Upacara penutupan telah berakhir. Che Rui dan Zhao Shuang baru saja kembali ke kediaman ketika Chen Yan terburu-buru datang ke kamar Che Rui.
Che Rui mengerutkan alisnya: "Urusan apa yang begitu mendesak?" Chen Yan menjawab: "Ini rekaman CCTV yang baru dikirim Mo Ku. Silakan tuan lihat."
Zhao Shuang menutup pintu rapat-rapat. Chen Yan mengeluarkan DVD saku dan memasukkan piringan tersebut.
"Mo Fei mengatakan ini adalah catatan pergerakan beberapa anggota delegasi yang mencurigakan, di mana dua orang tersangka utama. Waktu mereka dua kali meninggalkan hotel hampir bersamaan dengan saat kalian pergi bernegosiasi, waktu kembalinya juga kurang lebih sama. Dari rekaman CCTV eksternal hotel, mereka telah menemukan perusahaan taksi yang digunakan kedua orang tersebut saat pergi terpisah, serta tujuan kedua kali mereka pergi yang kebanyakan ke Bar, kafe, dan sejenisnya. Hanya saja mereka selalu masuk ke bilik VIP, sepertinya bertemu dengan seseorang, tapi tidak berhasil mengidentifikasi siapa yang mereka temui. Tapi menurutku kemungkinan besar situasinya mirip dengan kasus kalian yang diundang."
Zhao Shuang juga memverifikasi waktu ini. Che Rui berkata: "Kalau begitu mereka mengundang beberapa kelompok di lokasi berbeda secara bersamaan?"
Chen Yan mengangguk: "Saudara-saudara Mo juga berpikir demikian, makanya mereka mengirimkan rekaman ini untuk kita verifikasi."
Che Rui melanjutkan: "Tapi kita hanya diundang sekali. Dari dua kali mereka keluar, hanya satu yang cocok dengan jadwal kita. Kepergian kedua orang tersebut yang kedua kalinya justru terjadi tadi malam. Mengapa kita tidak menerima undangan pertemuan tadi malam?"
Di lubuk hati Che Rui sangat murung. Mengapa dirinya tidak mendapat undangan tadi malam? Mo Fei benar-benar menunjukkan celah sehingga dieliminasi oleh orang itu? Zhao Shuang tahu apa yang dipikirkan Che Rui. Ia bertanya: "Direktur Che, menurutmu apakah ada masalah di pihak kita?" Che Rui tidak berkata-kata. Ia mengingat-ingat apakah ada performanya yang tidak tepat sehingga memicu kewaspadaan lawan, tapi setelah lama berpikir tetap tidak menemukan jawaban yang jelas.
Saat itu juga, telepon Zhao Shuang berdering, wajahnya menunjukkan ekspresi bersemangat: "Direktur Che, sepertinya mereka!" Baru sekarang Che Rui merasa lega, ia memberi isyarat pada Zhao Shuang untuk menerima telepon.
"Bpk Huang Ziqin?" Suara wanita manis terdengar dari telepon. Zhao Shuang menyahut: "Saya Huang Ziqin, ada yang bisa saya bantu?" Wanita itu menjawab: "Saya dari Biro Wisata Xiangjiang. Anda dan Bpk An Bo telah memesan tur kapal mewah keliling pulau yang akan berangkat jam 7 malam ini. Jangan sampai terlambat. Pukul 6:30 sore, pemandu wisata akan menjemput Anda di Dermaga Ratu."
Tanpa menunggu jawaban Zhao Shuang, wanita itu sudah menutup telepon dengan sopan.
"Lao Zhao, kondisi seperti apa ini?" Che Rui bertanya pelan.
Zhao Shuang tersenyum: "Ada yang memesan tur kapal mewah ke Pulau Xiang untuk kita, naik jam 7 malam ini. Mau ikut?" Che Rui juga tersenyum: "Tentu! Kenapa tidak? Kalau ada yang mau bayarin, masa kita menolak?" Chen Yan tampak khawatir: "Direktur Che, kalian harus berhati-hati. Kalau sampai terjadi sesuatu di tengah laut, siapa yang bisa menolong nanti!"
Che Rui berkata: "Kamu benar. Kita harus persiapkan semuanya. Begini saja, suruh Tim Aksi Satu mencari cara untuk menyusup ke kapal lebih dulu." Chen Yan mengangguk: "Baik, segera saya atur."
Che Rui menelepon Shu Yi untuk melaporkan perkembangan ini. Shu Yi juga menekankan pentingnya persiapan matang - takut ada kejadian tak terduga. Jika identitas Che Rui dan timnya sudah terbongkar, maka undangan ke laut ini 90% adalah jebakan untuk menyingkirkan mereka.
Karena Zhen Nanfang sudah mulai bergerak, ini seperti mengagetkan rumput. Meski bisa membuat lawan merasa tertekan, tapi juga akan membuat mereka lebih berhati-hati.
Shu Yi segera menyuruh Yang Xiuyun menyelidiki tur kapal mewah keliling pulau yang disebut-sebut ini. Benar saja ada kapal pesiar ini. Yang Xiuyun memberi tahu Shu Yi bahwa dia sendiri juga membeli tiket, dan menyuruh Shu Yi tenang, nanti akan bertindak sesuai situasi untuk memberikan bantuan tambahan kepada Che Rui dan timnya.
Masih bisa membeli tiket membuktikan bahwa orang itu tidak menyewa seluruh kapal. Ini hal positif. Shu Yi merasa kemungkinan mereka ingin menyingkirkan Che Rui dkk tidak besar, lebih ke ingin bernegosiasi tentang transfer teknologi.
Dia melaporkan hal ini kembali ke Che Rui. Dengan bisa membeli tiket, anggota Che Rui akan lebih mudah naik ke kapal.
Lebih pukul enam, Zhao Shuang dan Che Rui sudah tiba di Dermaga Ratu. Benar ada pemandu wisata menunggu di sana. Setelah konfirmasi identitas, pemandu langsung membawa mereka naik kapal. Tentu bukan hanya mereka berdua, ada sekitar belasan hingga dua puluh wisatawan. Di antara penumpang ini, Che Rui juga melihat dua anggota Tim Aksi Satu mereka, termasuk Yang Xiuyun.
Zhao Shuang berbisik: "Xiao Ke melaporkan personel sudah siap, kita tenang saja." Ketua Tim Aksi Satu bernama Xiao Ke. Baru saja melalui gerakan yang terlihat tidak disengaja, dia menyampaikan pesan ini ke Zhao Shuang.
Che Rui tidak berkata-kata. Matanya menatap seorang pria paruh baya berkemeja hitam yang berdiri di dek kapal tidak jauh dari mereka.
Zhao Shuang juga melihat ke arah itu. Pria paruh baya itu terlihat familiar. Benar, dialah orang yang berdiri di belakang pemuda yang bernegosiasi dengan mereka malam itu.
“Pria paruh baya itu sepertinya juga melihat mereka, wajahnya menunjukkan senyuman. Che Rui mengangguk sekadar memberi salam.”
Pria paruh baya itu tidak mendatangi mereka. Che Rui dan Zhao Shuang juga tidak mengambil inisiatif mendekat, melainkan lebih dulu mengikuti pemandu wisata. Malam ini mereka akan menginap di kapal pesiar, jadi pemandu akan mengalokasikan kabin kapal. Che Rui dan Zhao Shuang datang bersama, secara logika seharusnya ditempatkan dalam satu kamar yang sama. Namun tepat setelah keduanya justru ditempatkan di dua kabin yang berdekatan. Setiap kabin dihuni dua orang. Che Rui dan Zhao Shuang masing-masing harus berbagi kamar dengan lelaki asing.
Zhao Shuang menjelaskan kondisi ini kepada Nona pemandu wisata, tapi sang Nona menolak melakukan penyesuaian dengan alasan sudah diatur sebelumnya. Che Rui menyuruh Zhao Shuang berhenti membuat sang pemandu wisata serba salah. Sebenarnya Che Rui sama sekali tidak mempermasalahkan, hanya merasa ada sesuatu yang misterius. Mereka justru lebih ingin melihat apa sebenarnya yang mau dilakukan orang itu.
Yang satu kamar dengan Che Rui adalah seorang pemuda kulit hitam. Di Xiangjiang yang merupakan metropolitan internasional, kedatangan orang dari berbagai negara memang bukan hal aneh.
“Halo, namaku Tom!” Pria kulit hitam itu tersenyum mengulurkan tangan ke Che Rui. Mungkin karena warna kulitnya yang gelap, gigi putihnya terlihat sangat mencolok saat tersenyum: “Aku dari Mississippi, tempat yang sangat indah.” Che Rui tentu bukan orang yang tidak mengerti permainan pergaulan. Ia menjabat tangan si kulit hitam: “An Bo, dari Singapura!”
Kulit hitam meletakkan tasnya di tempat tidur sendiri, mengeluarkan sebungkus rokok. Merek rokok itu belum pernah dilihat Che Rui sebelumnya. Ia menyerahkan sebatang rokok kepada Che Rui yang menggelengkan tangan: "Aku lebih suka rokok Tiongkok, tidak terlalu keras."
Kulit hitam tersenyum lagi: "Bahasa Inggrismu bagus. Sebenarnya aku juga bisa Bahasa Tiongkok. Aku tahu di Singapura Bahasa Tiongkok juga dominan, Bahasa Inggris justru di peringkat kedua."
Che Rui mengeluarkan rokoknya sendiri dan menyalakan sebatang: "Sebenarnya ada satu bahasa lagi yang cukup populer di Singapura, Bahasa Indonesia." Kulit hitam tertegun sejenak lalu mengangguk: "Mungkin, tapi aku tidak terlalu paham."
Setelah mengobrol sebentar, Che Rui baru tahu kulit hitam ini ternyata mantan pelajar yang sudah lulus. Tidak lama lagi akan pulang ke Amerika Serikat, karena itu ia memutuskan untuk menjelajahi Xiangjiang sampai puas, kemudian berkeliling Tiongkok sebelum pulang. Menurutnya, akan sangat disayangkan jika datang ke Timur tapi tidak mengelilingi Tiongkok.
Tentu saja Che Rui tidak sepenuhnya percaya. Seperti kata peribahasa "bicara tiga poin saja saat bertemu orang, jangan buka semua isi hati", apalagi dalam kondisi khusus seperti ini. Namun Che Rui tetap menghadapi dengan hati-hati, terutama ketika membahas Singapura dan identitasnya. Harus menjaga keseimbangan antara tidak menghindar terlalu kentara dan tidak bicara berlebihan.
Di kamar lain, Zhao Shuang juga menghadapi situasi serupa. Hanya saja yang satu kamar dengannya adalah orang Jepang. Orang Jepang ini tidak banyak bicara seperti Tom, tapi sesekali tetap mengajaknya ngobrol.
Yang Xiuyun justru berbagi kamar dengan seorang turis wanita dari daratan Tiongkok. Turis ini sepertinya pertama kali datang ke Xiangjiang, segala sesuatu tampak menarik baginya. Dia terus bertanya macam-macam pada Yang Xiuyun. Ketika tahu Yang Xiuyun ternyata bekerja di Xiangjiang, matanya berbinar-binar penuh kekaguman. Seolah di matanya, Xiangjiang adalah surga. Bisa bekerja dan tinggal di sini adalah impian yang layak diperjuangkan.
"Nona Yang, kerja apa di Xiangjiang?" Turis itu bertanya dengan penasaran.
Yang Xiuyun tersenyum: "Di kantor redaksi."
"Jangan-jangan paparazi legendaris itu?" Si turis berkomentar berlebihan. Alis Yang Xiuyun berkerut. Jujur saja, mengobrol dengan orang berkualitas rendah seperti ini sungguh tidak menyenangkan. Yang Xiuyun memilih diam. Turis itu sepertinya sadar telah bicara ngawur, menjulurkan lidahnya: "Maaf, aku memang tidak pandai berbicara."
Yang Xiuyun keluar dari kabin kapal menuju dek.
Memandang daratan dari atas kapal, cahaya malam Xiangjiang memancar memesona. Yang Xiuyun menghela napas pelan. Sudah bertahun-tahun di sini, belum pernah ia benar-benar menikmati pesona kota ini.
Seorang pemuda mendekatinya seolah tak sengaja: "Sungguh indah!" Yang Xiuyun tidak menoleh. Orang asal nyapa tanpa latar belakang jelas selalu membuatnya jengah. Lagipula dia sadar diri, pasti pujian "indah" itu tertuju pada pemandangan malam Xiangjiang yang sedang mereka nikmati, bukan pada dirinya.
"Nona, bisa tolong ambilkan foto untuk saya?" Pemuda itu melihat Yang Xiuyun mengabaikannya, sekali lagi membuka pembicaraan. Hanya saja kini di tangannya ada kamera DSLR. Yang Xiuyun menerima kamera tersebut, mengambil dua foto untuknya, lalu mengembalikan alat itu. Dari awal sampai akhir, Yang Xiuyun sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun. Bagi playboy seperti itu, tindakan menekan shutter dua kali sudah merupakan kebaikan yang luar biasa dari Yang Xiuyun.
Pemuda itu mengucapkan terima kasih lalu pergi.
Saat itu, Yang Xiuyun melihat Che Rui juga telah sampai di dek. Ia tidak mengambil inisiatif untuk menyapa Che Rui. Che Rui pun berpura-pura tidak melihatnya. Sebenarnya mereka memang belum pernah bertemu sebelumnya. Shu Yi lah yang saling memperlihatkan foto masing-masing. Shu Yi memberitahu Che Rui bahwa Yang Xiuyun sudah naik ke kapal dan akan bekerja sama dengan mereka.
Shu Yi melirik jamnya: "Saat ini mereka sudah berada di kapal."
Ai Zixin berkata dengan tenang: "Semoga malam ini mereka bisa mengirim kabar baik." Zhen Nanfang menghela napas: "Menurutku ini riskan. Begitu kapal sampai di laut lepas, banyak hal yang tak bisa dikontrol. Jangan-jangan mereka melakukan blokir sinyal nirkabel, sampai-sampai informasi pun tidak bisa dikirim keluar." Ai Zixin menjawab: "Kurasa tidak akan ada masalah. Meski Tim Aksi Satu hanya beranggotakan empat orang, tapi semuanya adalah elit. Bahkan ada ahli radio di antara mereka. Mengirimkan informasi keluar bukanlah hal sulit."
"Selain itu, Direktur Che dan Kepala Biro Zhao juga termasuk elit di antara para elit. Pasti mereka akan baik-baik saja."
Shu Yi mengangguk. Ia tahu kemampuan Biro Penelitian Khusus memang pantas diperhitungkan. Tidak ada satu pun departemen misterius Tiongkok yang bisa diremehkan. Semuanya merupakan hasil seleksi ketat dari para elit terbaik.
