Harus diakui, Lü Weinan memang tidak membual. Kemampuan kaburnya benar-benar luar biasa dengan teknik gerak yang misterius. Di detik-detik genting, dia berhasil menarik tangannya sambil melompat mundur, nyaris terhindar dari cengkraman mulut harimau Miao Jun.
Namun Miao Jun sudah menerjang ke arah Lü Weinan. Dalam jarak sedekat itu, tak ada lagi ruang untuk menghindar. Pasangan cakar harimau itu hampir saja mencabik tubuhnya.
"Miao Miao, kembali ke sini makan!" teriak Han Sen pada kucingnya. Dia masih membutuhkan Lü Weinan sebagai pemandu jalan, kalau sampai mati diterkam bakalan merepotkan.
Lü Weinan yang nyaris menjadi korban keganasan harimau itu menunjuk-nunjuk Miao Jun dengan wajah pucat: "Dia... dia... bukannya cuma hewan peliharaan bermutasi? Kok bisa..."
Han Sen sibuk makan sendiri tanpa menghiraukannya, namun Lü Weinan justru berteriak sendiri: "Aku tahu! Ini evolusi super, dia mengalami evolusi super!"
Lü Weinan memandangi Miao Jun dengan tatapan penuh iri dan dengki sambil bergumam frustrasi: "Kak, keberuntunganmu ini keterlaluan. Memelihara hewan peliharaan mutan yang ternyata berevolusi super, ini setara dengan pejuang level darah suci! Barang ini kalau dijual, harganya bisa melebihi roh binatang suci biasa!"
"Bisa dibilang hoki kita sedang bagus." Han Sen berpikir dalam hati: "Kalau kau melihat Malaikat Perang Suci, baru akan mengerti apa yang sesungguhnya bernilai tinggi."
Mengingat Malaikat Perang Suci, Han Sen masih merasa agak kesal. Dia pernah mencoba memberi makan daging mutasi pada sang malaikat, namun makhluk suci itu bahkan tidak mau melirik, sama sekali meremehkan bahan mutasi.
Justru saat Han Sen menyantap daging makhluk darah ilahi, Malaikat Perang Suci menunjukkan minat yang cukup besar.
Sayangnya sekarang Han Sen belum mewah sampai menggunakan daging makhluk darah ilahi untuk memberi makan dirinya, terpaksa sementara tidak mengurusnya. Kalau tidak mau makan ya sudah.
Setelah keduanya dan kucing itu kenyang, mereka melanjutkan perjalanan. Karena ukuran kelabang mutan ini terlalu besar, meski perut Han Sen sudah kembung kekenyangan, sama sekali tidak mendapatkan gen bermutasi.
Han Sen dan Lü Weinan terbang selama empat lima hari di Rawa Kegelapan, akhirnya tiba di lokasi yang disebut Lü Weinan. Sayang sepanjang perjalanan tidak berhasil memburu makhluk bermutasi yang cocok. Semuanya berpostur besar. Meski banyak dimakan, ditotal hanya memberi Han Sen satu poin gen bermutasi.
Lokasi yang disebut Lü Weinan adalah area berumput air yang biasa di Rawa Kegelapan. Di mana-mana terlihat hamparan rumput air subur dan danau yang dangkal.
Di tengah hamparan tumbuhan air, seorang ksatria yang menunggang kuda hitam bertanduk satu, dengan tangan menggenggam tombak besar hitam, seluruh tubuhnya terbungkus baju zirah hitam yang mengkilap, berdiri tegak di atas rerumputan basah itu, memancarkan aura kesepian yang penuh keindahan.
Han Sen yang hanya melirik dari kejauhan langsung yakin: itu sama sekali bukan manusia. Seperti yang dikatakan Lü Weinan, siapa pun yang melihatnya pasti tahu itu bukan makhluk manusiawi.
Baju zirah hitam sang ksatria bukan terbuat dari logam atau giok, melainkan lebih mirip cangkang kura-kura atau tempurung kumbang. Sambungan antar lempeng zirahnya pun sangat berbeda dengan armor manusia, seolah menyatu secara alami tanpa ada struktur tulang atau daging di dalamnya.
Ada perasaan aneh yang menyergap, tapi Han Sen sudah pasti: ini pasti Makhluk Darah Ilahi, dan yang sangat mengerikan sekaligus.
Jauh lebih kuat dibanding golem batu yang pernah dibantai bersama Huangfu Pingqing. Cukup lihat tombak raksasa di tangannya dan kuda bertanduk yang ditungganginya, sudah jelas ini bukan Makhluk Darah Ilahi sembarangan.
Bentuk mirip manusia itu sendiri sudah luar biasa, tapi Makhluk Darah Ilahi ini ternyata memiliki mount, hal seperti ini Han Sen belum pernah dengar sebelumnya.
"Kakak, bagaimana? Itu memang Makhluk Darah Ilahi kan?" Berjongkok di semak-semak, Lü Weinan berbisik kepada Han Sen.
"Hm, memang Makhluk Darah Ilahi. Tapi terlihat sangat sulit ditaklukkan, aku juga tidak yakin bisa mengalahkannya." Han Sen menjawab jujur, ia memang tidak punya keyakinan.
Makhluk Darah Ilahi ini terlalu mengerikan, mungkin tidak kalah dari Malaikat Perang Suci di Pulau Bidang Ilahi. Dan di tangannya sudah tidak ada lagi Kupu-kupu Api Hantu Darah Suci kedua.
Tapi Keberuntungan-nya, kini ia memiliki Pedang Malaikat Perang Suci. Meski kekuatan makhluk ini setara dengan Malaikat Perang Suci, bukan berarti tidak ada kesempatan.
"Kakak, sistem pembagian apapun akan aku ikuti." Lü Weinan mengira Han Sen tidak puas dengan metode pembagian trofi sebelumnya, buru-buru menambahkan penjelasan.
“Aku khawatir kita berdua tidak sanggup mengatasinya.” Han Sen masih kurang yakin dengan kuda hitam bertanduk tunggal yang gagah perkasa yang ditunggangi Makhluk Darah Ilahi itu. Menurut pengamatannya, kuda itu mungkin bukan sekadar mount biasa.
Lü Weinan justru bersemangat: “Tidak mencoba bagaimana bisa tahu? Makhluk Darah Ilahi langka seperti ini pasti bernilai tinggi. Bagaimana jika kita bisa merebut roh binatangnya? Pasti untung besar!”
“Baiklah, mari kita bahas dulu masalah pembagian. Sistem alokasi yang kamu ajukan sebelumnya sepertinya tidak feasible.” kata Han Sen.
“Lalu menurutmu bagaimana sebaiknya dibagi?” Lü Weinan bertanya sambil mengawasi Han Sen dengan hati-hati.
“Begini, karena intel berasal darimu, kamu dapat 20%. Sisanya 80% akan dihitung berdasarkan kontribusi selama pertempuran. Bagaimana?” Han Sen mengusulkan setelah berpikir.
“Setuju!” Lü Weinan mengatupkan gigi menyetujui. Setidaknya dia bisa dapat 20%. Jika mencari bantuan Shen Tianzi atau Tim Tinju, mungkin hanya dapat sekitar 10%.
Dan selama bisa memberikan kontribusi, nanti masih ada kesempatan mencetak gol. Lü Weinan juga ingin mengambil risiko, tidak berniat membiarkan Han Sen sendirian memburu Makhluk Darah Ilahi.
Mengingat Makhluk Darah Ilahi yang langka ini, jika ada kesempatan memberikan pukulan terakhir, mungkin bisa mendapatkan roh binatangnya.
Setelah bernegosiasi, kedua orang itu diam-diam mendekati Makhluk Darah Ilahi melalui semak-semak. Han Sen berpikir: selama makhluk itu tidak bisa terbang, mereka berdua tidak akan menghadapi bahaya besar. Paling-paling bisa kabur dengan terbang.
Saat jarak mereka sekitar 100-200 meter dari Makhluk Darah Ilahi, tiba-tiba makhluk itu menengadah dan menatap ke arah mereka.
Han Sen bisa melihat jelas: di balik helm makhluk itu terdapat sepasang mata memancarkan kilau merah darah seperti nyala api darah dewa kematian. Bagian putih mata sama sekali tak terlihat, memancarkan niat membunuh yang membuat merinding.
Belum sempat Han Sen dan Lü Weinan memberikan respons apa pun, makhluk darah ilahi itu tiba-tiba mengendarai kuda hitam bertanduk tunggalnya. Seperti angin puyuh, ia melesat cepat ke arah Han Sen dan Lü Weinan. Tombak hitam besar sudah diacungkan, siap untuk menusuk.
"Berhati-hati! Makhluk ini sangat mengerikan." Han Sen mencengkeram erat Pedang Malaikat Perang Suci dengan kedua tangannya. Teknik Kulit Es dan Tulang Giok diaktifkan sampai batas maksimal. Sorot matanya mengawasi ketat gerakan makhluk darah ilahi yang sedang berlari kencang itu.
Kuda hitam bertanduk tunggal itu memiliki daya guncangan yang luar biasa kuat. Empat kukunya yang berpacu di atas permukaan danau sama sekali tidak tenggelam, malah langsung berlari di atas air. Sungguh terlihat ajaib dan luar biasa.
Hampir sekejap mata, Makhluk Darah Ilahi itu sudah menerjang hingga 4-5 meter di depan Han Sen. Memanfaatkan daya sprint yang dahsyat, sebuah tombak besar ditikamkan ke arah dada Han Sen dengan ganas. Senjata itu bagaikan kilat hitam yang menyambar dadanya dalam sekejap.
