Hutan persik tak berujung bagai sapuan merah di ufuk langit, menyerupai kemerahan pipi gadis pemalu. Keindahannya begitu muda dan penuh vitalitas.
Saat Han Sen mendekati hutan persik itu, ia tak bisa menahan decak kagum. Pepohonan persik berkelok-kelok menjalar, dipenuhi kuntum bunga merah muda yang mekar sempurna. Hamparan bunga yang menyatu dengan langit dan bumi ini memiliki keindahan yang tak terucapkan.
Aroma wangi bunga persik sudah tercium dari kejauhan, manis dan menyegarkan pikiran bagai wewangian alami tubuh seorang gadis.
Gajah Tulang Mengamuk yang sebelumnya berlari kencang dengan mata merah menyala, perlahan mengurangi kecepatannya di tepi hutan persik. Alih-alih menyeruduk secara brutal, makhluk itu justru dengan hati-hati menghindari batang pohon, seolah takut membangunkan gadis cantik yang sedang tertidur lelap, lalu masuk ke dalam hutan dengan langkah gemulai.
Dan warna merah darah pada tubuh Bone Elephant yang mengamuk itu perlahan memudar, membuat Han Sen dan Wang Yuhang tertegun seperti patung. Mereka belum pernah melihat makhluk mengamuk bisa keluar dari status mengamuknya.
"Sepertinya Bone Elephant itu tidak benar-benar mengamuk. Transformasi aneh sebelumnya mungkin hanya salah satu kemampuannya," kata Han Sen sambil berpikir.
"Pasti begitu. Apa kita ikut masuk?" Wang Yuhang melirik ke dalam hutan persik, tapi tidak berani melangkah masuk.
"Begini saja, Paman Kecil. Kamu pulang dulu dan tunggu kami di perlindungan Setan. Kami yang akan memeriksa ke dalam." Han Sen memang agak khawatir jika Wang Yuhang ikut, takut terjadi sesuatu.
"Baiklah." Wang Yuhang mengangguk cepat, lalu berbalik dan langsung kembali ke perlindungan Setan. Han Sen terkejut melihat respon cepatnya - biasanya paman ini tidak pernah sekooperatif ini.
Tiba-tiba Han Sen tersadar, Wang Yuhang baru saja sok jago di Perlindungan Setan, ini rencananya pulang untuk lanjut beraksi di babak kedua.
Han Sen tak sengaja mengusap keringat dingin di dahinya, paman kecil Wang Mengmeng ini benar-benar tokoh aneh, tapi memang berbeda dari yang lain.
"Apa kamu mau pulang dulu menunggu aku?" Han Sen menoleh ke Zero yang terus diam di sampingnya.
Zero tidak berbicara, hanya mendekat ke sisi Han Sen, sikapnya sudah jelas.
Han Sen tidak berkata lagi, membawa Zero masuk ke hutan bunga persik. Dengan Si Perak Kecil, seharusnya tidak ada bahaya. Paling-pain kalau ada makhluk berani mendekat, mereka tinggal kabur, itu bukan masalah besar.
Warna darah di tubuh gajah tulang itu perlahan memudar, kembali ke warna abu-abu keputihan aslinya. Karena berjalan sangat lambat, seolah takut melukai pohon-pohon persik, Han Sen dan Zero dengan mudah mengikutinya, terus bergerak maju di tengah hutan persik.
Luas hutan persik ini benar-benar tak terbatas. Tak tahu seberapa besarnya, setelah mengikuti gajah tulang berjalan sehari semalam di dalam hutan, pemandangan yang terlihat masih hamparan bunga merah muda yang menutupi langit dan bumi.
Gajah tulang itu melangkah dengan sangat hati-hati, seolah berjalan di atas tanah suci, khawatir mengotori sesuatu.
Han Sen mengamati ke sekeliling, hanya melihat pohon persik dan bunga persik saja. Tak terlihat keistimewaan apapun di hutan ini. Sepanjang perjalanan, bahkan satu makhluk mutan pun tak terlihat.
Meski ada Si Perak Kecil, seharusnya masih bisa melihat beberapa makhluk mutan dari kejauhan. Tapi sejak masuk ke hutan persik, selain gajah tulang itu tak ada bayangan hantu sekalipun yang terlihat.
Han Sen sesekali mengaktifkan gembok gen, menggunakan indra spiritualnya untuk merasakan bahaya, tapi sama sekali tidak mendeteksi adanya ancaman.
Si Perak Kecil juga tidak mengeluarkan peringatan apa pun, hanya diam-diam tiarap di pelukan Zero.
Bulan perak menggantung di langit, hamparan bunga persik terlihat semakin cantik memikat di bawah cahaya bulan. Angin sepoi-sepoi berhembus, membuat lautan bunga bergoyang lembut dengan kelopak-kelopak yang menari-nari di udara, begitu indahnya hingga tak seperti dunia fana.
Han Sen dan Zero duduk di punggung Golden Roar. Han Sen melirik Zero yang dikelilingi tarian kelopak persik. Wajah ayunya yang bersinar di bawah rona bunga persik dan cahaya bulan, begitu cantik tak tergambarkan.
Han Sen tidak tahan lagi mengulurkan tangan memetik setangkai kecil bunga persik dan menyelipkannya di rambut Zero. Barulah ia merasa sempurna.
"Memang, sekarang jadi lebih cantik," puji Han Sen sambil memandang Zero yang hampir menyatu dengan hujan bunga persik, hingga tak bisa dibedakan mana keindahan bunga dan mana pesona manusia.
Zero yang biasanya tidak banyak mengekspresikan diri, tiba-tiba pipinya menunjukkan secuil kemerahan yang mencurigakan. Kecantikannya menjadi semakin sulit dipahami, bahkan tiga tingkat lebih mempesona dibanding bunga persik, bagaikan dewi yang turun dari antara kelopak-kelopak persik.
Tulang Gajah berjalan selama beberapa hari di hutan persik. Hampir saja Han Sen mengira labirin bunga ini tak berujung, tiba-tiba matanya menangkap pohon persik raksasa yang batangnya meliuk seperti naga sejati menjulang ke langit. Kelopak-kelopaknya berkilauan layaknya bintang-bintang yang tersebar, memancarkan cahaya redup yang aneh.
Tulang Gajah itu ternyata bergerak menuju pohon persik supernatural yang berukuran luar biasa besar itu.
"Apa sebenarnya pohon persik raksasa yang aneh ini?" gumam Han Sen sambil mengawasi dari kejauhan. Perasaannya semakin tidak karuan, seolah menyaksikan sesuatu yang melampaui logika.
Namun inspirasinya tidak merasakan bahaya, Si Perak Kecil juga tidak menunjukkan reaksi apapun, hanya sepasang matanya yang menatap tajam ke arah pohon persik sambil terus berputar-putar tak karuan, seolah sedang memikirkan sesuatu yang misterius.
Karena sudah sampai sejauh ini, Han Sen tentu ingin melihat jelas tujuan sebenarnya sang gajah tulang. Dari kejauhan ia mengikuti gerak-gerik makhluk itu, namun tetap menjaga jarak aman dan tidak berani mendekat berlebihan.
Benar saja, gajah tulang raksasa itu menuju langsung ke pohon persik kolosal. Tubuhnya yang luar biasa besar tiba-tiba terlihat lebih normal ketika dibandingkan dengan dimensi pohon raksasa tersebut, seolah keduanya berada dalam skala proporsi yang seimbang.
Dengan langkah hati-hati, gajah tulang mendekati pangkal pohon. Kedua kaki depannya tiba-tiba tertekuk saat makhluk itu membungkuk dalam-dalam, menyungkurkan kepalanya ke tanah seolah melakukan ritual sembahyang kepada sang pohon purba.
Han Sen tertegun seperti patung, seolah-olah gajah tulang yang merupakan Makhluk Dewa Super dengan tenaga luar biasa ini, ternyata bersujud pada sebatang pohon persik. Ini sungguh sulit dipahami, nyaris tak bisa dipercaya.
"Apa sebenarnya asal-usul pohon persik ini? Mungkinkah ini spesies Makhluk Dewa Super yang lebih kuat dari gajah tulang? Kalau tidak, mengapa gajah tulang mau bersujud padanya?" Hati Han Sen bergejolak, matanya terus mengawasi gajah tulang yang masih membungkuk di hadapan pohon itu tanpa bangun.
Tapi adegan berikutnya malah semakin mencengangkan.
Di bawah sinar bulan perak, gajah tulang itu bangkit dan bersandar di bawah pohon persik. Ajaibnya, ia duduk bersila layaknya manusia, bagaikan patung Buddha yang sedang bermeditasi di tengah hujan kelopak bunga.
Cahaya bulan menyapu bersih, kelopak bunga beterbangan. Raga gajah tulang itu, mirip kelopak bunga persik yang aneh, mulai memancarkan kilau kristal.
Tubuh tulang yang awalnya abu-abu keputihan, kini berkilau jernih seperti marmer putih, memancarkan cahaya suci.
Bahkan mata merah darah sang Gajah Tulang pun perlahan kehilangan warna kemerahan, berubah jernih dan tenang, tanpa sedikitpun aura pembunuhan yang ganas.
Seluruh tubuh Gajah Tulang di bawah pohon persik itu hampir menyerupai patung Buddha suci yang sempurna tanpa cacat, seluruh raganya diselubungi cahaya suci.
"Apa yang terjadi di sini?" Han Sen semakin tercengang menyaksikan pemandangan ini.
