Han Sen duduk di punggung Singa Emas dengan wajah masam. Awalnya ia mengira bisa menemukan kesempatan melarikan diri dengan mengikuti singa itu, tapi segera menyadari kekeliruannya yang fatal.
Postur Singa Emas yang raksasa tak mengurangi kecepatan geraknya. Burung-burung monster itu terus membayangi seperti menganggap singa sebagai tiket makan gratis. Sisa daging dari buruan Singa Emas langsung disantap habis oleh mereka.
Yang membuat Han Sen pusing adalah, kelompok monster burung itu jelas-jelas semuanya makhluk mengerikan tingkat mutasi, postur tubuh besar dan tenaganya kuat. Ribuan burung mutasi ini benar-benar agak menakutkan.
Yang lebih mengerikan, di tengah kawanan burung itu, ternyata ada dua raja burung dengan tubuh hitam pekat seperti giok, bentang sayapnya mencapai belasan meter. Dari segi aura, mereka jelas makhluk darah suci yang tidak kalah dengan burung perak besar yang pernah Han Sen temui sebelumnya - apalagi jumlahnya ada dua.
Han Sen sekarang benar-benar terjepit. Dia terperangkap di atas tubuh singa emas raksasa ini. Meski para burung monster tak berani mendekati singa emas, Han Sen juga tidak berani meninggalkannya. Situasi ini langsung menjadi kebuntuan.
Untungnya saat singa emas berburu, dia bisa diam-diam menggunakan panah bertali untuk menarik potongan daging mutasi. Setelah beberapa hari, gen mutasinya bertambah beberapa point.
Namun setelah beberapa hari perjalanan ini, Singa Emas telah masuk jauh ke Pegunungan Giok Naga. Meski tidak terus-menerus berjalan, langkahnya yang besar mengerikan - maju dan berhenti bergantian. Sekarang Han Sen bahkan sudah mulai bingung menentukan posisinya sendiri.
Di sekelilingnya hanya ada puncak-puncak hitam serupa. Untungnya Singa Emas tidak pernah mengubah arah, sehingga Han Sen masih tahu orientasi keluar.
Tapi selama perjalanan, dia menyaksikan banyak makhluk mutan mengerikan berkeliaran di pegunungan. Untuk masuk bersama Singa Emas tidak masalah, karena tidak ada makhluk berani menantangnya. Tapi ketika memikirkan cara keluar, Han Sen langsung sakit kepala.
"Memang lebih baik tetap rendah hati." Han Sen kini menyesal sampai-sampai ususnya menghitam. Seharusnya dia tidak terlalu percaya diri datang ke Pegunungan Giok Naga. Dunia perlindungan ini jauh lebih mengerikan dari yang dia bayangkan - berkali-kali lipat.
Dia semula mengira dengan kemampuannya, sudah cukup untuk bisa bebas bergerak dalam Perlindungan Suci Pertama sambil menjamin keselamatan. Tapi setelah tiba di Pegunungan Giok Naga, barulah dia menyadari betapa absurdnya asumsinya itu.
Han Sen terjebak di tubuh singa emas selama sebulan lebih, sama sekali tidak menemukan kesempatan kabur. Burung-burung monster itu bagaikan antek Iblis yang terus-menerus mengikuti jejak singa emas ini.
Singa emas itu telah keluar dari Pegunungan Giok Naga yang hitam legam, menyusuri sungai besar berkelok seperti naga yang bergulung-gulung di padang liar. Entah ke mana tujuan sebenarnya.
Selama lebih dari sebulan ini, Han Sen telah menyaksikan tak terhitung makhluk mengerikan yang tercabik-cabik oleh Singa Emas. Suatu kali, dengan panah bertali ia berhasil menarik potongan daging ular raksasa sepanjang 100 meter. Setelah memakannya, di otaknya tiba-tiba terdengar suara "Gen Tuhan +1". Barulah Han Sen tersadar dengan ngeri - ular raksasa yang dimangsa Singa Emas itu ternyata Makhluk Darah Ilahi.
Melewati pegunungan dan sungai-sungai besar, Singa Emas justru berjalan menuju lautan. Raga raksasanya membelah ombak dengan perkasa, bahkan lautan pun tak mampu menghentikan langkahnya.
Han Sen sudah. Perasaannya telah tumpul, tak tahu kemana tujuan akhir Singa Emas ini. Yang pasti, ia sama sekali tak ingat jalan pulang. Kalaupun ingat, melihat banyaknya makhluk mutan mengerikan yang mereka temui sepanjang perjalanan, jalan pulang itu hampir mustahil ditempuh sendirian dengan selamat.
Awalnya Han Sen berniat menyelinap pergi melalui laut, tapi setelah melihat siluet besar mengerikan yang berkeliaran samar di bawah air, dia terpaksa membatalkan niatnya lagi.
Anehnya, singa emas raksasa ini ke mana pun ia pergi selalu bisa menarik banyak makhluk mutan untuk bunuh diri, yang akhirnya menjadi persediaan makanannya.
Setelah melakukan pengamatan lama, Han Sen baru menyadari ini sama sekali bukan kebetulan. Makhluk-makhluk mutan itu sama sekali tidak datang atas kemauan sendiri, melainkan ulah burung-burung monster itu.
Burung-burung monster itu bisa mengeluarkan suara seperti tangisan bayi. Entah kenapa, banyak makhluk mutan yang mendengar suara aneh itu langsung menjadi gila dan berkerumun ke sini, berakhir dengan kematian tragis di bawah cakar antek-antek singa emas.
Saat itulah Han Sen baru paham, alasan burung-burung monster ini bisa terus mengikuti singa emas, bukan karena singa emas tidak mampu memburu mereka. Mungkin ini memang sengaja dirancang oleh singa emas.
Burung-burung monster itu seperti yang dibenci Han Sen sebelumnya, mereka sejatinya adalah antek-antek iblis. Tugas mereka adalah memancing mangsa untuk singa emas, lalu menikmati sisa tulang dan potongan daging setelah singa emas kenyang.
Bahkan makhluk laut pun sulit menahan godaan suara burung monster itu. Sesekali muncul makhluk mutan laut di sekitarnya. Ketika singa emas perlu makan, dia langsung membantai habis-habisan. Terkadang pembantaiannya membuat wilayah laut sekitar dicat merah darah.
Meski Han Sen sudah lama tahu alam semesta perlindungan itu luas tak berbatas, bahkan Dunia Perlindungan Suci pertama sekalipun tetap tidak bisa sepenuhnya dieksplorasi dengan jelas oleh manusia.
Tapi setelah mengikuti singa emas kabur selama beberapa bulan ini, Han Sen baru benar-benar memahami sebesar apa konsep "besar" itu. Area yang telah dijelajahi manusia relatif terhadap dunia perlindungan, ternyata terlalu tak berarti.
Dalam beberapa bulan ini, Han Sen yang mengikuti singa emas justru mendapat banyak keuntungan. Meski hanya menyantap sisa tulang dan potongan daging, dengan gemilang Gen Tuhan-nya naik ke 61 point, sementara gen bermutasi malah melonjak drastis hingga mencapai 84 point.
Han Sen tidak tahu apakah dirinya harus menangis atau senang. Jika terus seperti ini, meski tidak bisa kembali untuk memakan makhluk darah ilahi yang dipelihara serikatnya, tapi perkembangan gennya sepertinya tidak lambat.
Yang lebih membuat Han Sen rasakan keputusasaan adalah, burung-burung monster yang mengikuti singa emas itu, ternyata dua ekor lagi berturut-turut berhasil naik level ke tingkat darah suci selama beberapa bulan ini.
Empat ekor burung monster level darah suci memimpin kawanan burung monster mengikuti singa emas, membuat Han Sen merasa seolah tak ada jalan ke langit maupun pintu masuk ke bumi.
Tapi justru ketika Han Sen hampir menyerah, kawanan burung monster itu tiba-tiba berhamburan seperti burung dan binatang liar, terbang menghilang seketika.
Han Sen mengira mereka akan kembali, namun sejak saat itu ia tak pernah lagi melihat bayangan burung monster tersebut.
Dan tepat satu hari kemudian, Han Sen melihat pulau keemasan muncul di tengah laut dari kejauhan.
Sebuah gunung keemasan raksasa menjulang di atas pulau, menyatu dengan langit dan laut, awan-awan bergelayut di lereng gunung, sementara puncaknya tertutup rapat oleh salju putih.
Di kaki gunung keemasan, terbentang hamparan bunga merah darah. Bunga-bunga merah tak bernama yang mempesona memenuhi seluruh pulau. Kecuali gunung keemasan itu, semua tempat dipenuhi warna merah darah yang menyala-nyala, menyatu dengan keemasan matahari terbenam menciptakan kombinasi warna paling memukau.
Saat Han Sen tersadar, Singa Emas sudah menginjakkan kaki di pulau itu.
