“Preman, kamu ngapain sih?” Ji Yanran bertanya sambil tersenyum.
“Gak ada. Cuma bikin dia kedepannya setiap lihat game Tangan Tuhan langsung mual. Berani mengincar pacarku, harus bayar harga.” Han Sen berkata sambil memicingkan mata dengan nada asam.
Ji Yanran diam dengan wajah memerah, dalam hati merasa manis. Sikap Han Sen yang cemburu tetap disukainya.
Lu Botao merasa girang bukan main. Tahun lalu saat menonton video pengumuman berbagai tim sekolah di Tangan Tuhan, ia sangat terpukau dengan peserta wanita dari Akademi Militer Black Eagle, Ji Yanran ini.
Sayangnya Black Eagle sama sekali tidak bisa melangkah hingga ke hadapan Akademi Militer Pusat, bahkan 8 besar pun tidak masuk, sama sekali tidak mendapat kesempatan bertemu Ji Yanran.
Setelah melakukan penyelidikan dari berbagai pihak, Lu Botao baru mengetahui ID Ji Yanran di platform pertarungan jaringan pengawasan. Tapi setelah masuk untuk menambahkan teman, baru ditemukan bahwa pihak lawan mengatur setelan tidak menerima permintaan pertemanan, hal ini membuat Lu Botao frustasi cukup lama.
Awalnya Lu Botao hampir melupakan persoalan ini, tidak menyangka hari ini ternyata secara acak tercocokkan dengan Ji Yanran.
Pada permulaannya dia belum mengawasi bahwa lawannya adalah Ji Yanran. Setelah bermain satu ronde, merasakan keterampilan lawan cukup bagus, lalu melirik ID pihak lawan lebih dalam, ternyata ada rasa familiar. Setelah dipikir lebih mendalam, ditemukan bahwa ini adalah ID Ji Yanran, langsung berseri-seri tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
Menahan kebahagiaan di hati, memenangkan beberapa ronde lagi melawan Ji Yanran, menunjukkan kekuatan superiornya, barulah mengirim pesan menanyakan apakah pihak lawan adalah Ji Yanran.
Mengetahui lawannya benar-benar Ji Yanran, Lu Botao semakin berseri-seri penuh sukacita. Ia mengerahkan semangat dua belas kali lipat, mempersiapkan diri untuk menunjukkan keahliannya di hadapan Ji Yanran. Siapa tahu ini kesempatan emas untuk 'memeluk sang dewi pulang'.
"Botao, ngapain kamu tertawa konyol sendirian di situ?" Liang Yiming, teman sekamar sekaligus rekan satu tim, menatap Lu Botao yang sedang asyik tertawa sendiri dengan wajah penuh kebingungan.
"Yiming, coba tebak siapa yang kutemui di platform pertarungan?" seru Lu Botao dengan semangat berapi-api.
"Siapa? Jangan-jangan monster dari kampus kita itu?" jawab Liang Yiming sambil lalu.
"Ngapain aku senang ketemu monster? Lebih baik nangis bombay!" Lu Botao terkekeh pendek. "Aku ketemu Ji Yanran dari tim Akademi Militer Black Eagle!"
"Siapa? Akademi Black Eagle punya jagoan?" Liang Yiming mengerutkan kening penuh tanda tanya.
“Apaan sih, maksudku anggota wanita cantik dari Akademi Militer Black Eagle itu, di film pengumuman Liga Akademi Militer tahun lalu, yang dari Black Eagle...” Lu Botao mengeluh.
“Oh ingat, kamu maksud si cantik itu ya? Dia kan setel pengaturan tidak menerima permintaan pertemanan. Waktu itu kamu sampai berkeringat dingin tapi tetap gagal menambahkannya, kan? Kok sekarang bisa?” Liang Yiming bertanya heran.
“Haha, aku kebetulan matchmaking acak di platform pertarungan. Menurutmu ini bukan takdir? Di platform yang jutaan pemain, kok bisa ketemu dia. Ini pasti takdir dari langit!” Lu Botao berkata dengan bangga.
“Beneran nih? Bisa segitu kebetulannya?” Liang Yiming mendekat dan berdiri di belakang Lu Botao sambil menatap gambar holografik pertarungan.
“Bener dong! Dia sendiri yang mengakui. Bahkan bilang kalau aku menang, dia mau jadi temanku.” Air liur Lu Botao hampir menetes.
"Anak itu beruntung. Bukankah ini sudah hampir pasti menang?" Tahun lalu Liang Yiming dan kawan-kawannya sengaja menonton pertandingan Ji Yanran. Kemampuannya cukup lumayan, tapi dibandingkan dengan Central Military Academy masih jauh ketinggalan, bahkan tak selevel pemain pengganti.
"Siapa yang bilang tidak? Pertandingan sudah dimulai. Aku akan mengalahkannya dulu." Saat Lu Botao berkata demikian, hitungan mundur telah berakhir dan pertandingan resmi dimulai.
Untuk menunjukkan kekuatan superior dan sikap pria terhormatnya, Lu Botao tidak berniat merebut titik-titik cahaya di area Ji Yanran. Dia hanya berencana menghantam 100 titik cahaya di area sendiri dengan kecepatan maksimal untuk mengakhiri pertandingan secara sempurna.
Namun baru saja pertandingan dimulai, Lu Botao sudah melihat telapak tangan lawannya ternyata meraih ke area dirinya, jelas-jelas ingin merebut point darinya.
"Haha, Wanita cantik ini agak aneh. Ternyata ingin merebut point dariku." Lu Botao tak bisa menahan senyum sambil berkata.
“Siapa yang bisa menolak kalau dia wanita cantik? Jangan terlalu kejam, tunjukkan sikap pria terhormat. Biarkan dia merebut beberapa point.” Liang Yiming juga tersenyum.
“Tenang, menghargai keindahan itu aku paham.” Lu Botao menggerakkan jarinya menuju sebuah titik cahaya.
Namun ketika hampir menyentuh titik cahaya, tiba-tiba sebuah jari lain menghantam titik tersebut hingga hancur berkeping-keping. Penghitung skor lawan langsung bertambah satu poin.
“Wah, sudah mulai mengalah sejak awal?” Liang Yiming mengira Lu Botao sengaja memberi kesempatan.
“Menghargai keindahan, kan.” Namun Lu Botao tersenyum dipaksakan. Sebenarnya dia tidak berniat mengalah di awal pertandingan, baru akan memberi kesempatan di akhir nanti.
“Tidak boleh lengah lagi.” Lu Botao masih mengira dirinya terlalu ceroboh, lalu kembali menargetkan titik cahaya lain.
Tapi sebelum jarinya menyentuh titik itu, dengan selisih tipis, jari lawan lagi-lagi menghancurkan titik cahaya tersebut.
Alis mata Lu Botao berkedut, dia kembali menunjuk ke titik cahaya lain. Tapi tujuh delapan titik cahaya berturut-turut, lawannya ternyata selalu lebih cepat sedetik darinya, membuatnya tak mendapat satu poin pun.
"Taozi, kamu terlalu banyak mengalah. Kemampuan si cantik ini lumayan, hati-hati nanti perahu terbalik!" Liang Yiming masih mengira Lu Botao sengaja mengalah.
Tapi Lu Botao sekarang sudah tidak ada mood untuk bercanda dengan Liang Yiming lagi. Seluruh konsentrasinya tertuju pada game, keringat mulai mengucur di dahinya.
Sama sekali tidak ada niat mengalah! Tapi setiap kali gagal menyentuh titik cahaya, selalu didahului lawan.
Tak lama kemudian, Liang Yiming yang berdiri di samping mulai menyadari keanehan. Urat-urat di tangan Lu Botao menonjol, jarinya sudah bergerak sampai batas maksimal, tapi tetap gagal menyentuh satu titik cahaya pun. Penghitung skornya masih nol besar.
Sementara telapak tangan lawan bergerak cepat ke kiri-kanan memukul titik-titik cahaya, selalu bisa mendahului selangkah. Skornya melonjak drastis.
Liang Yiming yang awalnya hanya menonton perlahan membuka mulutnya lebar-lebar. Kemampuan Lu Botao sangat jelas baginya. Meski termasuk yang relatif lemah di antara pasukan inti Akademi Militer Pusat, jika ditempatkan di tim sekolah akademi militer lain, dia bisa dianggap sebagai peserta kartu truf.
Namun kini, Lu Botao ternyata belum mendapat satu poin pun, sepenuhnya diredam oleh lawan. Hal ini adalah persoalan yang sulit dipercaya.
Bahkan Liang Yiming sendiri yang merupakan peserta nomor dua tim sekolah, tidak berani mengklaim bisa meredam Lu Botao seperti ini. Sekuat apapun, pasti akan membiarkan Lu Botao mendapatkan beberapa poin. Mustahil menekannya hingga nol poin, kecuali kesenjangan kemampuan mereka bagai langit dan bumi. Fondasi utama mustahil munculnya dominasi seperti ini.
Tapi justru dominasi seperti ini kini muncul. Dalam pertandingan sistem persentase, lawan telah menggempur 70-80 poin, sementara penghitung skor Lu Botao masih tetap nol.
Saat ini, tubuh Lu Botao sudah basah oleh keringat dingin, gerakannya mulai menjadi kaku. Ini adalah konsekuensi buruk yang timbul akibat tekanan psikologis yang berlebihan.
Tangan lawan itu di mata Lu Botao saat ini bagaikan cakar Iblis dari Abyss.
