Meski hanya berupa potret setengah badan, sosok wanita di koin perak ini dibuat sangat detail dengan lekukan anggun bak mutiara, memancarkan aura spiritual sekaligus kewibawan yang sulit diungkapkan.
Setelah mengamati cukup lama, Han Sen akhirnya menyadari alasan rasa familiar itu - ia memang pernah bertemu wanita dengan postur tubuh dan aura yang sangat mirip dengan patung ini.
Hanya saja pertemuan itu terjadi sekali saja, itupun dengan jarak pandang terbatas, sehingga membutuhkan waktu untuk mengingatnya kembali.
Saat Banshee Transenden naik ke Perlindungan Ketiga, sesosok makhluk roh berambut hijau keluar dari pintu kayu untuk menjemputnya ke dimensi tersebut.
Kala itu Han Sen sempat melirik sosok wanita itu, namun karena jarak pandang yang kabur ditambah rentang waktu yang telah lama, kesan di ingatannya kini telah memudar.
Sekarang melihat ikon wanita di koin perak ini, semakin dilihat semakin mirip dengan wanita itu.
Saat itu wanita itu meninggalkan cetak cap teratai merah di dahi Han Sen, hanya saja kemudian dirusak oleh Kaisar Naga. Han Sen masih ingat Kaisar Naga mengatakan cap itu adalah peninggalan Sang Ratu Teratai Hitam.
"Benar, mutlak tidak akan salah. Ikon wanita di koin perak ini sangat mirip dengan Sang Ratu Teratai Hitam." Han Sen semakin yakin setelah mengamati lebih lama.
Tapi ini hanya kemiripan semata, apakah benar demikian Han Sen pun tak berani memastikan.
Han Sen membolak-balik koin itu lama sekali, selain itu tak menemukan petunjuk lain sama sekali.
Secara prinsip, konsep uang tidak ada di dunia perlindungan. Siapa yang mau repot-rebut membuat koin? Secara teori, koin perak ini seharusnya produk Alliance.
Tapi material terkeras yang bisa ditempa Alliance saat ini hanyalah paduan baja Z, sementara koin ini tampaknya lebih keras. Jika dikatakan ini buatan Alliance agak kurang masuk akal.
Dan koin perak ini dibawa oleh makhluk kecil itu dari dalam lubang tanah. Bagaimana mungkin koin Alliance ada di dalam lubang tanah?
Han Sen teringat pada makhluk kecil itu, hatinya berdesir. Baru saja ia terlalu fokus memikirkan kemiripan wajah wanita di koin perak itu, sampai hampir melupakan waktu.
Waktunya di sini sudah cukup lama. Mungkin makhluk kecil itu sudah hampir kembali.
Mata Han Sen berbinar. Ia melonjak dan bersembunyi di tumpukan barang rongsokan, menggunakan perisai besar yang miring tertancap sebagai pelindung. Aura tubuhnya disembunyikan, tubuhnya tak bergerak merapat di belakang sementara pedang Tai A digenggam erat.
Han Sen sudah bulat tekad untuk melakukan keahlian lamanya. Ia menunggu kedatangan makhluk kecil itu, siap menyergap dengan serangan mematikan saat sang makhluk kembali membawa barang-barang rongsokan.
Meski sekarang Han Sen sudah memiliki sedikit kekuatan, tapi Makhluk Dewa Super tetaplah Makhluk Dewa Super. Sulit dipastikan memiliki tenaga khusus apa, juga bukan makhluk yang bisa asal dibunuh. Jika bisa diselesaikan dengan menyergap, tak perlu bertarung habis-habisan.
Baru sebentar Han Sen bersembunyi, telinganya yang tajam sudah mendengar suara merangkak dari mulut gua. Langsung tahu makhluk kecil itu tidak bersembunyi.
Semakin menyembunyikan aura, tubuhnya menyusut ke belakang perisai. Tangan yang memegang pedang Tai A justru perlahan mengendur.
Tubuh yang kencang sulit menunjukkan daya ledak terkuat. Hanya dalam kondisi lega baru bisa mengeluarkan serangan pamungkas. Di Perlindungan Pertama dulu, Han Sen sudah mencoba jutaan kali hingga respons naluri tubuh ini terbentuk.
Benar saja, tak lama kemudian makhluk kecil itu sudah merangkak masuk ke dalam gua. Han Sen bisa merasakan ia mendekati tumpukan barang rongsokan ini.
Dalam suara merangkak makhluk kecil itu, Han Sen juga bisa mendengar bunyi sesuatu yang bergesekan di tanah. Tampaknya barang yang dibawa makhluk kali ini terlalu besar untuk ukuran tubuhnya yang mungil, sehingga terpaksa diseret sambil merangkak.
Han Sen tidak berminat memperhatikan apa yang digigit makhluk itu. Seiring semakin dekatnya makhluk itu dengan tumpukan rongsokan, tubuhnya semakin rileks dan pikirannya semakin tenang.
Tiba-tiba terdengar gemerincing - makhluk kecil itu sepertinya melempar barang yang dibawanya ke atas tumpukan rongsokan.
Pikiran Han Sen benar-benar jernih. Bahkan tanpa menggunakan penglihatan, setiap gerakan kecil makhluk itu terpeta jelas dalam otaknya bagai lukisan yang hidup.
Pada saat barang itu mendarat di tumpukan rongsokan, Han Sen tiba-tiba menyembul dari balik perisai. Pedang Tai A di tangannya mengukir lintasan melengkung yang indah, menyatu sempurna dengan tubuhnya - manusia dan pedang menjadi satu kesatuan - menusuk ke arah makhluk kecil yang sedang berbalik untuk pergi.
Jantung berdegup kencang, sepasang ginjal berdegup bagai guntur, darah bergemuruh mengalir deras. Seluruh tubuh Han Sen memancarkan kemerahan mengerikan yang tidak wajar.
Han Sen merasakan serangan ini sempurna baik dalam tenaga maupun ketepatan timing. Koordinasi antara Sembilan Gembok Gen dari Kitab Hidup Darah Sutra Saraf dengan pedang Tai A seharusnya bisa menjadi ancaman serius bagi Makhluk Dewa Super, apalagi ini adalah serangan mendadak saat mereka lengah.
Makhluk kecil itu menoleh ke belakang dengan ekspresi terkejut. Namun, hati Han Sen dipenuhi kegembiraan. Serangannya kali ini benar-benar sempurna: cepat, akurat dan mematikan dengan timing yang tepat. Bahkan makhluk Tingkat Dewa itu tidak sempat memberi respons sebelum tertusuk langsung oleh pedangnya.
Dang!
Pedang Tai A hampir menusuk leher makhluk itu. Ujung pedang sudah menyentuh sisik halus di lehernya ketika tiba-tiba sisik-sisik di tubuh makhluk itu memancarkan cahaya redup hijau tua.
Cahaya tersebut membentuk pelindung berbentuk peluru yang menyelubungi tubuh makhluk itu. Tusukan maksimal Han Sen menghantam pelindung itu, membuat cahaya hijau bergoyang. Makhluk itu terlempar, namun pelindungnya tidak tertembus.
"Makhluk Dewa Super dengan kemampuan pertahanan!" Hati Han Sen berdesir. Memanfaatkan momentum makhluk kecil yang masih melayang di udara, pinggangnya berputar mengeluarkan tenaga mengerikan. Pedang Suci Phoenix pun dicabutnya, menyambar sang makhluk dengan tendangan voli sambil menghujamkan pedangnya.
Dang!
Pedang Suci Phoenix ternyata masih belum bisa membelah kubah cahaya hijau tua berbentuk peluru itu. Hanya berhasil menggoyangkan kubah tersebut.
"Mati!" Tenaga seluruh raga Han Sen meledak bak letusan gunung berapi. Tubuhnya memancarkan gaya tak terhingga saat kembali menyambar makhluk yang terpental.
Pedang Suci Phoenix dan Pedang Matahari bergantian menghujam, melukiskan pelangi-pelangi pedang yang menggetarkan langit, terus-menerus merobek kubah hijau tua berbentuk peluru.
Kubah itu terguncang hebat bagaikan balon yang siap pecah. Meski serpihan cahaya beterbangan, struktur pertahanannya belum juga runtuh.
Boom!
Makhluk kecil itu terhantam ke dinding tebing. Han Sen melayang di depan tebing, pedang kembarnya semakin ganas menghantam pelindung. Dentang pedang yang menghantam telah menyatu menjadi garis lurus. Pelindung kini dipenuhi kerutan halus, sebentar lagi akan hancur.
"Tanpa wujud Super Di Ling pun aku bisa mengalahkan Makhluk Dewa Super." Darah Han Sen hampir mendidih, hatinya dipenuhi kegembiraan yang hampir ingin diteriakkan.
"Matilah!" Terdengar bentakan Han Sen disusul cahaya ilahi Phoenix yang menghujam. Akhirnya pelindung itu runtuh, berubah menjadi cahaya hijau tua beterbangan ke segala penjuru.
Tanpa perlindungan, makhluk kecil itu terjatuh telanjang di tanah. Ia terlihat seperti domba tak berdosa yang malang, cukup satu sabetan pedang untuk memotong-motong dagingnya.
Tapi pedang Han Sen kali ini tidak bisa dihujamkan, bilah pedang membeku di langit.
"Ahem, anak kecil yang manis, paman hanya sedang bermain game denganmu." Ekspresi fanatik di wajah Han Sen seketika berubah menjadi senyum hangat bagai angin semi, pedang kembarnya juga langsung disimpan, sambil membelai kepala makhluk kecil itu dengan wajah ramah.
Sambil berbicara, Han Sen perlahan menoleh ke belakangnya. Beberapa makhluk mengerikan berukuran raksasa telah mengerumuninya, saat ini sedang menundukkan kepala, mengawasinya dengan mata seperti lentera yang dinginnya seolah membuat udara sekitarnya membeku.
