Mulut dua ular raksasa bersisik hitam itu bagaikan dua gerbang kegelapan menuju neraka. Taring beracun sepanjang lebih satu meter yang berlumuran cairan menjijikkan itu hampir memblokir seluruh jalan maju Han Sen.
Dari belakang, makhluk-makhluk mutan yang bergerak seperti air pasang tanpa ujung tampak memutus semua jalan mundur Han Sen.
Di hadapan Han Sen hanya tersisa dua mulut ular yang gelap gulita. Namun tanpa ragu sedikit pun, ia malah mempercepat langkah. Jantungnya berdegup kencang bagai genderang, darahnya mengalir deras, setiap otot di tubuhnya memancarkan energi dahsyat.
Satu langkah diayunkan - seolah memadatkan bumi dan melangkah ke langit. Han Sen nyaris seperti berteleportasi langsung masuk ke dalam mulut salah satu ular raksasa itu.
Krak!
Ular hitam itu segera mengatupkan rahangnya, berusaha menelan Han Sen bulat-bulat ke dalam perutnya.
Namun yang terlihat hanyalah darah mengucur deras, kulit ular hitam di sisi ular raksasa itu terkoyak keras dari dalam, darah dan siluman keemasan melesat keluar bersamaan, tiga cahaya ungu dingin berkilauan seperti kilat.
Dor!
Han Sen menerobos keluar dari perut ular, bagaikan binatang buas menghantam pintu batu besar bangunan kuno hingga terbuka satu daun, lalu masuk tanpa ragu.
Interior bangunan kuno menyerupai kuil, dipenuhi simbol-simbol mistis dan patung dewa. Di bagian terdalam, patung iblis raksasa setinggi lebih dari 30 meter berdiri gagah seperti Asura Yasha dengan wajah penuh kebengisan.
Di antara alis patung iblis tersebut, tersemat batu permata perak seukuran tinju yang nampaknya merupakan Batu Jiwa dari gadis remaja berambut perak roh itu.
Di bawah patung iblis, gadis berambut perak telah berubah menjadi bentuk pertempuran. Lekuk tubuhnya yang cantik sepenuhnya terbungkus dalam baju zirah perak yang terlihat jenjang dan elegan, membentuk garis lengkung sempurna.
Sebilah pedang tipis perak tergenggam di tangan gadis itu, memancarkan kilau cahaya yang membuat hati merinding. Sepasang pupil peraknya menatap dingin ke arah Han Sen.
Han Sen bergegas mendekati gadis makhluk roh berambut perak. Awalnya dia mengira makhluk mutan darah suci di luar akan mengejarnya, namun ternyata mereka semua berjaga di luar bangunan kuno tanpa ada yang berani melangkah melewati pintu batu.
Hal ini membuat Han Sen berseri-seri tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Hanya perlu melawan seorang gadis roh berambut perak relatif lebih mudah. Apalagi dia sudah punya rekam jejak percobaan pembunuhan terhadapnya sebelumnya, sehingga kali ini meski tak bisa membunuhnya, merebut Batu Jiwa itu seharusnya tidak sulit.
Melihat Han Sen nyaris sampai di depan patung dewa, gadis berambut perak membentak dingin. Pedang perak di tangannya menyambar bagai kilat, membabat horizontal ke arah leher Han Sen. Hampir sekejap mata, bilah itu sudah menyentuh lehernya.
Han Sen terkejut. Sebelumnya, dia sengaja menerima tusukan jantung, jadi secepat apapun pedang gadis itu tak berguna. Han Sen sama sekali tidak berniat menghindar.
Tapi kali ini, pedang perak itu mengincar lehernya. Jika tidak menghindar atau menangkis, kepalanya bisa terpenggal. Ini sama sekali tidak boleh terjadi.
Baru saat benar-benar berhadapan dengannya, Han Sen menyadari kecepatan pedang gadis itu sulit dipahami. Dia mundur setengah langkah, mengangkat senjata cakarnya sekuat tenaga untuk menahan pedang tipis perak yang nyaris menyentuh lehernya.
Dang!
Pedang tipis perak bertabrakan dengan senjata cakar, mengeluarkan bunyi denting logam yang nyaring. Gaya dahsyat menerjang, memaksa raga Han Sen mundur setengah langkah. Tenaga gadis berambut perak ternyata lebih kuat satu tingkat dibanding Han Sen.
Setelah satu sabetan, pedang tipis perak di tangan gadis itu terus melesat tanpa jeda. Bagai kilat perak melintang di angkasa, serangan berkecepatan tinggi itu memaksa Han Sen terus-menerus memblokir, sama sekali tak menemukan celah untuk serangan balik.
Han Sen bertahan dari belasan tusukan. Serangan pedang itu mirip tanduk kijang - tak bisa dilacak jejaknya, sekaligus sulit dipahami kecepatannya. Han Sen terpaksa mundur langkah demi langkah, bahkan tak bisa menyelinap pergi.
Bukan hanya pedangnya yang cepat, teknik gerak gadis perak itu juga misterius gesit. Ia menyusul seperti bayangan, tak memberi sedikit pun kesempatan pada Han Sen untuk mengatur napas.
Dang! Dang! Dang!
Meski Han Sen berhasil menahan semua serangan kilat gadis rambut perak, Blade Cakar Mengamuk-nya justru terkikis membentuk celah-celah seukuran butiran beras. Lengannya pun mati rasa akibat guncangan.
Baru sekarang Han Sen menyadari betapa spekulatifnya upaya pembunuhan terakhirnya. Andai bukan karena kunci tubuhnya yang mengejutkan plus kecerobohan sang gadis, mustahil ia mendapat celah.
Mengingat kemampuan fisik Han Sen waktu itu jauh lebih buruk dibanding sekarang—yang masih kewalahan menghadapinya—kekalahan telak pasti terjadi tanpa strategi tak biasa itu.
Kebencian mendalam terpancar dari setiap hujaman pedang gadis itu, memaksa Han Sen terus mundur bagai ombak yang tersapu badai.
Dengan teknik gerak darurat, Han Sen bertahan menggunakan jurus pedang Nixin Zhan melalui senjata cakarnya. Namun jelas ini bukan tandingan bagi gadis ahli pedang itu.
Jika bukan karena teknik gerak Han Sen yang brilian, mungkin dia sudah lama tumbang di bawah pedang gadis remaja berambut perak itu.
Meski mengandalkan teknik gerak, Han Sen tetap dihujani serangan tanpa kemampuan perlawanan, terpaksa terus mundur di dalam aula sambil menghindari terlalu banyak benturan dengan pedang tipis perak sang gadis. Andai cakar hantunya bertahan pun, lengannya pasti sudah remuk akibat getaran.
Jurus pedang gadis berambut perak itu sungguh luar biasa brilian, seolah manusia dan pedang telah melebur jadi satu. Bagai kilat perak yang menyambar-nyambar di langit, jejaring serangannya yang saling bersilangan begitu cepat sampai-sampai siluet tubuhnya nyaris tak tertangkap mata, membuat siapa pun yang melihatnya kewalahan.
Han Sen berusaha memblokir serangan pedang sang gadis dengan teknik segel dari Jing Dongxuan. Namun karena sama sekali tidak memahami aliran jurus pedangnya—relasi sebab-akibat maupun pola orbit serangannya—ia tak mampu menyerang titik vital. Alhasil, mustahil baginya untuk benar-benar mengunci gerakan pedang itu.
Kedua, serangan pedang gadis rambut perak terlalu cepat, bahkan dengan kemampuan visual Han Sen pun sulit melihatnya dengan jelas. Ingin memblokir serangan pedangnya semakin sulit.
"Dang!"
Han Sen gagal menahan pedang, hanya menghindari titik vital. Bahunya terluka, darah segera mengalir melalui retakan baju zirah.
Han Sen kaget. Baju zirah emas bertato sihir rompi anti peluru batu ternyata tak bisa sepenuhnya menahan pedang tipis perak. Ketajamannya sungguh mengerikan.
Gadis itu tak mau mengampuni, kecepatan pedangnya semakin menjadi. Kilatan perak menyambar-nyambar, membuat Han Sen kian kewalahan.
Pedang sudah di depan mata. Senjata cakar Han Sen belum bisa ditarik, mustahil melakukan parrying lagi.
"Bertarung habis-habisan!" Han Sen mengatupkan gigi, memanggil perisai gila untuk menghalangi di depannya, menahan sabetan pedang gadis itu.
Sementara itu, Han Sen sendiri melesat menuju patung setan raksasa itu, tidak lagi berurusan dengan gadis berambut perak itu, ingin merebut Batu Jiwanya.
Dang!
Dari belakang terdengar suara baja yang terkoyak. Perisai Menara "Kuang Dun" ternyata terbelah oleh goresan panjang dari gadis itu, hampir menembus seluruh Perisai Menara, nyaris membelahnya menjadi dua.
