Burung gagak hanya mengawasi dengan dingin tanpa tanda-tanda bergerak, sementara Keledai Awan Merah malah mendekati kelompok Han Sen yang lebih ramai, sesekali mengaum marah ke arah mereka.
Melihat Keledai Awan Merah mendekat, hati Xu Dongjin dan yang lain justru merasa lega. Seandainya burung gagak itu yang datang, situasi akan lebih berbahaya.
Dikejar-kejar Keledai Awan Merah ini masih ada secercah harapan, tapi jika dikejar burung gagak sama sekali tidak ada harapan bertahan hidup.
Meski merasa bersalah pada Tuan Chen Ran, tapi siapa yang tak ingin hidup? Tak ada yang ingin mati selama bisa bertahan, sehingga Xu Dongjin dan yang lain diam-diam lega.
Tibalah waktu janji, dari arah Chen Ran terdengar teriakan keras: "Lari!"
Chen Ran langsung menerjang keluar dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Melihat Chen Ran benar-benar kabur, Xu Dongjin dan yang lain tak berani ragu-ragu, sekuat tenaga berlari ke luar.
Sang Ratu juga hendak lari, tapi dihentikan oleh Han Sen. Sang Ratu memandang Han Sen bingung, tak mengerti kenapa dia tidak ikut kabur.
Tapi tak lama Sang Ratu paham situasinya - burung gagak itu telah terbang dari pohon, namun sasarannya bukan Chen Ran, melainkan berputar jauh lalu terbang menuju tengkorak.
Xu Dongjin dan yang lain sudah bergegas keluar, tiba-tiba keledai awan merah itu menyergap dari sudut, menghalangi jalan mereka kembali ke kerangka tubuh, membuat mereka bahkan tidak mungkin kembali, terpaksa mati-matian berlari ke depan.
Sang Ratu segera memalingkan pandangan ke Chen Ran di belakang, melihatnya sudah berlari sekitar 200 meter, masih terus melaju ke arah yang berlawanan.
"Sepertinya burung gagak memilih untuk melakukan lebih banyak pembunuhan terhadap manusia," sang Ratu berkata sambil mengerutkan kening.
“Omong kosong.” Suara Han Sen dingin. “Kita semua dipermainkan oleh Chen Ran si orang tua itu. Bagian ekor memang terlihat lebih berbahaya, tapi jika dilihat lebih dalam, tulang ekor kerangka ini hanya sepanjang beberapa meter, sepertinya memang sudah patah. Jika hipotesis saya benar, sebenarnya ekor makhluk ini sangat panjang. Setelah jutaan tahun, tulang ekor yang patah itu terkubur di bawah. Kita tidak bisa melihat tulang yang terpendam, tapi makhluk-makhluk itu bisa merasakannya. Itulah mengapa burung gagak tidak mengejar Chen Ran yang pertama kabur, malah memutar jauh untuk mengejar kita yang keluar belakangan.”
Ratu langsung membeku: “Lalu mengapa dia menyuruh Xu Dongjin dan kawanannya ke sini...”
Di titik ini, Ratu sudah sepenuhnya paham. Chen Ran sebenarnya sedang menghancurkan Xu Dongjin dan yang lain, menggunakan mereka sebagai tumbal untuk mempertukarkan lebih banyak waktu agar dirinya bisa kabur lebih jauh.
“Brengsek itu.” Bahkan sang Ratu tidak tahan mengumpat. Chen Ran menipu mereka saja sudah keterlaluan, ternyata dia juga mengorbankan orang dalam sendiri. Sungguh tujuan gila, demi bertahan hidup dia tidak peduli apa pun.
“Tapi tindakannya ini justru memberi kita secercah harapan.” Han Sen menatap siluet Chen Ran yang menjauh sambil berkata dengan senyum dingin.
Sang Ratu paham maksud Han Sen. Mereka tetap berdiri di dalam kerangka tubuh tanpa bergerak sama sekali. Dari kejauhan terdengar jeritan-jeritan mencekam—Xu Dongjin dan kawan-kawan jelas tidak bisa lolos dari kejaran burung gagak dan red cloud mules.
Hanya belasan menit kemudian, Han Sen dan sang Ratu sudah mendengar empat kali jeritan. Xu Dongjin dan yang lain pasti sudah habis semua.
Setelah membunuh semua Xu Dongjin dkk, burung gagak dan red cloud mules kembali ke lokasi. Mereka melirik Han Sen dan sang Ratu di dalam kerangka tubuh dengan tatapan dingin, lalu langsung mengejar ke arah kaburnya Chen Ran.
“Aku hitung sampai 100, kita kabur dari arah kepala bersama. Hidup mati tergantung kali ini.” Han Sen mulai menghitung sambil mengaktifkan kunci gen, menggunakan indra spiritual untuk memantau pergerakan burung gagak dan kuda merah.
Makhluk-makhluk itu benar-benar mengejar ke arah Chen Ran. Barulah Han Sen sedikit lega, hanya menunggu mereka menjauh lebih jauh sebelum bersiap menerobos keluar bersama ratu.
Seratus digit terhitung cepat. Han Sen sudah tidak bisa merasakan kehadiran burung gagak dan kuda merah itu. Sepertinya mereka sudah mengejar cukup jauh.
Dua orang itu melesat seperti panah. Tapi baru saja berlari beberapa langkah, tiba-tiba Han Sen merasakan jantung berdebar-debar. Dengan panik ia menarik lengan ratu sambil berteriak: "Mundur ke dalam!"
Sorot mata ratu menyapu sekeliling. Meski tidak menemukan bahaya, ia sangat mempercayai Han Sen. Mendengar peringatan itu, langsung ia mundur sepenuhnya ke dalam tengkorak manusia.
Han Sen juga mundur, dia pun tidak melihat apa-apa. Tapi indra spiritualnya memberitahukan adanya bahaya besar yang berakibat fatal.
Han Sen mundur sepenuh tenaga ke dalam kerangka tubuh. Tapi baru sampai di depan tengkorak manusia, perasaan terancam itu semakin kuat. Kunci gen-nya sudah terbuka hingga batas maksimal, rasa krisis merayap masuk ke jiwanya.
Hampir dalam sekejap, aura cahaya menyambar otak Han Sen. Tanpa pikir panjang dia menerjang ke depan, lalu menyaksikan bayangan hitam melesat di posisinya yang tadi. Rentetan darah memancar di udara, bagaikan bunga-bunga yang mekar megah.
Han Sen hanya merasakan sakit seperti terbakar di punggungnya, tulang-tulangnya mungkin sudah terbelah. Kini dia tak sempat melihat lukanya, berguling-guling sambil merangkak masuk ke dalam kerangka. Meski jaraknya hanya sejengkal, bagi Han Sen ini bagai jurang antara hidup dan mati.
Burung gagak yang gagal membunuh Han Sen dalam satu serangan langsung mengamuk. Dengan sayap raksasa yang bergetar liar, tubuhnya menghilang lagi. Saat muncul kembali, bulu sayapnya yang tajam bagai senjata legendaris sudah menyayat daging di tengkuk Han Sen.
Dalam hati Han Sen berteriak: "Inilah akhirnya!"
Burung gagak ini terlalu mengerikan. Dia bahkan tak punya kesempatan untuk menghindar.
Tepat di detik kritis ketika kepala Han Sen hampir terpenggal, rotan kering yang melilit kerangka tiba-tiba bergerak.
Seperti ular-ular berbisa yang melilit burung gagak yang terbang masuk ke dalam kerangka, langsung mengikatnya. Meski burung gagak itu sangat tangguh, ternyata tak mampu memotong rotan kering itu.
Han Sen bangkit sambil gemetar ketakutan. Ternyata, karena terlalu bernafsu membunuhnya, tubuh burung gagak tadi telah masuk ke dalam radius kerangka. Badannya terjerat oleh sulur-sulur rotan kering berbentuk labu, meronta-ronta tak bisa kabur maupun memutuskan rotan itu.
Han Sen tertegun seperti patung. Meski otaknya dipaksa berpikir keras, tak disangka rotan labu kering ini memiliki daya hancur mengerikan yang mampu mengurung burung gagak.
Baru sekarang Han Sen paham. Bukan kerangka yang ditakuti makhluk-makhluk mutan itu, melainkan sulur rotan labu inilah momok mereka. Itulah sebabnya mereka tak berani mendekat.
Memikirkan sebelumnya dirinya ternyata pernah memetik labu di rotan kering itu, Han Sen sekarang merasa kulit kepalanya bergidik.
Di dalam pelukan Han Sen, labu rotan kering itu kembali memancarkan gelombang seperti detak jantung, dan kali ini jauh lebih kuat daripada sebelumnya.
Han Sen mengeluarkan labu rotan kering itu, menggenggamnya di tangannya. Masih bisa merasakan getaran seperti jantung di dalamnya. Kali ini Han Sen sangat yakin: ini sama sekali bukan ilusi. Denyut lemah di dalam labu itu seperti jantung bayi dalam embrio - meski rapuh, tapi mengandung vitalitas yang tak terucapkan.
