Melihat Han Sen yang perlahan berdiri kembali, dada banyak orang seolah dipenuhi sesuatu yang menggelegak, membuat dada mereka sesak hingga nyaris tak tertahankan.
Sementara sorot mata Putra Cahaya pada Han Sen telah kehilangan nada meremehkan sebelumnya, digantikan oleh secuil kesungguhan. Baru saat ini ia benar-benar menganggap Han Sen sebagai lawan sejatinya.
"Mulai sekarang, aku akan memperlakukanmu sebagai musuh. Jika kau mundur sekarang, masih ada waktu. Jika tidak, musuhku tak mungkin hidup di dunia ini." Putra Cahaya menatap Han Sen dengan tegas.
Tanpa sepatah jawaban pun, Han Sen langsung menghantamkan tinjunya ke arah lawan.
Akhirnya tubuh Putra Cahaya bergerak. Seluruh dirinya masih bagai berkas cahaya, dalam sekejap melesat melewati hadapan Han Sen. Busur-busur cahaya putih menyala-nyala bersilangan menghujam tubuh Han Sen.
"Aduh!" Badan Han Sen terlempar ke udara oleh hantaman itu. Di atas zirah ungu pekatnya, darah beterbangan bak peoni merah merekah di angkasa.
Dor!
Raga Han Sen jatuh dengan keras di podium pertarungan. Di podium penonton, suasana sunyi senyap bagai kuburan. Kekuatan dan kekebalan Putra Cahaya membuat mereka terpana.
Namun di kedalaman hati, masih tersisa secuil harapan kecil-kecilan.
"Berdirilah!" Teriak hati orang-orang. Namun suara itu tak berani mereka lantangkan, karena harapan itu terlalu hina namun terlalu sulit terwujud. Bahkan mulut mereka kelu mengatakannya.
Bagai korek api yang dinyalakan di tengah angin topan. Mereka berharap nyala kecil itu bisa terus berkobar, namun khawatir jika sekadar bernapas, kobaran itu akan padam oleh hembusan mereka sendiri.
Meski diam, hati mereka paham: Di tengah badai sehebat ini, bagaimana mungkin api kecil itu bertahan? Nyaris pasti akan segera dipadamkan oleh amukan angin.
Han Sen bukanlah percikan api kecil, sehingga dia kembali berdiri. Baju zirah ungu tua di tubuhnya retak-retak, mengeluarkan darah yang merembes. Namun posturnya tetap tegak bagai tiang.
Tinju itu kembali menghantam anak dewa cahaya.
Anak dewa cahaya mendengus dingin, tubuhnya bergerak lincah. Sinar putih menyala-nyala terus menerus menyayat tubuh Han Sen, menyemburkan percikan darah.
Han Sen berusaha menghindar, tapi kecepatan anak dewa cahaya terlalu dahsyat. Tak bisa dilihat apalagi dielakkan. Berkali-kali dia tumbang, bangkit lagi, lalu dipukul jatuh. Retakan di baju zirahnya saling bersilangan seperti peta perang.
Baju zirah ungu tua itu kini merah kecokelatan oleh darah, memancarkan kilau merah keunguan.
“Jangan bertarung lagi, menyerahlah.” Para wanita yang lemah hati sudah mengalirkan air mata, tidak tahan lagi menutup mulut sambil berteriak. Mereka tidak ingin melihat Koin Emas terus menunjukkan keteguhan seperti ini, tidak mau menyaksikan Koin Emas dipukuli sampai mati.
Han Sen tidak bisa mendengar suara mereka. Bahkan jika mendengar pun tidak akan menghiraukan. Penampilannya terlihat memilukan, namun sebenarnya tidak separah yang terlihat.
Jika diganti dengan baju zirah biasa, dia pasti sudah hancur. Di bawah serangan mengerikan yang berulang kali itu, baju zirah biasa tidak akan bertahan dan akan mengalami retakan parau.
Namun baju zirah Semut Iblis secara intrinsik memiliki kemampuan pemulihan yang kuat. Ditambah Han Sen mensimulasikan teknik aliran aura Semut Iblis untuk mengoordinasikannya, baju zirah Semut Iblis berulang kali menahan serangan tanpa mengalami kerusakan struktural.
Kerusakan yang diderita sebelumnya telah pulih sepenuhnya dalam beberapa serangan berikutnya, sehingga Han Sen bisa bangkit sekali demi sekali. Tanpa perlindungan Baju Zirah Raja Semut Iblis, dia pasti sudah tercabik-cabik oleh Anak Dewa Cahaya.
Han Sen terus dijatuhkan, namun bangkit berulang kali untuk mengayunkan tinju ke arah Anak Dewa Cahaya. Meski dari awal hingga akhir, dia tak pernah berhasil menyentuh ujung gaun Anak Dewa Cahaya sekalipun.
Tapi ini bukanlah aksi ceroboh Han Sen. Kecepatan Anak Dewa Cahaya terlalu dahsyat. Dia tak mampu mengikuti kecepatannya, juga tak bisa menahan serangannya, apalagi mengalahkan Sang Anak Dewa.
Karena itu Han Sen harus bisa menguasai orbit serangan Anak Dewa Cahaya, harus bisa menyentuhnya. Barulah dia mungkin mengalahkan Sang Anak Dewa.
Teknik strategi Yitian Shu dapat memprediksi orbit serangan lawan dan melakukan respons antisipatif, seperti menghindari peluru. Menunggu lawan menembak baru menghindar sudah terlambat, harus menghindar saat lawan baru mengangkat tangan. Hanya dengan demikian ada kesempatan.
Teknik Jing Dongxuan juga mampu melakukan hal serupa, bahkan bisa lebih baik.
Tapi karena kecepatan anak dewa cahaya begitu tinggi, Han Sen bahkan tidak bisa melihat jelas gerakan tangannya, apalagi menghindar.
Karena itu yang harus dilakukan Han Sen sekarang adalah memahami secara jelas orbit pergerakan anak dewa cahaya.
Bila orang lain dengan kesenjangan kemampuan sebesar ini, pasti tidak bisa. Tapi Han Sen memiliki aura Dongxuan. Dari tadi hingga sekarang, dia terus mengamati teknik aliran aura anak dewa cahaya menggunakan aura Dongxuan.
Manusia belum bergerak, aura sudah lebih dulu bergerak. Aliran aura dalam tubuh anak dewa cahaya tidak akan menipu. Selama Han Sen bisa menguasai teknik aliran aura-nya, dia akan bisa memprediksi orbit serangannya lebih awal, dan melakukan respons yang lebih cepat.
"Sebentar lagi, beri aku sedikit waktu." Dalam pertempuran yang tak henti-hentinya, aliran aura anak dewa cahaya perlahan mulai terpampang jelas di hadapannya, membuatnya semakin mampu memprediksi pola pergerakan sang anak dewa.
Tapi para penonton manusia yang menyaksikan pertarungan melihat Han Sen terus-menerus dijatuhkan lalu bangkit lagi. Baju zirahnya sudah basah kuyup oleh darah, membuat banyak orang merasakan dada mereka terasa sesak bagai akan meledak.
Dor!
Han Sen kembali dihantam serangan cahaya putih menyala-nyala. Kepalanya menghantam tanah dengan keras, meninggalkan parit batu sedalam puluhan sentimeter dan sepanjang beberapa meter. Pemandangan itu membuat semua yang melihatnya gemetar.
Sebenarnya serangan ini bagi Han Sen tidak berbeda dengan serangan sebelumnya, tidak berakibat fatal baginya. Hanya saja lehernya agak terkilir. Han Sen tidak bisa langsung bangkit, melainkan memutar lehernya sebentar.
Namun gerakan Han Sen ini di mata para penonton manusia, tiba-tiba menghancurkan pertahanan psikologis banyak orang.
Menurut mereka, Han Sen sudah dipukul sampai hampir tidak bisa berdiri, tubuhnya berubah bentuk dan berdistorsi. Terlihat hampir tewas, tapi tetap gigih meronta-ronta ingin bangkit melanjutkan pertarungan. Semangat juang yang begitu mengerikan namun berharga!
Bahkan beberapa orang yang awalnya tidak menyukai koin emas, kini tidak tahan lagi merasakan darah berdesir panas di seluruh tubuh.
"Dewa B, berdiri!" Entah siapa yang pertama meneriakkan, hampir semua penghuni perlindungan manusia mengaum bersahutan.
Apapun status hina mereka, entah koin emas bisa mendengar atau tidak, bahkan ketika koin emas terlihat hampir tak berdaya—mereka hanya ingin berteriak. Hanya berharap bisa menyaksikan koin emas itu berdiri lagi. Seolah-olah dengan bangkit, harapan akan muncul.
Han Sen tentu tak mendengar suara mereka. Ia hanya memutar-mutar lehernya hingga merasa lebih baik, lalu berdiri. Namun di mata orang luar, gerakan ini seakan koin emas mendengarkan teriakan mereka, termotivasi oleh sorak-sorai, benar-benar bangkit. Membuat mereka dilanda kegembiraan dan keharuan yang tak terucapkan. Tubuh mereka gemetar tak terkendali karena emosi yang meluap.
Bahkan sang Ratu yang membenci mati-matian Han Sen, saat menyaksikan adegan ini, hatinya berdesir. Tinjunya mengepal erat-erat. Meski tak berteriak, di lubuk hati terselit harapan akan sesuatu.
"Dewa B!" Fang Mingquan juga menyaksikan pertarungan ini. Meski biasanya fasih saat memandu acara, kini ia hanya bisa meneriakkan dua kata ini sekuat tenaga.
Anak Dewa Cahaya yang sekuat dewa itu, kini terlihat secuil kepanikan di matanya. Ia baru menyadari baju zirah Han Sen ternyata bisa memperbaiki diri dengan cepat.
Yang lebih mengerikan, ia tak pernah berhasil menyerang luka yang sama dua kali berturut-turut.
