Tapi bahkan Phoenix Api Hitam dan makhluk mengerikan dalam awan kelam pun tak berani mendekat saat ini, apalagi Han Sen. Ia hanya bisa menonton pasrah darah suci terjatuh ke pasir hitam.
Roar!
Badak putih kembali mengaum ke langit, daging di tubuhnya retak seperti bebatuan gunung yang runtuh, membawa genangan besar darah yang jatuh ke pasir hitam.
Han Sen memandang takjub, badak putih ini terlalu besar, tayangannya hampir seperti gunung runtuh, seolah sebuah gunung giok mengalirkan darah.
Roar!
Daging badak putih mulai retakan parau, sudah mulai terlihat tulang putih di dalamnya, aliran cahaya suci bak air terjun mengalir dari raganya, suara roar-nya dipenuhi kesakitan, teriakan menyayat hati.
"Kalau sudah tahu akan berakhir seperti ini, untuk apa sebelumnya begitu rakus sampai harus meledak?" Han Sen menghela nafas dalam hati. Bagaimana pun dilihat, badak putih ini sudah pasti akan runtuh, tak mungkin bertahan lagi.
Boom!
Daging badak putih terus terkikis, semakin banyak darah yang terkuras hingga tak mampu menjaga keseimbangan. Cahaya sucinya suram, akhirnya dengan gemuruh ia berbaring di pasir hitam.
Seluruh area Gurun Hitam telah diwarnai merah oleh darah suci badak putih. Lubang pasir besar itu kini berubah menjadi sungai darah. Badak putih terlihat nyaris tak bernyawa, hanya mengeluarkan raungan lemah. Raga-nya yang sudah menampakkan tulang putih itu gemetar hebat. Rasa sakit saat daging terpisah dari tulang ini sungguh sulit dibayangkan.
Melihat badak putih sudah benar-benar kehilangan kemampuan tempur, Han Sen memandang Phoenix Api Hitam dan makhluk di balik awan kelam. Ia merasa ini saatnya mereka bertindak.
Namun meski terlihat sangat tergesa-gesa, mereka masih belum turun dari langit.
Saat Han Sen sedang mengerutkan kening, tiba-tiba terdengar gemuruh di sekelilingnya. Suaranya bagaikan lautan pasukan yang sedang menggeram mendekat.
Ketika menoleh ke arah suara itu, Han Sen langsung terkejut. Di bawah langit, di atas tanah, berbagai jenis makhluk mutan berlarian kencang menuju ke tempat ini.
Apa itu ular, serangga, tikus, semut; apa itu elang, angsa, burung; apa itu serigala, beruang, harimau - langit dan bumi dipenuhi kerumunan hitam legam. Bak tsunami, mereka menerjang dari segala penjuru ke arah badak putih yang nyaris hanya menyisakan kerangka.
Han Sen segera memanggil malaikat kecilnya, bersiap memasuki status pertempuran. Makhluk mutan dalam jumlah besar ini mendekat, mungkin akan menjadi pertempuran sengit.
Tapi makhluk-makhluk itu sama sekali tidak mengacuhkannya, langsung menerobos melewati sisinya. Pandangan mereka seolah hanya tertuju pada badak putih itu.
Di antara makhluk-makhluk ini, banyak yang pernah diliat Han Sen. Kebanyakan bukan makhluk mutan level tinggi - ada yang level purba, ada yang tingkat mutasi, tentu juga yang level darah suci.
Mereka seolah dipanggil oleh sesuatu, mengabaikan segala sesuatu di sekitarnya. Hanya mati-matian menyerbu gajah tulang putih yang hampir mati itu.
Han Sen hanya bisa menonton mereka menerobos, tiba-tiba mendengar kicauan burung yang melengking terdengar. Seketika api hitam yang menyelimuti langit dan bumi menerjang, membakar langsung banyak makhluk mutan hingga mati. Genangan besar makhluk mutan tenggelam dalam lautan api.
Ternyata Phoenix hitam itu mengibaskan sayapnya menghasilkan gelombang api hitam, menghentikan gerak makhluk-makhluk mutan yang menuju badak putih.
Dari awan kelam itu terdengar raungan menggelegar. Petir hijau kebiruan menyebar seperti jaringan langit, menghantam semua makhluk terbang yang menuju badak putih hingga menjadi arang.
Seekor makhluk hijau kebiruan mirip Kylin melesat keluar dari awan, seluruh tubuhnya memancarkan tekanan wibawa yang mengerikan.
Pembantaian! Sebuah pertandingan pembantaian massal!
Banjir darah menggenang, tumpukan mayat bagai gunung. Makhluk-makhluk mutan itu seperti tak mempedulikan nyawa, terus menerjang badak putih.
Sementara dua Makhluk Dewa Super yang mengerikan justru menghalangi mereka mendekati badak putih. Api hitam yang kejam dan petir hijau membakar dan menghancurkan banyak makhluk mutan, tak satu pun yang bisa mendekati badak putih.
Han Sen terpana menyaksikan para makhluk mutan itu, yang ternyata sama sekali tak menghiraukan Kewibawaan Ilahi kedua Makhluk Dewa Super, tetap nekat menyerbu badak putih tanpa takut mati.
Langit-bumi tiba-tiba menjadi medan pertempuran sengit. Jutaan nyawa musnah seketika. Bahkan dua Makhluk Dewa Super pun kesulitan membasmi semuanya. Mereka mundur ke tepi lubang pasir besar, burung dan binatang masing-masing menjaga satu sisi, mempersempit cakupan pembantaian. Hanya dengan begitu mereka bisa menahan serbuan makhluk mutan bagai air pasang.
Baru pada detik ini Han Sen paham apa itu pembantaian. Dibandingkan dengan ini, perburuan manusia terhadap makhluk mutan terasa terlampau kalah. Jutaan makhluk mutan menjerit kesakitan dalam kobaran api, namun tetap nekat menerjang badak putih dengan tubuh yang masih membara.
Dalam gemuruh hujan petir, sosok raksasa yang telah menghitam legam akibat ledakan itu merangkak menyakitkan menuju lubang pasir besar, bagaikan iblis jahat yang keluar dari neraka.
Han Sen merasa heran: "Kenapa dua makhluk dewa super ini tidak merebut daging badak putih sendiri, malah sibuk menghalangi makhluk-makhluk mutan lain?"
"Jika mereka mengira badak putih itu belum benar-benar mati dan masih menyimpan kekuatan, seharusnya biarkan makhluk-makhluk mutan ini maju sebagai pasukan pelopor."
Tapi mereka justru mencegah semua makhluk mutan mendekati badak putih yang sedang sekarat, sementara diri mereka sendiri juga tak berniat menyerbu. Ini membuat Han Sen dipenuhi kebingungan.
Roar!
Daging dan darah telah terpisahkan, badak putih yang hampir hanya menyisakan kerangka tubuh kembali mengeluarkan suara geraman. Namun saat ini aura sebelumnya telah sirna sama sekali, meninggalkan perasaan cemas bagi yang mendengarnya, bahkan agak ingin meneteskan air mata.
Di dalam rongga mata yang kosong tak berisi milik badak putih itu, ternyata setetes air mata jatuh mengalir.
Di dalam rongga mata yang dipenuhi darah tersebut, setetes air mata ini terlihat begitu suci dan murni, bagaikan permata Santo Roh yang berkilauan memancarkan cahaya redup kesucian.
Han Sen menyaksikan tetesan air mata itu jatuh ke dalam darah beku, cahayanya tertutupi, sementara raga badak putih itu gemetar seolah ingin berusaha berdiri.
Dengan tubuhnya yang meronta-ronta, daging dan darah berjatuhan dari atasnya, menyisakan hanya rangka tulang putih. Meski demikian, badak putih itu tetap berdiri, kerangkanya yang terpampang di atas sungai darah dan gunung daging terlihat sangat mencolok, meninggalkan kesan yang mengerikan.
Saat ini, tidak tersisa sedikit pun cahaya suci pada tubuhnya, jauh kehilangan wibawa sebelumnya. Ia terlihat seperti rangka tulang biasa yang gemetar diterpa angin, seolah akan bubar kapan saja.
Roar!
Badak putih yang hanya menyisakan kerangka itu kembali mendongak menggeram ke langit, suaranya bergema di bawah langit malam dan cahaya bulan yang terang, terasa penuh kemurungan.
Sedikit cahaya suci menyala di ujung tanduk badak putih itu, bagai secercah cahaya bintang murni di hamparan langit malam.
Cahaya suci di tanduk badak putih itu semakin membara, dengan cepat membuat seluruh tanduknya dilalap api suci yang putih menyala-nyala, bagai obor yang menyala dengan nyala suci yang semakin panas dan menyilaukan.
Belum berakhir di situ, cahaya suci di tanduk itu perlahan menyebar ke kerangka badak putih, membuat tulang-tulangnya mulai berangsur-angsur menyala dengan cahaya suci.
Di bawah langit malam, cahaya itu semakin terang benderang. Bagian demi bagian kerangka badak putih tertular cahaya suci, berubah menjadi kobaran api raksasa yang membungkus seluruh tubuh badak putih dalam lautan api suci.
"Roar!" Badak putih itu kembali mendongak mengaum ke langit, seakan mendeklarasikan perang pada takdir kejam. Cahaya suci dari tubuhnya meledak bagai letusan gunung berapi, menerangi seluruh gurun secerah siang bolong.
