"Kamu masih berkeliaran di luar untuk apa? Cepat kembali!" Begitu Han Sen mendekati kota kecil, seseorang di atas gerbang kota langsung berteriak padanya.
Han Sen belum memahami situasi. Setelah masuk ke dalam kota, dia mendapati semua orang bermuram durja, seolah baru mengalami musibah.
Ini adalah kota kecil tingkat Ksatria dengan populasi manusia minim, total hanya sekitar 20-30 orang. Di Perlindungan Suci Tuhan ketiga, mengumpulkan 20-30 manusia di kota sekecil ini sudah bisa disebut pencapaian luar biasa.
“Kakak, di sini terjadi apa?” Han Sen menahan seorang pria paruh baya bertanya.
“Di masa lalu kenapa aku tidak pernah melihatmu, kamu anggota baru ya?” pria paruh baya itu melihat Han Sen bertanya.
“Baru saja datang.” Han Sen menjawab.
“Hokimu benar-benar buruk, seharusnya bisa acak datang ke perlindungan manusia adalah hal bagus, tapi perlindungan kita ini mungkin tak mampu mempertahankan.” pria paruh baya itu berkata dengan sedih.
“Kenapa tak mampu mempertahankan?” Han Sen cepat mengejar bertanya.
Pria paruh baya itu agak pasrah berkata: “Awalnya di sekitar sini hanya ada satu tempat perlindungan makhluk aneh, 20 tahun lebih yang lalu kami berhasil merebutnya, perlahan baru ada orang-orang ini. Tapi beberapa hari lalu, di pegunungan Utara, ada seekor makhluk mutan melintasi pegunungan datang ke sini, menemukan tempat perlindungan kami, dan makhluk itu milik sebuah perlindungan bangsawan roh di pegunungan, sekarang tuan perlindungan bangsawan roh itu sudah memutuskan untuk menyerang kami, beberapa hari lagi akan tiba di sini.”
"Bagaimana kalian tahu semua ini?" Han Sen bertanya dengan terkejut.
Secara prinsip, seharusnya mereka tidak mungkin mengetahui keberadaan tempat perlindungan bangsawan itu.
"Di tempat perlindungan makhluk aneh itu ada rekan manusia kita. Dialah yang nekat memberi kabar pada kami, meminta kami segera menyusun strategi. Tapi personel kami sangat terbatas, mana ada strategi penanggulangan? Sekarang semua sedang berdiskusi, apakah akan meninggalkan kota atau bertarung sampai titik darah penghabisan dengan makhluk aneh itu," kata pria paruh baya itu.
Han Sen akhirnya mengerti situasinya. Di sini hanya ada 20-30 manusia, dan memang tidak ada yang benar-benar kuat. Ingin melawan sebuah tempat perlindungan bangsawan jelas mustahil.
Saat sedang bergolak dalam pemikiran, tiba-tiba terdengar dentang lonceng dari alun-alun kota kecil.
"Ayo, Kakek Huang sedang mengumpulkan semua orang di alun-alun," kata pria itu sambil bergegas menuju alun-alun.
Seluruh penghuni kota berduyun-duyun menuju alun-alun. Han Sen pun mengikuti kerumunan itu.
"Jika di hari biasa, kedatangan anggota baru pasti akan ditanyai banyak orang tentang keadaannya. Tapi sekarang tak banyak yang punya mood untuk itu. Wajah mereka semua tanpa senyum, terlihat sangat muram."
Yang menabuh lonceng adalah seorang kakek berambut dan berjanggut putih, kemungkinan adalah "Kakek Huang" yang disebut pria paruh baya tadi.
Kakek Huang memandang sekeliling setelah semua berkumpul. Matanya menangkap wajah baru Han Sen, tapi tak berkomentar. Sekarang bukan waktu untuk menyambut anggota baru.
"Dua hari ini kalian pasti sudah cukup mempertimbangkan. Waktu kita tak banyak. Sekarang kita voting: pergi atau bertahan?" Kakek Huang menatap kerumunan. "Yang setuju pergi, angkat tangan!"
Dua tiga puluh orang saling pandang. Akhirnya sebagian besar mengangkat tangan mereka.
"Pergi juga baik. Mari putuskan begitu." Kakek Huang berkata dengan getir. "Siapkan barang-barang kalian. Besok kita berangkat."
Ucapan Kakek Huang telah selesai, tapi tak ada yang bergerak. Semua tahu pergi adalah pilihan terbaik - bertahan berarti jalan buntu.
"Tapi meninggalkan perlindungan ini, mereka sama sekali tidak tahu harus pergi ke mana, juga tidak mengetahui seperti apa takdir masa depan nanti."
Beberapa anggota yang lebih senior, yang telah menghabiskan belasan hingga dua puluh tahun di sini—banyak di antaranya adalah pasukan inti yang dulu merebut perlindungan ini—kini dipaksa meninggalkan kota. Kebingungan dan kepedihan di hati mereka bisa dibayangkan.
"Pulanglah semua." Ekspresi Huang Lao juga dipenuhi kepasrahan. Seandainya bisa, tak ada yang ingin pergi. Setelah 20-30 tahun di sini, tempat ini pantas disebut rumah kedua mereka. Tapi bertahan berarti tewas—realitas memang sekejam itu, tanpa celah untuk negosiasi.
Kecuali mereka mau tunduk pada makhluk roh dan menjadi budaknya—itu pun harus dilihat apakah sang entitas spiritual mau menerima. Jika dianggap tak layak, meski bersedia menyembah, nasib mereka tetap akan berakhir tragis.
Daripada menyerahkan takdir ke tangan bangsa asing, mereka lebih memilih pergi dan mengambil risiko. Setidaknya nasib masih ada di genggaman sendiri, tanpa harus menjadi budak ras lain.
Meski paham dalam hati adalah satu hal, meninggalkan rumah dan mata pencaharian adalah hal lain yang menimbulkan kepedihan dan kecemasan di hati.
Han Sen terus mengamati energi vital para personel ini. Meski tidak bisa dibilang sangat kuat, ada beberapa yang cukup solid. Walau hanya 20-30 orang, kekuatan mereka tergolong cukup baik.
"Bolehkah para senior mendengarkan beberapa patah kata saya?" Han Sen merenung sejenak lalu berdiri dan berkata.
Sorot mata semua orang tertuju pada Han Sen. Tuan Huang sejak tadi sudah memperhatikan anggota baru ini. Ia mengangguk: "Katakanlah apa yang ingin kau sampaikan. Di sini kita adalah satu keluarga, tidak perlu ragu-ragu."
"Menurutku kita harus bertempur." Sorot mata Han Sen menyapu wajah semua orang yang hadir, dengan tatapan menyala-nyala ia melanjutkan.
Huang Lao tersenyum pahit: "Anak muda, perasaanmu saya pahami. Tapi di tempat perlindungan makhluk aneh itu ada roh bangsawan. Jumlah makhluk bermutasi dan roh bangsawan di bawahnya tak kurang dari lima belas. Meski hanya membawa separuhnya, itu tetap di luar kemampuan kita. Jika bertarung mati-matian, mungkin tak satu pun dari kita yang bisa selamat."
"Kamu kira kalau bisa menang kami mau pergi?" seseorang berkata dengan getir.
Han Sen hendak berbicara, tapi pemuda yang berdiri di sisi Huang Lao tadi—yang bertugas membagikan kertas dan pulpen—tiba-tiba menunjuk Han Sen dengan terkejut: "Kamu Han Sen?"
"Saya Han Sen." Han Sen mengangguk pelan.
"Xiao Yu, kamu kenal pemuda ini?" Huang Lao menatap si pemuda.
"Han Sen! Dia Han Sen! Menantu laki-laki Pemimpin Negara Ji itu! Yang mengalahkan keluarga kerajaan Shura!" kata Xiao Yu dengan bersemangat.
Begitu Xiao Yu mengatakan itu, beberapa orang yang usianya tidak terlalu lanjut langsung mengenali Han Sen. Sedangkan anggota senior yang lebih berumur dan kurang memperhatikan urusan ini pun pernah mendengar nama Han Sen, mereka semua memandanginya dengan terkejut.
"Jika Saudara sekalian ingin bertarung, aku bersedia membantu sekuat tenaga untuk mempertahankan tempat perlindungan ini. Setelah memenangkan pertempuran ini, kita akan melancarkan serangan balik dan menjatuhkan tempat perlindungan bangsawan itu juga," kata Han Sen.
"Xiao Han, kami juga sangat ingin melakukan itu. Tapi bagaimana mungkin kita bisa bertarung jika kekuatan kita tidak memadai? Jangankan menjatuhkan tempat perlindungan bangsawan itu, dengan kemampuan kita saat ini, bahkan tempat perlindungan ini saja sulit dipertahankan," kata Kakek Huang sambil menggelengkan kepala kepada Han Sen.
"Bagaimana jika ditambah dengan ini? Apakah menurut Saudara sekalian kekuatan kita sudah cukup untuk mempertahankan tempat perlindungan ini?" Han Sen mengulurkan tangannya dan memanggil ular naga darah.
