Untungnya kesadaran mereka semua masih waras, tidak terkendali. Han Sen pun merasa lebih nyaman.
Jarak ke Gunung Ungu ternyata lebih jauh dari perkiraan Han Sen. Barulah setelah tiba di depan gunung itu, ia menyadari betapa megahnya Gunung Ungu. Peribahasa "Melihat gunung dekat tapi kuda mati kelelahan" benar-benar terbukti.
Yang lebih mengerikan, gunung itu sepertinya masih dalam proses pertumbuhan, terus-menerus meningkat ketinggiannya.
Meski hanya tersisa belasan kilometer lagi, Han Sen sama sekali tidak merasakan getaran apapun. Gunung Ungu muncul diam-diam dari dalam tanah bagaikan hantu.
Pada jarak ini, Han Sen sudah bisa melihat jelas beberapa situasi di Gunung Ungu. Mulai dari lereng tengah, kabut mengelilingi sehingga tak terlihat jelas, namun bisa dilihat bahwa cahaya ungu itu bukan berasal dari gunung itu sendiri, melainkan dari awan kemerahan yang melingkari gunung tersebut.
Gunung Ungu sebenarnya tidak berwarna ungu, melainkan warna yang hampir berada di antara hitam dan hijau.
Han Sen memperlambat kecepatannya, dengan hati-hati mengikuti gelombang makhluk sambil terus bergerak maju. Meski belum menemukan bahaya, ia menyaksikan pemandangan aneh.
Makhluk-makhluk mutan yang terbang di langit, bahkan gerombolan burung monster sekalipun, tak ada yang berani terbang mendekati gunung. Mereka mendarat di area berjarak 100-200 meter dari gunung, tak ada yang melanjutkan perjalanan.
Bukan hanya makhluk terbang, para monster mengerikan dan ular-serangga-tikus-semut pun sama. Semuanya mengerumuni bagian luar gunung besar, tak satu pun yang berani naik ke atas.
Dan gunung besar itu juga tidak menyebar ke luar, namun terus-menerus meningkat dan membesar, seolah bagian ruang itu muncul begitu saja.
Han Sen tentu tidak ceroboh naik ke gunung. Ia menyusuri sisi luar kontur gunung, berharap dapat menemukan siluet Si Perak Kecil di antara kerumunan makhluk yang mengelilingi gunung.
Jumlah makhluk mutan yang datang sangat banyak, bagai air pasang mengelilingi gunung. Han Sen mencari lama di antara mereka, tapi tetap tidak melihat jejak Si Perak Kecil.
Jika Si Perak Kecil sulit ditemukan karena posturnya kecil masih bisa dimaklumi, tapi bahkan ular putih sebesar itu pun tidak terlihat olehnya. Hampir pasti mereka tidak ada di sini.
Saat Han Sen mulai dilanda kekecewaan dan kebingungan, tiba-tiba terdengar raungan monster seperti guruh yang teredam dari puncak gunung, disusul beberapa raungan berbeda dan suara benturan.
Suara itu datang dan pergi dengan cepat, seolah diputus tiba-tiba oleh sesuatu, lalu lenyap tanpa bekas.
Han Sen mengerutkan kening memandang ke arah gunung. Suara itu sepertinya berasal dari sekitar puncak, namun wilayah tersebut diselimuti awan kemerahan sehingga sama sekali tidak jelas apa yang ada di dalamnya.
Yang lebih membuat Han Sen heran, suara yang baru saja terdengar seakan pertarungan sengit, namun sama sekali tidak terasa fluktuasi energi yang turun dari gunung - ini benar-benar keanehan.
"Barangkali Si Perak Kecil dan yang lain sudah mendaki gunung?" dugaan itu muncul di benak Han Sen.
Setelah berputar-putar mengamati gelombang makhluk mutan, Han Sen menyadari meski jumlahnya banyak, tak satupun yang mencapai tingkat dewa.
"Tampaknya mereka memang sudah di atas gunung." Pandangan Han Sen menyapu kerumunan makhluk mutan yang ragu-ragu, hati mulai dihiasi sedikit keraguan.
Tak lama kemudian, deru bergemuruh seperti guntur kembali mengguncang lereng. Ledakan dahsyat diselingi raungan makhluk-makhluk aneh bergema di antara tebing.
Sama seperti sebelumnya, suara ini tiba-tiba berhenti hanya dalam beberapa detik.
Han Sen tidak tahu apakah Si Perak Kecil benar-benar sudah naik, hatinya masih ragu-ragu. Namun Bao'er melonjak turun dari pelukannya dan merangkak cepat ke atas gunung. Setelah mencapai kaki gunung, bocah itu menoleh sambil melambaikan tangan: "Ayah... datanglah..."
Melihat Bao'er sudah naik, Han Sen pun tak lagi ragu. Ia segera mengikuti bocah itu. Bao'er merangkak gesit di depan. Han Sen hendak memanggilnya, namun tiba-tiba sinar jingga keunguan mulai berputar-putar di antara lereng gunung. Siluet kecil itu telah menghilang dalam kabut cahaya, tak lagi terlihat.
Hatinya berdesir. Han Sen berteriak: "Bao'er, jangan terlalu cepat! Kita pergi bersama—"
Ucapan itu baru saja keluar, ekspresinya langsung berubah. Meski mulutnya terbuka mengucapkan banyak kata, tak satu pun suara keluar. Bahkan dirinya sendiri tak bisa mendengar apa yang diucapkannya.
Han Sen ngeri di hatinya, segera membuka aura Dongxuan dan menyapu seluruh area. Namun ekspresinya langsung berubah masam. Aura Dongxuan sama sekali tidak berguna. Selain area yang bisa dilihat matanya, dia tidak bisa merasakan apapun, juga tidak bisa mendeteksi posisi Bao'er saat ini.
Khawatir terjadi sesuatu pada Bao'er, Han Sen mempercepat langkah dan menerjang. Sebelum sempat masuk, tiba-tiba Bao'er merangkak keluar dari sinar ungu itu, duduk di tanah dengan wajah bingung menatap cahaya ungu di gunung.
Han Sen berseri-seri dalam hati, langsung menggendong Bao'er sambil berkata: "Bao'er jangan jalan sembarangan, tetap bersama Ayah ya."
Di jarak sedekat ini, sepertinya dia sama sekali tidak bisa mengeluarkan suara apapun.
Bao'er sepertinya memahami maksud Han Sen. Tangan kecilnya yang gemuk meraba pipi Han Sen sambil bersuara kecil yang manis: "Bao'er nurut... Di dalam ada barang... Tidak ketemu..."
Yang membuat Han Sen tertegun seperti patung adalah, ternyata dia bisa mendengar suara Bao'er.
"Ada barang apa?" Han Sen mengawasi Bao'er sambil bertanya.
"Cucu kesayangan!" Bao'er menjawab dengan keseriusan.
"Harta apa?" Hati Han Sen berdebar gembira, Bao'er benar-benar bisa memahami ucapannya. Mengetahui tujuan kedatangannya kali ini tepat, saat Bao'er mengatakan ada harta di dalam, kemungkinan besar memang benar adanya.
Namun Bao'er hanya menggelengkan kepala dengan wajah masam penuh kebingungan intelektual, seolah dia pun tidak tahu harta apa yang tersembunyi di dalam.
Han Sen juga menyadari, andaikan Bao'er bisa menemukan harta tersebut, tentu tidak akan merangkak keluar dengan raut kebingungan. Pastilah gunung ini memiliki keunikan aneh yang membuat Bao'er pun gagal melacak lokasi harta.
Han Sen menengadah memandang ke puncak gunung. Awan kemerahan sinar ungu mengalir deras bagai sungai raksasa, seolah langit runtuh berhamburan ke bumi.
Genangan besar sinar jingga mengalir deras dari puncak gunung, terlalu megah untuk dibayangkan. Seperti tsunami yang menggelora menerjang dari cakrawala, seolah langit-bumi hampir remuk diterjang gelombang awan kemerahan.
Namun awan ungu itu mulai melemah di lereng gunung. Saat mencapai posisi Han Sen, alirannya sudah relatif landai.
Han Sen tak bisa merasakan aliran tenaga dalam awan ungu itu. Bahkan secuil suara pun tak terdengar, kontras dengan visual spektakulernya yang seperti tayangan bisu nan ajaib.
Saat Han Sen masih asyik mengamati, tiba-tiba suara gemuruh bergema dari atas. Dentuman bebatuan pecah bercampur jerit keras dan raungan mengaum.
Seperti sebelumnya, semua suara tiba-tiba terpotong. Telinga seolah memakai silencer, kembali ke keheningan total seketika.
Mendadak, sesuatu menggelinding keluar dari kabut ungu. Han Sen mengira itu pecahan batu gunung.
Bagaimanapun, jika di atas benar-benar terjadi pertempuran yang begitu sengit, bebatuan yang jatuh dari atas seharusnya bukan hal aneh. Namun ketika sorot mata Han Sen tertuju pada benda itu, ekspresinya berubah.
