Setelah ujian semester berakhir, Han Sen bersama Lao Shi dan kawan-kawannya, termasuk Ji Yanran dan Qu Lili, merayakannya bersama di kantin.
“Lao San, kamu bilang sama-sama manusia, kok perbedaan jadi orang bisa segini jauh? Aku Lao Shi rajin kerja, nggak pacaran nggak hura-hura, tiap hari ngotot latihan di jurusan panahan, mati-matian cuma dapet A. Kamu tiap hari nyia-nyiakan waktu mainin armor tempur, ngejodohin si cantik Ji Yanran, kok bisa dapat peringkat S? Ini namanya keadilan dimana?” Lao Shi berteriak minta Han Sen dihukum.
“Gak usah sok suci, frekuensi kamu ke Klub Heavy Armor juga nggak kalah sama Lao San.” Han Sen belum sempat bicara, Lü Meng sudah membuka borok Lao Shi.
“Lao Er, kamu tim sebelah mana sih?” Lao Shi melototi Lü Meng dengan tatapan penuh kebencian.
“Yang pasti bukan di pihakmu.” Lü Meng tersenyum kecut.
……
Habis makan, mereka lanjut karaoke dan main game sampai larut. Han Sen memberikan kode mata ke Lao Shi untuk mengulur Qu Lili, sementara dia sendiri dengan tenang mengantar Ji Yanran pulang.
“Kamu ikut naik ke atas buat apa?” Sampai di bawah asrama, Han Sen mengikuti Ji Yanran naik ke lantai. Ji Yanran membelalakkan mata padanya dengan geram.
“Naik untuk menghangatkan tempat tidurmu.” Han Sen berkata sambil tersenyum lebar.
“Siapa suruh kamu menghangatkan tempat tidur!” Wajah kecil Ji Yanran memerah, pura-pura melototi Han Sen dengan ekspresi galak.
“Nona cantik, kenapa lupa? Beberapa hari lalu kamu baru merekrutku. Aku orang yang beretika profesi, tentu harus berusaha melayanimu. Menghangatkan tempat tidur itu kewajiban.” Han Sen berkedip-kedip sambil berkata.
“Preman! Cepat pergi! Kalau sampai dilihat pengurus asrama atau teman sekelas lain, aku takkan mengampunimu!” Ji Yanran menggigit bibirnya yang sudah merah padam.
“Kalau mereka tidak melihat, berarti aku boleh naik?” Han Sen bertanya dengan sikap tenang.
“Bagaimana mungkin tidak kelihatan? Lebih baik kamu cepat pulang!” Ji Yanran mencibirkan bibirnya.
Han Sen justru tidak bergerak, berjalan ke tepi dinding di posisi tanpa pantauan, memanggil roh binatang suci kadal kameleon kecil. Seketika warna tubuhnya berubah, melebur jadi satu dengan lingkungan sekitarnya.
Ji Yanran membelalakkan matanya menyaksikan Han Sen menghilang di hadapannya, mulut kecilnya yang seperti ceri tak bisa menutup karena terkejut. Padahal dia berdiri begitu dekat, tapi ternyata sama sekali tidak melihat Han Sen.
Hanya setelah Ji Yanran mendekat dan meraba dengan tangannya, barulah dia memastikan Han Sen masih berdiri tepat di hadapannya.
"Roh binatang apa ini?" tanya Ji Yanran penuh keheranan.
"Kadal kameleon kecil. Sekarang aku boleh naik kan?" Han Sen tersenyum lebar sambil bertanya.
"Jauh-jauh dariku! Kalau sampai ketahuan orang, kamu mati sudah!" Wajah Ji Yanran memerah sambil berbalik menaiki tangga.
Han Sen berjalan perlahan mengikutinya. Untungnya sekarang sudah larut malam, pada dasarnya tidak ada orang. Meski gerakan Han Sen agak kaku, tak ada yang menyadarinya. Tanpa hambatan, dia sampai di asrama Ji Yanran.
Asrama ini hanya ditempati Ji Yanran dan Qu Lili. Qu Lili ditarik pergi oleh Lao Shi dan kawan-kawan, untuk sementara belum bisa kembali. Ji Yanran berdiri di dalam, membuka pintu selebar celah. Setelah memastikan tak ada orang di kiri-kanan, barulah dia membuka pintu agak lebar. Dengan gerak-gerik seperti pencuri, dia menyuruh Han Sen masuk.
"Mau makan sesuatu? Tadi terus minum belum makan." Ji Yanran membuka lemari pendingin suhu terkontrol sambil mengecek persediaan makanan di dalamnya.
"Denganmu saja sudah cukup, tak ingin yang lain." Han Sen duduk di sofa dengan senyum bahagia.
"Preman! Tak bisakah kamu serius sedikit?" Ji Yanran membawa beberapa makanan dan kue, tak lupa dua botol air mineral.
“Aku serius kok, sedang menjalankan kewajiban sebagai yang dirawat, berusaha agar pantas mendapat biaya perawatan lima puluh ribu itu.” Han Sen berkata dengan wajah masam.
“Haa!” Ji Yanran melihat sikap pedih Han Sen, tak tahan tertawa terbahak-bahak, lalu kembali menegang wajah mungilnya sambil melototi pandangan putih, “Kalau tidak mau makan ya sudah, aku yang makan sendiri.”
Ji Yanran membuka bungkusan makanan, memotong sepotong kue di piring lalu mulai menyantapnya.
Han Sen duduk di sebelah Ji Yanran, bersandar di sofa, satu tangan menopang pipi, matanya tak lepas mengawasi Ji Yanran.
“Lihat apa sih?” Pipi Ji Yanran memerah karena tatapan Han Sen, setelah menahan sebentar akhirnya berguman manja.
“Lihatlah cara makannya, kuenya sampai nempel di pipi.” Han Sen mengulurkan tangannya.
Ji Yanran mengira Han Sen akan menghapus kue di pipinya dengan tangan, tidak menghindar. Tapi siapa sangka, tangan Han Sen malah mencengkeram dagunya yang bulat, lalu mendekatkan wajah dan menjilat kue di pipinya dengan lidah.
Kemudian dia mendekati bibir merah Ji Yanran, melilit krim di sana ke dalam mulutnya sendiri. Setelah mencicipi, dia berbisik: "Enak."
Kilat licik terpancar dari mata Ji Yanran. Tiba-tiba dia menempelkan kue di tangannya ke wajah Han Sen, mengubahnya menjadi kucing belang.
Han Sen masih bingung, tiba-tiba melihat Ji Yanran menekan bahunya sambil menjulurkan wajah ke hadapannya. Dengan senyum bahagia dia berkata: "Kamu juga ada kue di wajah."
Han Sen terdiam menatap Ji Yanran, namun Ji Yanran sudah mengulurkan lidah kecilnya yang hijau, menjilat krim di pipinya. Wajahnya yang memerah itu terlihat sangat memikat.
Han Sen sudah tak tahan lagi, tangannya merangkul pinggang Ji Yanran. Wajahnya mendekati wajahnya, membuat krim itu pun menempel di pipi sang gadis. Sambil mencicipi krim, ia juga mengecap kehalusan kulit wajah dan kelembutan bibir merah Ji Yanran.
Sepasang tangan jahat raksasa itu pun meraba pantat montok yang bulat dan tegang yang selama ini jadi impiannya.
Saat kedua insan sedang berpelukan mesra, saling menyuapi dengan manisnya, tiba-tiba terdengar suara pintu yang kejam.
"Dari kejauhan sudah mencium bau busuk asmara, ternyata ada yang berani melakukan apa saja demi cewek sampai nekat masuk asrama cewek. Kamu bukan cuma jago belajar, kemampuan pencurian wewangianmu juga top banget." Qu Lili masuk sambil tersenyum bahagia.
Ji Yanran langsung kabur dari pelukan Han Sen dengan wajah merah padam, melirik penuh kebencian ke Qu Lili tapi tercekat tak bisa bicara.
"Lao Shi, dasar kamu tidak tepercaya! Kenapa cepat-cepat mengembalikan Qu Lili?" Dalam hati Han Sen mendendam, tapi hanya bisa berdehem pelan, "Kakak terlalu memuji, biasa saja kok. Kalian lanjut ngobrol, aku duluan pergi."
Pertahanan Han Sen yang sekuat apapun akhirnya malu juga. Mana mungkin dia mesra-mesraan dengan Ji Yanran di depan Qu Lili.
Melihat Han Sen yang turun tangga pergi, cahaya aneh berkelebat di mata Qu Lili.
Han Sen baru saja meninggalkan asrama cewek tak berapa jauh, alat komunikasinya berdering. Disangkanya itu Ji Yanran, langsung diambil dan dibuka. Tapi yang muncul justru gambar holografik Huangfu Pingqing mengenakan piyama putih bertali merah.
"Adik Tingkat Han, masih ingat janji kita? Besok ada waktu?" Huangfu Pingqing tersenyum manis.
"Ada. Mau ke mana?" Han Sen menggaruk hidung sambil menjawab.
Saat menandatangani kontrak dulu, dia memang berjanji akan melindungi Huangfu Pingqing sekali dalam perburuan. Utang janji ini harus ditepati.
