Snowball membawa Han Sen keluar dari gua, menyusuri jalan setapak di dinding tebing yang sebenarnya hanya berupa celah-celah batuan.
Banyak bagian yang hanya selebar ujung kaki, di bawahnya menggelora lautan kabut ungu. Bahkan Snowball sendiri berjalan dengan sangat berhati-hati.
Han Sen tahu Snowball punya kemampuan terbang, tapi makhluk itu takut melakukannya di sini. Mereka tetap merayap di dinding tebing. Han Sen tentu tidak terbang sembarangan, hanya mengikuti dari belakang.
Han Sen merasa agak aneh: Kenapa makhluk itu memaksa mengambil jalur tebing terjal ini daripada rute yang lebih mudah?
Mulanya Han Sen mengira anggota ini ingin mengulur waktu, tapi seiring waktu ia menyadari ternyata tidak demikian. Ia mengikuti Snowball memanjat dari sisi ini, sepanjang jalan tidak lagi mendengar suara raungan monster, juga tidak terjadi bahaya apa pun, perjalanan berjalan sangat lancar.
"Anggota ini penakut sekali, pasti mencari jalan paling aman untuk naik gunung." Han Sen justru mulai menyukai gaya bermain karakter ini, setidaknya dengan meminta ia memimpin jalan, mereka tidak akan bertemu musuh kuat secara tiba-tiba dan kehilangan nyawa.
Semakin tinggi mereka naik, sinar ungu itu semakin pekat, hampir mencapai tingkat di mana tangan tak bisa menembus kegelapan. Seluruh pandangan dipenuhi sorotan magis ungu. Untungnya suara Snowball mampu menembus sorotan ungu itu. Sambil berjalan di depan, ia terus mengeluarkan suara "guk guk" untuk memandu Han Sen naik.
Karena jarak pandang benar-benar terlalu buruk, Han Sen terpaksa meraba-raba dinding tebing untuk maju. Kecuali sangat diperlukan, ia tidak akan terbang sembarangan di area ini.
Setelah berjalan hampir seharian penuh, tiba-tiba Han Sen merasakan matanya silau. Matanya sulit beradaptasi sejenak sehingga penglihatannya kabur. Dengan cepat ia menutupi cahaya itu dengan tangan. Baru setelah matanya mulai terbiasa, ia menurunkan tangan dan melihat sekeliling.
Tampak mereka telah keluar dari wilayah sinar ungu. Di kejauhan, gelombang awan kemerahan bergulung-gulung seperti lautan. Puncak-puncak hitam raksasa menjulang di atas "lautan asap" itu, tajam bagai pisau yang menusuk langit - pemandangan yang terlalu megah untuk dibayangkan.
"Gunung ini ternyata telah tumbuh sedemikian besar. Meski sudah melewati awan ungu, tetap saja tak terjangkau. Tempat mistis macam apa ini, sungguh aneh..." Han Sen memicingkan mata mendongak ke gunung itu. Tapi puncaknya tak terlihat, seolah setelah melewati lautan sinar ungu, mereka baru sampai di kaki gunung yang sesungguhnya.
Snowball memutar pantat sambil terus berjalan di depan, Han Sen pun mengikutinya. Setelah berjalan hampir seharian penuh, malam telah tiba. Bintang-bintang di langit terlihat begitu dekat seolah bisa dipetik dengan tangan. Akhirnya mereka sampai di puncak gunung.
Sepanjang perjalanan, ternyata mereka sama sekali tidak bertemu makhluk mutan. Entah karena panduan Snowball yang baik, atau mungkin makhluk-makhluk itu memang tidak pernah mencapai wilayah ini.
Sesampainya di puncak, Han Sen tertegun sejenak. Di atas gunung itu berdiri sebuah menara kuno dari batu bata hijau, yang secara mengejutkan terlihat seperti buatan manusia.
Menara itu tidak tinggi, hanya sekitar dua meter. Di bagian bawahnya terdapat pintu kecil yang begitu sempit sampai seseorang harus berjongkok untuk bisa masuk.
Batu bata hijau itu telah mengalami erosi angin selama bertahun-tahun. Di banyak bagian terlihat belang dan lapuk, memancarkan kesan berat sejarah serta liku-liku waktu yang telah dilaluinya.
Snowball berjalan hingga di depan menara kuno, lalu tiba-tiba merangkak dan bersujud seperti manusia di depan pintu kecil itu, seolah sedang memohon ampunan makhluk gaib atas keberaniannya mengganggu.
Han Sen melirik menara itu namun tak mendekat. Keberadaan menara kuno di wilayah mengerikan ini menimbulkan tanda tanya—siapa tahu ada keanehan di dalamnya. Jika tidak perlu, Han Sen enggan mengambil risiko. Tujuan utamanya adalah mencari Si Perak Kecil, hal lain bisa ditunda dulu sebelum menemukannya.
Setelah memastikan tak ada gerakan mencurigakan dari menara, Han Sen berjalan ke tepi puncak gunung dan menyisir pandangannya ke segala arah, berharap menemukan siluet Si Perak Kecil di lereng-lereng lain.
Menyusuri dinding tebing hampir setengah lingkaran, tiba-tiba mata Han Sen menangkap dua siluet luar biasa besar di lereng gunung bawah sana. Dadanya berdebar penuh harap.
Menjulurkan kepala ke bawah dan mengamati dengan cermat, ternyata itu adalah dua Makhluk Dewa Super yang belum pernah diliat Han Sen sebelumnya. Setiap postur tubuhnya melebihi seratus meter, namun di puncak gunung yang begitu besar ini, mereka tak terlihat besar.
Saat itu dua monster raksasa sedang bertarung dengan gila, benturan mereka menciptakan gelombang kejut mengerikan yang membuat lautan asap ungu di bawahnya berguling-guling dan bergetar.
Anehnya suara benturan mereka tak terdengar di pegunungan ini. Han Sen hanya bisa menyaksikan pertarungan itu tanpa mendengar suaranya sama sekali.
Kedua Makhluk Dewa Super ini sama-sama sangat kuat. Tampaknya pertarungan tak akan segera berakhir. Khawatir akan Si Perak Kecil, Han Sen tak terus mengamati dan beralih mencari ke arah lain, berharap menemukannya atau Makhluk Dewa Super lain di Pegunungan Hantu.
Tapi setelah mengelilingi puncak gunung, Han Sen hanya melihat dua monster yang sedang bertarung itu. Tak ada makhluk hidup lain yang terlihat.
“Apakah mereka masih berada di dalam Laut Asap Ungu dan belum keluar?” Han Sen bergumam dalam hati.
Karena tidak menemukan siapa pun, Han Sen terpaksa kembali mengamati pertempuran dua monster itu. Jika beruntung, mungkin bisa mendapatkan keuntungan.
Kedua makhluk super dewa itu sangat perkasa. Yang satu bersisik hitam legam dengan tanduk rusa di kepala, mirip Qilin dari mitos. Setiap gerakannya disertai gelombang uap air dahsyat.
Makhluk satunya berbulu ungu berkilauan seperti listrik, dengan percikan petir ungu di antara bulu-bulunya. Bentuknya aneh - kalau dipaksakan, agak mirip tupai raksasa.
Pertempuran mereka memadukan uap air dan petir ungu secara harmonis. Alih-alih meledak, dua energi ini membentuk medan gaya aneh yang mengacaukan ruang-waktu di dalamnya, seolah ruang itu sendiri berdistorsi.
Meski sama-sama makhluk bercorak air dan Listrik, makhluk seperti ini sudah banyak dilihat Han Sen sebelumnya. Tapi metode penerapan tenaga oleh dua monster mengerikan ini benar-benar belum pernah disaksikannya.
Han Sen yang sedang asyik mengawasi tiba-tiba merasakan rambut bagian belakang kepalanya ditarik. Matanya masih tertuju pada pertempuran dua monster itu saat berkata ke bahu: "Bao'er jangan nakal."
Baru saja Han Sen selesai bicara, rambut di belakang kepalanya kembali ditarik. Ia menunduk melihat Bao'er dalam pelukannya, hendak menyuruh anak itu berhenti. Tapi saat memandang Bao'er, terlihat kedua tangan kecil gemuk itu berada di dadanya - tidak mencincin ke leher, sehingga mustahil menarik rambutnya.
Seketika seluruh tubuh Han Sen merinding. Tulang punggungnya mengeluarkan hawa dingin bertubi-tubi. Entah apa yang menarik-narik rambutnya, sementara ia sama sekali tidak merasakan kehadiran sesuatu yang mendekat.
Menunduk melihat Snowball di samping kakinya, tapi melihatnya sudah lunglai di tanah gemetar ketakutan, matanya terpaku menatap belakang Han Sen, takut sampai tak berani bergerak, bola matanya membelalak penuh kengerian hingga batas maksimal.
"Sial, ada apa sih di belakangku ini?" Han Sen membuka sembilan gembok gen sekaligus, berbalik tubuh dengan cepat memasuki status pertempuran, sekali gus mengayunkan tinju ke arah belakang.
