Setelah menanyakan detail lawan potensial lainnya dan memastikan semuanya, barulah Han Sen setuju untuk mewakili Wang Di bertarung. Syaratnya, Wang Di harus memberikan roh binatang terlebih dahulu.
Satu roh binatang parasit darah suci dan satu roh binatang senjata darah suci. Karena berada di tempat perlindungan yang berbeda, setelah menandatangani kontrak, Han Sen mengkonsultasikan Huangfu Pingqing untuk memanfaatkan murid dari Dewa Perang Dojo. Di tempat perlindungan Wang Di, dua roh binatang suci tersebut diterima, tinggal menunggu Han punya waktu untuk mengambilnya nanti.
Senjata roh hewan suci darah ilahi itu berupa kapak. Han Sen tidak terlalu berminat, tapi memiliki sesuatu lebih baik daripada tidak. Roh binatang parasit itulah yang benar-benar dibutuhkan dan diprioritaskan oleh Han Sen.
Huangfu Pingqing mendatangi Bukit Gladiator, namun harapannya tidak terkabul. Ning Yue justru berada di sana. Menghindari pertemuan hampir mustahil.
"Kak Yue." Setiap kali bertemu Ning Yue, Huangfu Pingqing selalu diliputi kegugupan. Meski Ning Yue dikenal ramah, sejak kecil dia selalu merasakan kedinginan menggelikan di punggungnya saat berhadapan dengannya.
Sehingga Huangfu Pingqing dan Shen Tianzi yang berwatak pemarah justru semakin dekat, alasan di balik ini bahkan Huangfu Pingqing sendiri tidak bisa menjelaskannya.
"Xiao Qing, sudah lama tidak bertemu." Ning Yue dengan lembut meraba kepala Huangfu Pingqing, matanya berbinar seperti dua bulan sabit di langit yang sangat memikat.
Wajah Ning Yue mirip tujuh poin dengan Shen Tianzi, hanya saja sangat kurus dengan raut pucat, bahkan bibirnya hanya memiliki semburat darah yang samar.
Ning Yue selalu luar biasa baik pada Huangfu Pingqing. Sejak kecil hingga dewasa, kebaikannya tak pernah berubah. Suatu kali, saat Huangfu Pingqing dan orang tua mengunjungi kakek dari pihak ibu di keluarga Ning, tanpa sengaja ia menghancurkan sebuah barang antik yang dianggap cucu kesayangan oleh sang kakek. Saat itu Huangfu Pingqing panik bukan main. Ning Yue meraba kepalanya persis seperti ini, lalu mengambil alih tanggung jawab atas barang antik yang hancur. Belakangan Ning Yue mendapat pelajaran yang sangat memilukan, tapi hingga akhir ia tak mengucapkan sepatah kata pun.
Di lubuk hati terdalam, Huangfu Pingqing sangat berterima kasih pada Ning Yue. Tapi entah kenapa, ia tak bisa merasa akrab dengannya. Bahkan saat Ning Yue menepuk kepalanya dengan penuh keakraban, Huangfu Pingqing tetap merasakan dorongan untuk menghindar yang tak berani diwujudkan.
Di hadapan Ning Yue, meski dengan sifat asli dan pengalaman hidup Huangfu Pingqing sekalipun, semuanya berubah menjadi penuh kecemasan. Bahkan cara bicaranya berubah menjadi teratur dan disiplin.
“Kakak Yue, aku ada satu hal yang ingin kumohon bantuanmu.” Huangfu Pingqing di hadapan Ning Yue tidak menemukan banyak topik pembicaraan, terpaksa langsung menerobos tema utama.
“Xiao Qing kamu tahu, selama bukan hal yang melanggar aturan, apa pun yang kamu inginkan bisa.” Ning Yue masih tersenyum bahagia sambil berkata.
Setelah hanya mengucapkan dua kalimat, Ning Yue tidak bisa menahan diri menutup mulut dengan saputangan sambil membersihkan tenggorokan dua kali, ekspresi wajahnya tampak semakin pucat kehijauan.
“Kakak Yue, kondisi sakitmu sudah membaik?” Melihat Ning Yue seperti ini, Huangfu Pingqing juga tidak bisa menahan rasa khawatir.
“Tidak apa, sudah dari dulu terbiasa, tidak masalah.” Ning Yue tersenyum: “Katakanlah, apa yang kamu inginkan?”
“Kakak Yue, ada orang yang kukenal dibawa ke Bukit Gladiator.” Huangfu Pingqing cepat-cepat berkata.
“Xiao Qing, kamu seharusnya tahu, beberapa aturan tidak bisa dilanggar... Ahem...” Ning Yue berkata satu kalimat, lalu kembali membersihkan tenggorokan.
“Bukan begitu Kak Yue, aku bukan memohon untuk melepaskannya, hanya ingin meminta bisakah Kak Yue menunjuk Tie Kuang sebagai lawannya.” Huangfu Pingqing mengatupkan gigi, meski menurutnya ini bukan gagasan bagus, tapi Han Sen bersikeras, terpaksa dia menuruti.
“Kamu punya permusuhan dengannya?” Ning Yue memandang Huangfu Pingqing dengan penuh keheranan.
“Tidak.” Huangfu Pingqing cepat-cepat menggelengkan kepala.
“Apakah dia seorang evolusioner?”
“Bukan.”
Sorot mata Ning Yue memancarkan keingintahuan: “Kalau begitu jadi menarik, siapa namanya?”
“Han Sen, Kak Yue, bisakah?” Setiap kali berhadapan dengan Ning Yue, Huangfu Pingqing selalu merasa kosakata yang dimilikinya sangat terbatas.
“Selama tidak melanggar aturan, permintaan apa pun akan kukabulkan.” Ning Yue tersenyum bahagia memandang Huangfu Pingqing, penuh kasih sayang.
“Kak Yue menyetujui?” Wajah Huangfu Pingqing langsung berseri-seri.
Ning Yue mengangguk sambil tersenyum, menutupi sudut bibirnya yang berkedut ringan dengan saputangan, seolah berusaha keras menahan batuk.
Di tepi podium pertarungan Bukit Gladiator - tempat pelepas keburukan manusia yang tak terhitung kali dilumuri darah - terpampang wajah-wajah yang gembira dan terdistorsi.
Namun tak seorang pun bisa melihat wajah asli mereka. Setiap orang disana mengenakan topeng logam yang dingin, sebab banyak pengunjung yang enggan menampakkan niat sebenarnya.
Meski siaran langsung bisa diakses via komunitas virtual sistem keanggotaan di jaringan pengawasan, kepuasan paling nyata tetap hanya didapat dengan datang langsung ke Bukit Gladiator, membiarkan diri mereka merasakan secara langsung pertarungan mematikan yang berdarah-darah.
Nama Tie Kuang sangat terkenal di Bukit Gladiator. Bukan berarti Tie Kuang benar-benar sekuat itu. Setidaknya di antara para evolusioner, Tie Kuang belum bisa dianggap sebagai sosok penting. Maksimal, dia hanyalah pemula evolusioner yang cukup menjanjikan.
Namun di Bukit Gladiator, bagi evolusioner pemula yang tak mampu melunasi utang atau ingin mempertaruhkan nyawa untuk bertarung habis-habisan, dia adalah mimpi buruk yang hidup.
"Raja Iblis" - julukan yang diberikan oleh banyak penonton pertarungan Tie Kuang. Dominasi, kekejaman, dan taktik berdarah yang ditunjukkannya dalam duel maut, membuat semua yang pernah menyaksikan pertarungannya sepakat dengan sebutan itu.
Bagi evolusioner pemula, Tie Kuang benar-benar adalah Raja Iblis yang sangat kuat, tak terkalahkan, ganas dan kejam, yang haus akan maut dan darah.
Dalam pertarungan maut sebelumnya, tidak ada satu pun lawan Raja Iblis Tie Kuang yang meninggalkan mayat utuh. Semuanya tercabik-cabik raga atau terpuntir lepas kepala oleh kedua tangan Tie Kuang.
Setiap kali adegan seperti ini muncul, penonton di luar medan gaya mencapai puncak kegairahan. Sorak-sorai dan teriakan hampir menenggelamkan seluruh arena gladiator.
Siapa lawan Tie Kuang tidak penting. Yang ingin disaksikan semua orang hanyalah kesenangan purba dari kejahatan - bagaimana Raja Iblis menyiksa kehidupan hingga binasa.
"Aku akan memuntir lepas kepalamu!" Saat Tie Kuang berdiri di podium pertarungan, menunjuk lawannya sambil meraung kalimat dialog favoritnya, penonton di luar sudah hampir tak sabar menyoraki kerinduan akan darah dan maut.
Kenyataannya, dibandingkan Tie Kuang, para penonton di luar itulah yang lebih mirip Raja Iblis sejati.
Di sebuah ruangan di atas arena gladiator, Ning Yue sedang bersandar di sofa sambil menyesap anggur yang mirip darah. Matanya yang berbentuk bulan sabit dengan senyum menawan memandangi seluruh area pertarungan dari ketinggian.
"Han Sen, seharusnya pria yang pernah konflik dengan kakak itu. Maniak Pantat, kapten Tim Baja Kecil, masih evolusioner pemula... Sungguh menarik... Ahem..." Ning Yue mengamati Han Sen yang sudah naik ke podium, sudut bibirnya mengembang senyum penuh teka-teki.
