Hati Han Sen dipenuhi kengerian, tapi sorot matanya semakin tajam menatap sosok di pohon itu.
Setelah melihat jelas, Han Sen membeku. Sosok itu ternyata gadis remaja anggun bak bidadari. Gaunnya melayang mengikuti gerakan ranting, seolah hendak terbang bersama angin.
Gadis itu memiliki kecantikan luar biasa, namun tidak seperti pesona biasa pada orang kebanyakan. Ada kesucian yang tak terungkapkan darinya. Dia hanya duduk di pohon, kedua kaki putih lembutnya yang telanjang terkulai dengan santai, memberikan kesan seolah keluar dari lukisan.
"Makhluk roh? Atau makhluk mutan berbentuk manusia?" Sorot mata Han Sen menyembunyikan secuil kebingungan. Dia ternyata tidak bisa menembus aura gadis itu, gagal membedakan tubuh sejatinya.
Saat Han Sen mengamati gadis tersebut, tiba-tiba sorot mata sang gadis juga menatap ke arahnya. Kemudian dia menunjukkan senyum yang seperti matahari yang memberikan kehangatan.
Han Sen tertegun sejenak. Jaraknya dari Pohon Ibu Bumi masih sangat jauh. Di tengah banyaknya Makhluk Dewa Super mengerikan yang bisa diamati, gadis itu malah memandang ke arahnya dan bahkan tersenyum seperti itu, membuat hatinya sedikit merasa sombong.
“Keren memang punya kesulitan seperti ini.” Han Sen merapikan baju dan rambutnya, membalas senyum yang dianggapnya sangat keren dan menakjubkan ke arah gadis itu.
Tapi Han Sen sama sekali tidak lengah. Gadis itu jelas bukan orang sembarangan. Banyak makhluk mengerikan yang tak berani mendekati pohon bumi, tapi dia berani duduk di atasnya. Fakta bahwa para makhluk mengerikan ini tak berani mengganggunya sudah membuktikan kengeriannya.
Senyuman Han Sen justru membuat gadis itu menunjukkan ekspresi terkejut.
"Kamu kenal dia?" Ratu yang juga menyaksikan interaksi ini bertanya.
Han Sen menggelengkan kepala halus: "Tidak. Tidak bisa dibedakan apakah dia manusia, makhluk roh, atau mutan humanoid. Tapi sepertinya tidak ada niat jahat."
Sang Ratu hendak berkata lagi, tiba-tiba terdengar suara bergemuruh seperti sapi. Kodok-kodok darah itu mulai bersuara keras. Meski tubuh mereka tak terlalu besar, teriakan mereka bergema seperti dengungan sapi dan halilintar.
Terutama Sang Raja Kodok Darah. Perutnya berdenyut bak mutiara, raungannya bagai guruh meredam dan halilintar yang mengguncang pikiran.
Raja Kodok Darah menerobos kerumunan, merangkak perlahan menuju Pohon Ibu Pertiwi. Gerakannya tampak ragu-ragu, sementara makhluk-makhluk mengerikan di sekitarnya tak berusaha menghentikannya, hanya mengawasinya merangkak hingga ke pangkal pohon.
Di bawah pohon, Raja Kodok Darah mendongak memandang gadis bak dewi yang anggun itu. Perutnya mengembang, benjolan-benjolan darah di tubuhnya membengkak seperti bola, sambil mengeluarkan suara aneh "Moo-Moo" seolah menantang sang gadis.
Gadis itu memandangi sikap Kodok Darah, lalu tersenyum tipis. Tangan halusnya tiba-tiba meraih sesuatu - sebuah seruling putih bak giok muncul di genggamannya.
Bibir merahnya menyentuh ujung seruling. Dari instrumen itu mengalun musik indah namun mengerikan.
Han Sen merasa jantungnya berdesir. Gadis ini memainkan seruling di saat genting seperti ini, jelas bukan demi mimpi musik. Kemungkinan besar ini adalah kekuatan tipe suara.
Segera Han Sen mengaktifkan aura Dongxuan, memutus tujuh indranya di sekitar untuk menghindari pengaruh musik mistis itu.
Tapi seketika matanya membelalak. Sekalipun pengalamannya luas, belum pernah ia melihat musik yang bisa divisualisasikan.
Setiap not musik dari seruling gadis itu benar-benar terlihat jelas. Seperti aliran kristal yang memancar dari seruling, jatuh dalam pola yang bisa ditelusuri mata telanjang.
Tidak hanya Han Sen, sang Ratu juga memandang dengan wajah terkejut pada not-not yang ditiupkan gadis itu, sama terkejutnya dengan Han Sen.
Not-not musik itu jatuh ke tanah, ternyata mengkristal menjadi seekor ular raksasa. Aura mengerikan yang sama menyelimuti tubuh ular itu, dan dengan mengikuti irama musik, langsung menerjang ke arah Raja Kodok Darah yang sedang memprovokasi.
Seketika pertempuran yang memukau dimulai. Ular hasil transformasi not musik itu ternyata mampu bertarung sengit dengan Raja Kodok Darah, sama sekali tidak ketinggalan.
Raja Kodok Darah mengaum keras, dari mulutnya menyemburkan kilau darah yang berubah menjadi bilah-bilah darah menusuk sang ular. Tubuh ular itu melilit, mengibaskan cambuk baja di dalam tubuhnya, menghujamkan semua bilah darah hingga beterbangan.
Dua binatang buas mengerikan itu bertempur di bawah Pohon Bunda Pertiwi. Banyak makhluk mutan hanya menjadi penonton, tak satu pun yang berani mendekat untuk menghentikan atau ikut campur.
Han Sen merasakan getaran ketakutan mengguncang hatinya. Gadis itu hanya mengandalkan ular raksasa yang terbentuk dari not musik tiupannya, ternyata bisa melawan makhluk Dewa Super. Tenaga seperti ini benar-benar mengerikan.
Han Sen tahu hari ini dia bertemu petarung sejati tipe suara. Hanya saja tidak tahu apakah dia makhluk roh atau mutan. Han Sen sudah sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan bahwa dia manusia.
"Kekuatan tipe suara ternyata bisa digunakan seperti ini!" Ratu setelah mengamati sejenak, juga tidak tahan lagi mengeluarkan decak kagum.
Dua binatang buas bertarung di bawah pohon. Pertarungan mereka menghancurkan batuan dan merusak ruang, namun keduanya sangat menahan diri. Tidak ada yang mempengaruhi Pohon Ibu Bumi.
Ular raksasa dari not musik mulai menguasai Kodok Darah. Kilau merah darah yang dimuntahkan kodok itu tidak banyak berpengaruh, konsisten gagal melukai parah ular tersebut.
Dengan irama musik, ular raksasa justru berhasil melilit Raja Kodok Darah. Lilitannya semakin erat, membuat sang raja hampir tak bisa melawan. Ular itu terlihat siap menelan bulat-bulat sang kodok.
Dor!
Bola-bola darah di tubuh Raja Kodok Darah pecah berubah menjadi darah beracun berbau amis yang menyemprotkan racun ke seluruh tubuh ular raksasa yang melilitnya. Seketika tubuh ular mulai meleleh dan membusuk, berkelok-kelok beberapa kali sebelum akhirnya berubah menjadi not-not musik yang berhamburan.
Setelah meledakkan bola-bola darahnya, tubuh Raja Kodok Darah tampak melemah. Meski ular telah menghilang, sang kodok tak berani lagi memprovokasi gadis itu. Perlahan ia merangkak kembali ke kawanan kodok darah dan berbaring diam di sana.
Tak lama setelah Raja Kodok Darah pergi, seekor binatang buas dengan aura energi yang sangat kuat tiba-tiba menyembul dari celah di ruang bawah tanah. Makhluk itu langsung berlari kencang menuju Pohon Ibu Bumi.
Han Sen memperhatikan lebih dalam, ternyata itu adalah makhluk mutan yang agak mirip tupai besar. Seluruh tubuh makhluk itu ditutupi bulu keemasan, dengan sepasang mata besar yang aneh dan ekor panjang berbulu lebat, wajahnya justru terlihat sangat menawan.
Tupai besar pada dasarnya mirip hewan pengerat, tapi ukuran makhluk ini jauh lebih besar dari tupai biasa, bahkan dua kali lipat lebih besar dari harimau pada umumnya.
Hanya saja aura keganasannya sangat menyengat, tubuhnya berkilauan cahaya keemasan misterius. Saat berlari kencang menerobos, gerombolan tikus batu tidak sempat menghindar sehingga banyak yang terinjak sampai mati, memaksa kawanan tikus itu berhamburan mundur.
Raja tikus batu menyaksikan pemandangan ini, sorot matanya memancarkan percikan amarah. Namun ia tetap diam, seolah memiliki rasa waspada terhadap sesuatu.
Makhluk mirip tupai besar itu melompat ke bawah Pohon Ibu Bumi, mengaum keras ke arah gadis di atas pohon. Cahaya keemasan di tubuhnya berkerlip-kerlip seperti sengaja memprovokasi sang gadis.
Di mata gadis itu melintas kilas kebencian. Seruling giok di tangannya telah menghilang entah ke mana. Ia mengulurkan tangan lagi, sebuah alat musik sejenis pipa muncul di pelukannya. Gadis itu mengayunkan jemari halusnya pada senar, alunan musik penuh aura pembunuhan pun mengalir deras. Not-not musik berdenyut ritmis, seketika terkristal di udara menjadi seekor Elang Sayap Emas raksasa.
