Wang Liang dan kawan-kawan nyaris bersujud takjub pada Han Sen. Secara teori, tidak ada yang mampu melakukan komando selevel ini. Pertempuran sendiri berubah sekejap mata. Memerintah satu per satu, apalagi sepuluh orang, bahkan satu orang saja, mungkin sebelum instruksi selesai diucapkan, hasil pertarungan di sana sudah ketahuan.
Tapi Han Sen justru memimpin sepuluh orang dengan efek yang mencengangkan. Han Sen sendiri tetap santai. Kecepatan bicaranya cepat tapi tidak terburu-buru. Wang Liang dan yang lain menjalankannya tanpa merasa lelah atau terbatas, malah merasa bisa lebih menunjukkan kemampuan mereka.
Saat ini Wang Liang dan kawan-kawan menganggap Han Sen bagaikan sosok jenius turun dari langit. Di militer, kekuatan pribadi yang hebat memang bisa dapat respek, tapi yang benar-benar dikagumi tentara selamanya adalah jenderal yang memimpin dengan tenang dan bisa membawa pasukan meraih kemenangan berturut-turut.
Komando selevel Han Sen ini bahkan belum pernah mereka dengar sekalipun.
Secara teori, Han Sen tidak mungkin memimpin sepuluh orang dalam pertempuran. Tapi itu hanya teori. Keajaiban jurus rahasia Jing Dongxuan miliknya terletak pada strategi. Sebenarnya dia tidak menginstruksikan Wang Liang dan kawan-kawan cara bertarung, juga tidak mengarahkan respons mereka di medan perang.
Yang dilakukan Han Sen sebenarnya adalah pra-penilaian dan penyusunan strategi. Perintah-perintahnya merupakan persiapan visioner dan penempatan posisi proaktif. Ketika Wang Liang dan yang lain tiba di lokasi sesuai perintah, mereka secara spontan bereaksi ketika menemukan celah kesempatan, bukan karena diajari cara merespons oleh Han Sen.
Seperti penggunaan jurus Jing Dongxuan oleh Han Sen sendiri - setiap pukulannya berfungsi memancing atau memaksa lawan bergerak ke posisi yang diinginkan. Kini dia memperlakukan Wang Liang dan kawan-kawan sebagai sepuluh "tangan"-nya yang terpisah.
Kunci keberhasilan metode ini adalah pemahamannya yang mendalam tentang kemampuan tim. Jika respons mereka di lokasi tak sesuai prediksi, seluruh strategi akan terbongkar karena munculnya celah tak terduga.
Jadi Han Sen pertama-tama mengamati dengan cermat kemampuan mereka, baru mulai mengatur strategi komando. Mengenal diri sendiri dan lawan baru bisa diterapkan dengan lancar.
Di bawah arahan Han Sen, sepuluh orang Wang Liang semakin santai dalam bertempur, dan kepercayaan mereka padanya semakin menguat. Kepercayaan yang terbangun dalam situasi seperti ini paling bisa diandalkan, karena mereka sudah merasakan langsung dan menerima fakta ini sepenuh hati.
Meski Wang Liang dan kawan-kawan berhasil menstabilkan posisi, mereka tetap tak bisa membunuh Raja Ular. Situasi akhir tak berubah - begitu stamina fisik mereka bermasalah, kekalahan tetap tak terhindarkan.
Karena itu Wang Liang masih khawatir. Manusia bukan makhluk mutan, stamina fisiknya terbatas. Pertempuran intensitas tinggi seperti ini, orang biasa paling kuat hanya bertahan satu atau dua jam.
Tapi Han Sen tak punya banyak keraguan. Dengan memanfaatkan sepuluh orang Wang Liang, ia perlahan memaksa Raja Ular ke posisi yang diinginkan.
Akhirnya, kepala Raja Ular secara otomatis tiba di hadapan Han Sen. Postur tubuh Han Sen melompat, telapak tangannya bagai membelah gunung menghantam ubun-ubun Raja Ular. Tenaga Yin langsung menyusup masuk, meledakkan daya penghancuran mengerikan di dalam tengkorak Raja Ular.
Graaa!
Terkena serangan berat ini, Raja Ular langsung mengangkat tubuhnya sambil meraung ke langit. Saat menundukkan kepala kembali, gerakannya tampak mulai kacau. Meski masih terlihat berwibawa, tapi tak lagi terorganisir seperti sebelumnya.
Han Sen berseri-seri dalam hati. Rupanya tenaga Yin yang masuk ke otak memang efektif. Otak Raja Ular sudah rusak, pikirannya benar-benar kacau.
Dia terus memimpin pertempuran Wang Liang dan kawan-kawan. Tak lama kemudian, kepala Raja Ular berhasil dipaksa kembali ke hadapannya. Sekali lagi telapak tangan menghantam dengan keras di titik yang sama.
Mengalami cedera kedua kali, tubuh Raja Ular mulai tak terkendali, bergerak sempoyongan seperti orang mabuk.
Wang Liang dan yang lain juga takjub dan girang, semakin giat bertempur di bawah arahan Han Sen, hati mereka dipenuhi kekaguman yang lebih besar terhadap Han Sen.
Dor!
Saat tamparan ketiga Han Sen menghantam kepala Raja Ular, sang ular tak lagi mampu menahan derita, terjatuh ke tanah sambil menggeliat kesakitan.
Pertempuran praktis sudah berakhir. Han Sen memerintahkan Wang Liang dan kawanannya untuk membasmi gerombolan ular es, sementara dia sendiri terus-menerus menghantam kepala Raja Ular yang tak berdaya dengan belasan tamparan keras, meledakkan otaknya hingga sang ular binasa total.
"Roh binatang... harus ada roh binatang... Aliluya... Santo pelindung..." Han Sen berdoa dalam hati. Setelah berjuang mati-matian, mustahil tidak ada roh binatang yang keluar - semua usaha ini akan sia-sia belaka tanpanya.
"Membunuh Makhluk Darah Ilahi Raja Ular Es Mata Perak, memperoleh Roh Binatang Raja Ular Es Mata Perak. Memakan dagingnya bisa mendapatkan 0 hingga 10 point Gen Tuhan secara acak."
Pada detik mendengar suara itu, Han Sen hampir bersorak kegirangan, dalam hatinya berteriak keras: "Aku mencintaimu Santa Maria!"
Setelah Raja Ular mati, kawanan ular es tidak lagi mampu mempertahankan serangan berani mati, semua kabur kembali ke lembah salju.
Wang Liang dan yang lain mengejar sampai mulut lembah baru berhenti, semua memandang medan pertempuran dengan takjub - mayat-mayat ular es bertebaran, termasuk beberapa makhluk tingkat mutasi.
Dalam pertempuran ini mereka memperoleh banyak roh binatang ular es, meski kebanyakan level purba, tapi sesekali ada satu dua yang bermutasi.
Mereka benar-benar membunuh terlalu banyak ular es, tapi ini juga hasil yang sangat besar.
“Di sini diserahkan pada kalian, carilah beberapa personel untuk mengangkut daging Raja Ular dan ular-ular es ini kembali.” Setelah memberi pertanggungjawaban beberapa kalimat, Han Sen langsung meninggalkan tempat itu.
Wang Liang dan kawan-kawan sekarang sudah tidak memiliki penolakan psikologis terhadap kepatuhan pada Han Sen. Kemampuan memimpin yang ditunjukkan Han Sen telah membuat mereka menerima fakta ini dalam hati.
Han Sen berputar satu putaran dan kembali ke puncak gunung es. Silver Fox kecil memang masih menunggu di sana. Pandangan penuh harap itu membuat Han Sen curiga, apakah makhluk ini akan menunggu di sana seumur hidup jika dirinya tidak kembali?
Melihat Han Sen kembali, Silver Fox kecil dengan elegan mendekati kaki Han Sen. Ekor besar berbulunya mengait betis Han Sen sementara kepala kecilnya menggesek-gesek bagian atas kaki itu.
Han Sen dalam hati mulai menyukai rubah perak kecil yang pendiam ini, berpikir: "Aku lebih berharap ini makhluk biasa, bisa kujaga dengan tenang di sisiku. Tapi jika memang makhluk biasa, mungkin tak akan memiliki spiritualitas dan kecerdasan seperti ini."
Satu tangan memeluk rubah perak kecil, tangan lainnya memanggil Pedang Ular Es Mata Perak.
Sebilah pedang ramping keperakan muncul di tangan Han Sen, panjangnya melebihi tiga chi, seluruhnya berwarna perak seputih salju. Bilah pedang tegak dengan lebar hanya selebar jari telunjuk, namun memberikan kesan tekstur yang tebal dan kokoh.
Pelindung tangan berbentuk sepasang sayap ular, di seluruh permukaan pedang terlihat samar-samar pola sisik ular yang menciptakan keindahan yang mengerikan.
Meski sama-sama pedang tipis, Pedang Ular Es Mata Perak ini sedikit lebih lebar dibanding pedang tipis makhluk roh gadis remaja berambut perak. Pedang sang gadis setipis sayap capung, sementara pedang ular ini terlihat sangat padat, benar-benar dua gaya yang berbeda.
Han Sen mengayunkan pedang beberapa kali, terasa begitu lancar seolah membelah kehampaan. Hatinya dipenuhi sukacita: "Asalkan bisa mendapatkan pedang lain, aku bisa menyerbu Perlindungan Keluarga Kerajaan dan merebut makhluk kembar roh itu."
