wajar. Wanita sejak lahir sudah menjadi musuh bebuyutan - saling membandingkan dalam hati, berlomba menunjukkan kelebihan; yang cantik pamer kecantikan, yang berbakat pamer kemampuan, jika tak punya keduanya ya mengandalkan sifat berbudi.
Inilah mungkin alasan mengapa wanita cantik dan berkemampuan jarang memiliki sifat berbudi.
Zhen Nanfang mengantarkan Ai Zixin naik ke lantai atas. Xie Yi menjulurkan lidahnya: "Benar saja, wanita itu sulit diajak rukun."
Yang Xiuyun berkata dengan tenang: "Siapa yang menyuruhmu ke kantor? Ini hanya hubungan kerja semata, tak perlu pipi panas ditempelkan ke pantat dingin orang. Benar kan, Pak Shu?" Shu Yi tentu bisa menangkap bau mesiu dalam ucapan Yang Xiuyun. Ia tersenyum: "Sudahlah, kita semua bekerja untuk tugas. Lebih baik sedikit bicara."
Ai Zixin menaruh bagasi dan turun dari lantai atas: "Ada makanan apa? Dari pesawat langsung buru-buru ke sini." Shu Yi segera menyuruh Bu Wang menyiapkan makanan untuk Ai Zixin.
Pukul sebelas malam tepat, mereka berangkat.
Tak lama kemudian mereka tiba di rumah tua keluarga Su. Ai Zixin berdiri di luar sambil mengamati. Xie Yi berbisik: "Kak Ai, lihat sesuatu?" Ai Zixin menggeleng. Ia tak keberatan dengan panggilan "Kak Ai" dari Xie Yi, Zhen Nanfang, dan biksu muda, malah bersikap baik pada mereka.
"Belum terlihat. Tapi firasat pertamaku, tempat ini tidak seperti ada formasi ilusi." Ai Zixin berbisik.
Ia menatap Shu Yi: "Ayo masuk, aku ikut!" Shu Yi mengangguk lalu melihat ke arah biksu: "Jaga Nona Yang!" Yang Xiuyun tak senang. Mengapa khusus dirinya perlu dijaga? Ia mencibir, tapi tak berkata apa-apa.
Shu Yi dan Ai Zixin berjalan di depan. Zhen Nanfang dan Xie Yi di tengah. Biksu dengan Yang Xiuyun di belakang.
Masuk ke halaman, hawa dingin yang menggetarkan masih terasa. Shu Yi dan kawan-kawannya sudah terbiasa, karena beberapa malam terakhir mereka sering datang ke sini, setiap kali merasakan sensasi serupa.
Tapi bagi Ai Zixin dan Yang Xiuyun yang pertama kali datang di tengah malam seperti ini, tiupan angin licik langsung membuat mereka menggigil kedinginan.
"Pantas dijuluki Rumah Angker Nomor Satu Xiangjiang!" Ai Zixin berbisik.
Shu Yi meliriknya: "Kau juga percaya konsep hantu dan dewa?" Ai Zixin menjawab dengan tenang: "Sebenarnya banyak anggota Biro Penelitian Khusus kami yang percaya, karena mayoritas kasus yang kami selidiki memang tak bisa dijelaskan secara ilmiah."
Shu Yi tersenyum tanpa komentar. Terhadap konsep hantu-dewa, sikapnya kini berbeda: tidak mengambil sikap, boleh ada boleh tidak.
Memasuki rumah tua, gelap gulita menyambut. Mereka menyalakan senter. Ai Zixin melirik ke sekeliling lalu menengadah ke lantai atas: "Katanya pengalaman misi penyeberangan ratusan tahun itu terjadi di atas?" Pertanyaannya langsung, karena sudah mendengar laporan dari Che Rui sebelumnya.
Shu Yi membenarkan dengan "Hm". Ai Zixin berkata: "Ayo kita periksa atas."
Semua ingin ikut, Ai Zixin tak keberatan. Shu Yi dan Ai Zixin berjalan di depan, naik lebih dulu. Zhen Nanfang dan lainnya menyusul dari belakang.
Tapi saat mereka selesai menaiki tangga, tiba-tiba mereka menyadari tidak ada suara sama sekali di belakang. Padahal tadi mereka masih bisa mendengar keributan saat Zhen Nanfang dan yang lain naik ke atas. Rasa takut mulai menyelimuti hati Ai Zixin. Ia yakin ini pasti bukan ilusi. Hati Shu Yi juga merinding, refleks tangannya meraih tangan Ai Zixin. Ai Zixin awalnya tertegun sebentar, membiarkan tangannya tergenggam. Pipinya memerah meski ia tahu Shu Yi tak bermaksud apa-apa, hanya khawatir mereka berdua akan hilang secara misterius.
"Pak Shu, lihat!" Ia menatap ujung koridor. Di tempat itu secara mengejutkan ada cahaya.
Shu Yi melepaskan genggamannya. Kini ia sudah tersadar, menyadari gerakannya tadi terkesan ambigu. Ia tak memberikan penjelasan. Beberapa hal justru semakin gelap jika dipaksakan dijelaskan.
"Itu kamarnya. Waktu itu aku dan Nanfang juga pertama melihat lampu menyala di kamar itu. Kemungkinan kamar yang disebut Butsen Rinpoche juga itu. Menurutmu, apakah ini ilusi?"
Ai Zixin menggigit bibirnya. Ia yakin ini bukan ilusi. Tapi kalau bukan ilusi, lalu apa? Kenyataan? Bagaimana mungkin.
Ia diam. Kini keraguan mulai menggerogotinya. Mampukah ia benar-benar membedakan kenyataan dari ilusi?
Shu Yi tidak bertanya lagi, dengan lembut menarik lengan gadis itu: "Jangan dipikirkan, karena sudah datang, terimalah dengan tenang. Ayo, kita lihat." Keduanya berjalan menuju kamar tersebut, dari dalam kamar terdengar suara orang berbicara yang sangat familiar bagi Shu Yi, kemungkinan besar itu Yang Lei.
"Kakak perempuan, apa kamu baik-baik saja? Xiao Lei sangat merindukanmu. Aku juga tidak tahu apakah Kakak Su baik kepadamu. Di mana kalian sekarang?"
Shu Yi dengan lembut membuka pintu. Di dalam kamar benar-benar ada Yang Lei. Gadis itu terkejut sesaat, namun setelah mengenali Shu Yi, senyuman merekah di wajahnya: "Tuan Shu!" Matanya melirik ke belakang Shu Yi: "Xiao Zhen mana?" Shu Yi menggelengkan kepala: "Dia tidak ikut." Sambil berkata demikian, pandangannya beralih ke Ai Zixin yang terlihat agak pucat.
Ai Zixin kini sudah bisa memastikan ini pasti bukan ilusi, sosok di depannya pun mustahil bayangan. Seluruh percakapan antara Yang Lei dan Shu Yi bisa dia saksikan dengan jelas, bahkan Yang Lei masih ingat Zhen Nanfang.
Mendengar Zhen Nanfang tidak datang, raut kecewa tampak di wajah Yang Lei. Namun segera matanya tertuju pada Ai Zixin. Senyum polos mengembang di wajahnya: "Tuan Shu, ini pasti istrimu, ya? Cantik sekali!" Tanpa sungkan, dia langsung menarik lengan Ai Zixin dan mulai mengobrol dengan antusias, tentu saja sebagian besar topiknya seputar urusan wanita.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki di koridor: "Nona Kedua, Nona Kedua!" Shu Yi tahu pasti yang datang adalah Nyonya He. Nomor urut kemunculan orang-orang ini dia kuasai betul. Mengingat hal ini, wajah Shu Yi berubah pucat. Saat Zeng Zecheng menceritakan pengalamannya dulu, urutannya juga persis seperti ini. Benar, memang begitu. Di kamar ini pertama bertemu Yang Lei, lalu Nyonya He muncul. Hanya saja Zeng Zecheng segera pergi, sedangkan aku dan Zhen Nanfang justru bertemu kepala pelayan Yang Tong dan tokoh utama keluarga Yang, Yang Bin!
Mengapa tiga kali misi penyeberangan yang disebut-sebut ini memiliki kick-off yang sama? Apakah ini kebetulan belaka? Shu Yi seolah menangkap sesuatu, tapi untuk sesaat dia merasa tak bisa menjabarkannya.
Nyonya He masuk ke dalam, melihat Shu Yi, mulutnya terkagum: "Tuan Shu, Anda... mengapa Anda datang lagi?"
Shu Yi tersenyum kecut: "Aku juga tidak tahu kenapa bisa kembali ke sini. Ngomong-ngomong, apakah Tuan Yang ada? Aku ingin bertemu dengannya!" Meski wajah Nyonya He penuh kecurigaan—mengapa setiap kali Shu Yi datang selalu muncul pertama kali di kamar nona—dia tetap mengangguk: "Tuan Besar sedang di ruang studi sebelah!" Shu Yi melirik Ai Zixin, bermaksud mengajaknya menemui Yang Bin bersama. Tapi Yang Lei tiba-tiba menarik tangan gadis itu: "Kakak, obrolan lelaki itu pasti membosankan. Temani aku di sini sebentar, ya!"
"Jujur saja, di lubuk hati Ai Zixin ada rasa takut. Dia ingin pergi bersama Shu Yi, tapi dia juga tidak ingin membuat Yang Lei merasa tidak nyaman. Dalam lingkungan seperti ini, dia tahu segala sesuatu tidak bisa dilakukan semaunya. Dengan senyum tipis, dia berkata pada Shu Yi: "Kalau begitu kau pergilah, aku akan menunggu di sini menemani Nona Yang mengobrol. Nanti setelah kalian selesai bicara, panggil aku." Shu Yi mengangguk lalu menuju ke ruang studi Yang Bin.
"Tuan Shu?" Yang Bin terlihat sangat terkejut. Shu Yi tersenyum kecut: "Tuan Yang, maaf mengganggumu lagi!" Yang Bin menyilakan Shu Yi duduk, hendak menyerahkan cerutu. Teringat Shu Yi lebih menyukai rokok kertas, dia tersenyum: "Aku punya Three Five dan Camel baru dari Amerika. Mau coba?" Dia mengambil kotak rokok di meja, mengeluarkan sebatang Three Five dan memberikannya pada Shu Yi.
Shu Yi menerimanya, mengendus aroma asing yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Barang lebih dari seratus tahun yang lalu? Shu Yi menyalakan sebatang, memang harum dan nikmat: "Rokoknya bagus." Yang Bin tertawa: "Kalau Tuan Shu suka, satu kemasan ini silakan dibawa pulang. Aku justru sebaliknya, lebih suka cerutu!"
Setelah menyalakan rokok, Yang Bin baru berbisik pelan: "Tuan Shu, sekarang aku percaya kata-katamu."
Shu Yi mengerutkan alis, dia tidak tahu mengapa Yang Bin mengatakan hal ini. Yang Bin menghela napas: "Malam itu saat mengantarmu sampai ke pintu, kau tahu apa yang kulihat?" Shu Yi juga penasaran: "Apa yang kau lihat?" Yang Bin tersenyum kecut: "Seandainya kau tidak bilang kalian dari masa depan sebelumnya, pasti kupikir aku melihat hantu. Begitu kalian melangkah keluar pintu, langsung lenyap tanpa jejak. Tahukah kau, kepala pelayanku Yang Tong sampai gemetar ketakutan!"
Shu Yi tersenyum tanpa berkata. Tak pernah terbayang dirinya akan dianggap sebagai makhluk halus oleh orang lain.
"Tuan Shu, kalau benar kau dari masa depan, bisakah kutanya sesuatu?"
Shu Yi mengangguk. Yang Bin menghela napas: "Sebenarnya aku tahu, tak ada yang abadi di dunia ini, apalagi sebuah keluarga. Tapi ingin kutanyakan, bagaimana keadaan Keluarga Yang setelah ratusan tahun? Sebenarnya waktu itu juga ingin kutanyakan, tapi saat itu aku masih setengah percaya pada ucapanmu."
