Hati Han Sen berdesir. Meski tadi dia hanya sekadar mengambil sembarangan, tapi bahkan benda seberat seribu kati pasti sudah terangkat. Bulu ini hanya bergeser sedikit, beratnya benar-benar di luar dugaan.
Setelah kembali mengkristalkan tenaga, barulah Han Sen berhasil mengangkat bulu itu. Namun genggamannya terasa luar biasa berat, jauh melebihi logam seperti emas berkali-kali lipat.
“Ini sebenarnya terbuat dari logam, atau bulu burung hidup? Jika benar bulu burung hidup, burung dengan bulu seberat ini hampir sama dengan memikul gunung besar. Jika bisa terbang, itu pasti sangat mengerikan.” Han Sen mengayunkan bulu emas itu beberapa kali, ternyata cukup ergonomis.
Bulu ini mirip pedang besar aneh tanpa pelindung tangan, bagian tepinya terlihat sangat tajam.
Han Sen memfokuskan pikiran pada batang bijih baja Z, lalu menghantamnya dengan pedang bulu emas di tangannya. Bijih baja Z itu langsung terpotong seperti memotong busa, membuatnya takjub dan girang.
Harus diketahui bahwa apapun senjata ampuh itu, bahkan pedang Tai A sekalipun, untuk bisa menghancurkan baja, andalannya terutama adalah tenaga, kekerasan, dan kelenturan. Meski ketajaman memiliki peran, namun bukanlah faktor konklusif.
Pedang Tai A di tangan Han Sen mampu memenggal makhluk darah ilahi di Perlindungan Ketiga, bahkan bisa membunuh makhluk dewa super.
Tapi jika pedang Tai A diberikan ke evolusioner pemula yang tenaganya tidak mencapai tingkat tertentu, bahkan makhluk darah ilahi di Perlindungan Pertama pun tidak bisa dibunuhnya.
Namun tingkat ketajaman bulu emas ini sungguh menakutkan. Han Sen sekadar menghantam tanpa tenaga penuh, ternyata langsung membelah bijih baja Z.
Tentu ini juga karena berat bulu emas itu sendiri yang mengerikan. Saat dihantamkan, tenaga yang dibawanya sudah sangat besar. Meski begitu, ketajamannya tetap luar biasa mengerikan.
Han Sen memperhatikan tepi bulu itu lebih dalam, matanya langsung berkunang-kunang. Seolah-olah dia tak bisa melihat seberapa tipis tepiannya, batas bulu itu seperti menyatu langsung dengan kehampaan.
Han Sen mengayunkan bulu itu beberapa kali secara santai. Tepiannya seolah memotong ruang hampa, sama sekali tidak merasakan adanya hambatan. Pantas saja terasa begitu ergonomis saat digunakan.
"Barang bagus, benar-benar harta berharga. Cucu kesayanganku ini akan ku simpan. Karena diperoleh dari Gunung Suci Phoenix, mulai sekarang kau akan kusebut Pedang Suci Phoenix." Han Sen memberi nama sembarangan, toh memang dia tidak punya bakat menamai - cukup memanfaatkan konteks lokasi.
Dengan penuh kasih memutar-mutar Pedang Suci Phoenix, Han Sen juga mengeluarkan pedang Tai A dan menggenggamnya di tangan kiri. Dua pedang dengan panjang berbeda itu ternyata sangat serasi, persis cocok untuk menerapkan Jurus Pedang Terbang Kembar.
“Dengan mendapatkan pedang suci ini, nanti harus berlatih Jurus Pedang Terbang Kembar dengan lebih serius baru bisa disebut layak. Kalau tidak, benar-benar menyia-nyiakan pedang legendaris sehebat Tai'a dan Phoenix.” Han Sen berkata dengan girang.
Dengan hasil perolehan pedang suci Phoenix ini, meski tak bisa masuk ke Phoenix Shelter, Han Sen merasa perjalanannya tidak sia-sia.
Tapi Han Sen datang ke Gunung Suci Phoenix masih punya tujuan utama lain, yaitu demi menyelamatkan Kakak Ketujuh itu. Tak bisa pulang sembarangan begitu saja.
Setelah keluar dari Shudong, Han Sen menyusuri area sekitar puncak gunung sambil mengamati ke bawah. Berharap bisa menemukan petunjuk kecil yang tersembunyi untuk mencari pintu gerbang masuk ke Phoenix Shelter.
Saat diamati lebih seksama, benar-benar terlihat tempat yang tidak wajar. Di salah satu sisi Gunung Suci Phoenix, Han Sen merasakan ada ketiadaan sesuatu yang seharusnya ada.
Puncak samping Gunung Suci ini bertumpuk-tumpuk seperti kelopak bunga lotus, tersusun dalam urutan yang sangat teratur. Namun di sisi ini, seolah-olah ada satu kelopak yang hilang.
Dari arah Han Sen datang, posisi kelopak yang hilang ini sama sekali tidak terlihat. Setelah mendaki, semakin tidak kentara. Ribuan li Gunung Suci Phoenix yang berkelanjutan ini, mungkin hanya dari puncak gunung saja bisa terlihat sedikit tanda keanehan.
Han Sen tidak mengerti ilmu Feng Shui maupun taktik Kaisar Phoenix. Ia hanya bisa mencoba hoki di sana, berusaha semampunya sambil pasrah pada takdir. Jika benar-benar tidak bisa masuk, tidak ada jalan lain selain mencari alternatif.
Setelah membungkus Pedang Suci Phoenix dengan kain dan membopongnya di punggung, barulah Han Sen menggendong Bao'er memanjat turun gunung, menuju area yang seolah kehilangan satu puncak samping.
Bentuk gunung yang berlapis-lapis, posisi kurangnya puncak samping itu untungnya berada di lereng gunung. Han Sen tidak berani terbang di sini, akhirnya mengeluarkan upaya cukup besar untuk merangkak turun.
Di sini kurang sebuah puncak samping, malah ada podium batu. Han Sen mendarat di atas podium, menatap dinding tebing yang mirip kuningan itu.
Terlihat banyak sulur duri kuno di dinding tebing, hampir menutupi seluruh permukaannya. Han Sen mencoba menarik sulur-sulur itu dengan tangan dan meraba dinding, berharap bisa menemukan pintu gerbang aneh yang masuk ke dalam tebing seperti yang dilakukan Bao'er sebelumnya.
Tapi setelah meraba cukup lama, yang diraba hanya batu keras, tidak menemukan tempat yang bisa dimasuki.
Han Sen tak ingin menyerah, terus meraba perlahan-lahan dengan niat memeriksa seluruh dinding tebing. Namun saat meraba, jarinya menyentuh beberapa slot aneh.
Setelah menarik sulur duri, terlihat slot tersebut sebesar lengan Bao'er, arahnya terlihat sangat teratur, sepertinya merupakan goresan karakter tulisan.
Hati Han Sen dipenuhi sukacita, segera membersihkan semua sulur duri di sekitarnya. Benar saja, di dinding tebing ini terukir banyak tulisan aneh yang sama sekali tidak dikenalnya.
Segera memanggil Pangeran Duri keluar, memintanya memeriksa apakah ini tulisan makhluk roh.
Pangeran Duri mengamati cukup lama, akhirnya mengangguk dengan wajah terkejut: "Ini memang tulisan makhluk roh, hanya yang mewarisi darah makhluk roh yang bisa memahaminya."
"Apa yang tertulis di sini?" Han Sen berseri-seri tak bisa menyembunyikan kegembiraannya, segera bertanya.
Pangeran Duri memandang tulisan di tebing dengan raut wajah penuh keanehan: "Tertulis 'Phoenix jatuh di Gunung Suci, Kaisar Yun di Sungai Kuning'."
Han Sen membeku sejenak, seolah sedikit paham tapi juga belum sepenuhnya mengerti, tak kuasa bertanya: "Apa maksudnya ini?"
Pangeran Duri menggelengkan kepala halus: "Makna harfiahnya aku paham, tapi maksud sebenarnya sulit dijelaskan. Tak jelas juga apa yang dimaksud dengan 'Phoenix' dan 'Kaisar' di sini."
"Apa yang tertulis di bagian bawah?" Han Sen tahu mustahil menebak-nebak karena informasi yang mereka miliki terlalu minim untuk membuat hipotesis.
Pangeran Duri mengerutkan kening: "Tulisan di bagian bawah ini agak aneh, sepertinya tidak memiliki makna yang jelas..."
Sambil berkata demikian, Pangeran Duri melafalkan serangkaian suku kata misterius. Han Sen sama sekali tak mengerti, mungkin itu adalah pengucapan tulisan makhluk roh.
Setelah selesai membaca, Pangeran Duri terdiam sejenak: "Karakter-karakternya bisa kubaca, tapi susunan kalimatnya justru tak kupahami."
Tiba-tiba podium batu di bawah kaki mereka bergetar hebat, seolah dilanda gempa.
