Sesosok makhluk raksasa berenang melintasi lautan di kejauhan, bagaikan pulau kecil yang bergerak di tengah gelombang.
Han Sen dan sang Ratu napas tak berani dihela, memerintahkan paus besar perlahan menjauhi makhluk laut raksasa itu. Kini, makhluk mutan yang muncul di sekitar mereka semuanya sangat mengerikan, kalau tidak mustahil bisa mengabaikan aura Silver Fox kecil.
Keduanya tersesat di laut hampir dua minggu. Ini sudah kedua kalinya mereka menemukan makhluk seperti ini. Untungnya makhluk laut raksasa itu tak memperhatikan mereka, hanya berenang menuju satu arah.
Setelah makhluk laut raksasa itu menjauh, baru kedua orang ini menghela napas lega panjang.
Berjalan setengah hari lagi, tiba-tiba Han Sen melihat bayangan hijau samar-samar di cakrawala laut depan, sepertinya sebuah pulau.
"Kali ini kita selamat! Di sana ada pulau. Meski tak ada orang, setidaknya bisa cari air tawar untuk minum. Minum darah ikan terus begini, aku hampir kena anemia!" seru Han Sen bersemangat.
Ekspresi Ratu juga perlahan menampakkan secercah kegembiraan. Bahkan lebih dari Han Sen, selama ini terus memakan daging ikan mentah dan minum darah ikan, dia juga merasa sangat tersiksa.
Nuansa hijau itu semakin mendekat, memang benar sebuah pulau kecil. Dari kejauhan terlihat bentuk gunung yang berombak, meski relatif rendah, namun masih ditumbuhi vegetasi hijau yang cukup banyak.
Tidak ada pepohonan tinggi, namun terlihat semak-semak yang dipenuhi rangkaian buah kecil merah menyala, terlihat seperti anggur kecil merah yang sangat memikat.
Ratu memanggil sepasang sayap dan terbang ke angkasa untuk mengamati sejenak, menemukan bahwa pulau ini memang tidak besar, dan tidak ada makhluk mutan di atasnya.
Barulah kedua orang ini dengan nyaman menapaki pulau. Han Ser memperhatikan buah-buah merah di pulau itu, dalam hati berpikir: "Buah-buah kecil merah ini, jangan-jangan seperti jamur merah menyala ya?"
Ratu sudah memasuki bagian dalam pulau, menemukan sebuah kolam kecil di antara perbukitan, akhirnya bisa meminum air tawar.
“Kamu melihat apa di sana?” Sang Ratu melihat Han Sen berjongkok di dekat semak-semak itu, tidak bisa menahan kerutan di dahinya sambil bertanya.
“Aku sedang mengecek apakah buah-buah ini bisa dimakan. Aku agak jengah makan ikan terus, ingin ganti yang segar-segar.” Han Sen menjawab.
“Jangan sembarangan makan. Lebih baik cari ikan untuk dipanggang.” Sang Ratu menyarankan.
Meski juga bosan dengan ikan, tumbuhan di tempat perlindungan bukanlah barang yang bisa dimakan asal-asalan. Buah kecil itu terlihat menarik, tapi jika dimakan mungkin akan menimbulkan masalah besar.
“Menurutku buah-buah ini seharusnya aman, bisa dimakan.” Han Sen mengamati dari kejauhan, berdasarkan pengetahuan yang dipelajarinya dari Professor Sun, buah-buah ini tampaknya tidak bermasalah.
Sang Ratu malas mengacuhkan Han Sen, pergi ke laut mencari ikan sendiri. Makan daging panggang sudah cukup baik, jauh lebih enak daripada daging mentah, apalagi dibanding risiko memakan buah merah itu.
Meski Han Sen merasa buah merah itu seharusnya tidak bermasalah, dia tidak memetiknya.
Sekarang masih ada pertanyaan di hatinya: Menurut penilaiannya buah-buahan ini bisa dimakan, tapi mengapa hasil panen di sini begitu melimpah tanpa tanda-tanda kerusakan, bahkan tidak ada jejak makhluk mutan yang memasuki area ini?
Sepanjang perjalanan, masih terlihat banyak burung mutan, tapi pulau kecil ini sama sekali tidak ada jejak makhluk mutan - kemungkinan besar ada sesuatu yang tidak beres.
Han Sen menahan keinginan untuk memakan buah-buahan itu, lalu berkeliling pulau terlebih dahulu untuk memeriksa apakah ada area yang tidak normal.
Pulau ini tidak bisa dibilang besar. Bahkan manusia biasa mungkin bisa mengelilinginya dalam setengah hari. Dengan kemampuan fisik Han Sen, satu putaran tentu tidak memakan waktu lama, apalagi dia sedang menunggangi Golden Roar.
Pulau kecil itu tidak terlalu luas, dan bentuk gunung di atasnya agak aneh. Gunung-gunung batu tersebut tidak terlalu tinggi, hanya sekitar belasan hingga dua puluh meter. Dari kejauhan terlihat seperti tonjolan pada kulit nanas, di mana setiap gunung kecil memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa.
Han Sen melompat ke salah satu gunung kecil dan memandang ke sekeliling. Ia menemukan tanaman yang mirip teratai tumbuh di puncak gunung tertinggi di antara mereka.
Ukurannya hampir sama dengan teratai biasa, dikelilingi tujuh helai daun teratai. Hanya ada satu bunga lotus yang mekar, putih bersih seperti salju tanpa noda debu.
Han Sen mengerutkan kening halus. Teratai biasanya tumbuh di air atau setidaknya di tanah lumpur lembap. Bagaimana mungkin tumbuh di puncak gunung seperti ini? Jelas itu bukan teratai sejati.
Hanya tanaman biasa, tidak ada yang perlu ditakuti. Dengan membawa Silver Fox kecil, Han Sen melanjutkan ke puncak gunung. Tak lama kemudian, mereka telah sampai di atas gunung kecil itu, mengamati tujuh helai daun teratai dan satu bunga lotus.
Dari jarak dekat, memang lebih mirip bunga lotus. Lapisan-lapisan kelopak putih salju yang mekar, di dalamnya terdapat sebuah bagian tengah bunga lotus kecil seukuran tinju. Berbeda dengan bagian tengah lotus hijau biasa, bagian ini juga berwarna putih salju semi-transparan, di mana terlihat samar-samar banyak biji berwarna merah darah, meski ukurannya masih kecil dan belum montok, jelas belum matang sepenuhnya.
Han Sen sedang mengamati dengan saksama, tiba-tiba Silver Fox kecil melompat dari pelukannya. Hidung mungilnya mendekat mengendus bunga lotus itu, lalu mengedipkan mata dengan ekspresi yang sangat manusiawi. Ia mengelilingi bunga tersebut beberapa kali, akhirnya malah berbaring di sebelahnya.
"Si Perak Kecil, apa maksudmu ini?" Han Sen memandanginya dengan bingung. Seandainya ingin memakannya, pasti sudah lama disantap. Soal urusan perut, makhluk ini memang terkenal tidak pernah sungkan.
Dilema sekarang melihat penampilannya, seolah ingin makan tapi juga ragu, kini berbaring di samping lotus, entah apa sebenarnya yang diinginkannya.
"Apakah kamu ingin menunggunya matang sepenuhnya?" Han Sen berpikir sejenak lalu menyampaikan kemungkinan itu sambil menatap Silver Fox kecil.
Tapi bagaimana Silver Fox kecil bisa menjawabnya? Dia hanya memicingkan mata dan berbaring tak bergerak di sana, bagaikan penjaga gerbang yang setia mengawasi tanaman lotus itu.
Han Sen melihat asap mengepul dari area pantai, menyadari sang Ratu sudah kembali dengan ikan hasil tangkapan dan mulai memanggang. Ia mengulurkan tangan untuk menggendong Silver Fox kecil, tapi makhluk itu menghindar dan tetap berjongkok di dekat lotus, enggan pergi.
"Bahkan jika kamu ingin menunggu kematangannya, itu butuh waktu tertentu. Di sini tak ada pemain lain yang akan merebutnya. Mari kita makan dulu baru kembali ke sini." Han Sen membujuk sambil kembali mencoba menggendongnya.
Tapi Silver Fox kecil bersikap sangat tegas, sama sekali tidak mau mengikuti Han Sen pergi, hanya ingin menjaga bunga teratai itu.
Han Sen tak berdaya, terpaksa kembali sendiri ke pantai. Sambil berjalan, dalam hatinya menghitung: "Bunga teratai itu pasti barang bagus. Kalau tidak, si pemilih seperti Silver Fox kecil tak mungkin bertahan menunggu di sana dengan gigih seperti ini."
"Tidak bisa. Keuntungan tak boleh seluruhnya diambil Silver Fox kecil. Aku yakin yang ditunggunya pasti biji teratai di dalam. Kalau tidak, kenapa tidak langsung dimakan sekarang? Harus ada cara untuk merebut biji itu dari cengkeramannya. Kalau dia sampai panik dan berbalik melawanku, belum tentu aku bisa menanganinya." Han Sen diam-diam resah, sejenak tak menemukan strategi yang tepat.
Silver Fox kecil menjaga lokasi itu tanpa jeda, pasti akan langsung melahap begitu matang. Merebut makanan dari mulutnya jelas bukan hal yang mudah.
