Awalnya Han Sen mengira Bao'er yang menarik-narik rambutnya dari belakang, tapi setelah menyadari baru merasa tidak mungkin - Bao'er ada dalam pelukannya, mana mungkin bisa menarik rambut dari belakang.
Melihat reaksi Snowball yang ketakutan itu, kulit kepalanya langsung bergidik. Tahu situasi sudah genting, tinjunya langsung menghujam ke belakang sambil memutar badan, ingin melihat apa sebenarnya yang ada di balik punggungnya.
Tapi pukulan ini melayang begitu saja tanpa hambatan, tatapan mengarah ke puncak gunung yang sunyi sepi. Tak terlihat bayangan manusia maupun makhluk hidup lainnya.
Han Sen tertegun sejenak, namun segera berubah pucat. Dengan cepat ia mengangkat Bao'er tinggi-tinggi sambil berkata: "Bao'er, lihatlah apakah ada sesuatu di belakang Ayah?"
Han Sen menduga benda itu menempel di punggungnya dan bergerak serempak, sehingga ia tak bisa melihat wujud aslinya.
Bao'er merangkak mengitari kepala Han Sen sambil bersuara kecil manja: "Ayah, benar-benar tidak ada apa-apa."
"Tidak ada?" Han Sen mengernyit, menatap Snowball yang masih lunglai di tanah. Ia menyentakkan kaki ke arah makhluk itu: "Apa yang kau lihat tadi?"
Snowball masih gemetar ketakutan, bahkan gemetarnya sangat hebat. Ia mengulurkan cakar menunjuk ke arah menara kuno, baru kemudian seperti tersadar dari keterkejutannya, merangkak bangkit dengan cepat dan memanjat ke punggung Han Sen, bersembunyi di belakangnya bersama Bao'er sambil mengintip ke arah menara kuno.
Han Sen mengerutkan kening halus, matanya menatap ke arah menara kuno. Namun tak terlihat sesuatu yang aneh di sana - menara itu masih sama seperti sebelumnya, tanpa perubahan apa pun.
Tapi posisi Han Sen saat ini hanya bisa melihat satu sisi menara. Setelah berpikir sebentar, ia perlahan menggeser langkah, tidak mendekat melainkan berputar mengelilingi, berusaha memastikan apakah ada sesuatu di atas menara kuno itu.
Baru setengah putaran, tiba-tiba sorot mata Han Sen berkedip. Pintu kecil menara yang sebelumnya tertutup papan kayu lapuk berwarna abu-abu itu sekarang ternyata terbuka lebar.
Di balik pintu kayu itu, ternyata ada kerangka berwujud manusia yang sedang duduk bersila.
Sekarang Han Sen akhirnya paham kenapa pintu yang dibuka hanya selebar itu - rupanya bukan untuk dilewati manusia, melainkan disediakan untuk sang kerangka.
Kerangka itu duduk bersila dengan tinggi yang nyaris sejajar pintu kecil, memungkinkan sosoknya terlihat jelas sepenuhnya.
"Jangan-jangan tadi yang menarik rambutku dari belakang adalah makhluk ini?" Hati Han Sen berdesir, bulu kuduknya langsung merinding semua.
Han Sen sebenarnya tidak takut hantu. Di tempat perlindungan ini lebih banyak makhluk mutan yang jauh lebih mengerikan daripada hantu. Tapi jika benar benda ini tadi bisa mendekatinya diam-diam dan menarik rambutnya tanpa ia sadari sama sekali, itulah yang benar-benar menakutkan.
Saat Han Sen sedang berpikir, tiba-tiba kerangka itu bergerak. Snowball langsung ketakutan sampai tak berani melihat, menyelinap ke pelukan Bao'er.
Tubuh kerangka benar-benar mulai bergerak. Meski hanya terdiri dari tulang belulang, di tubuhnya masih ada sisa-sisa pakaian yang sudah lapuk. Gerakan ini membuat pakaian itu terkoyak, kerangka tulang pun mencuat dari retakan kain.
Kerangka itu mulai melangkah keluar dari pintu kecil. Di tubuhnya menjuntai sobekan-sobekan kain compang-camping. Dalam rongga mata kosongnya, berpendar nyala hijau seperti api hantu.
Han Sen tentu tidak takut pada kerangka tulang. Matanya menatap tajam ke arahnya, dan tiba-tiba ia menyadari: di tangan kerangka itu tergenggam suatu benda.
Benda itu tampak seperti gulungan lukisan yang dipegang erat oleh kerangka. Dari bagian yang terlihat, bahannya mirip kain kuno berwarna kekuningan yang sudah sangat tua.
Setelah keluar dari menara, kerangka itu tidak mendekati Han Sen. Alih-alih, ia mengangkat gulungan kuno di antara sepasang telapak tangan yang hanya tersisa tulang, lalu mulai membukanya perlahan.
Han Sen tidak bisa melihat apa yang ada di sisi depan gulungan. Di bagian belakang yang terlihat, gulungan itu berwarna kekuningan kusam dengan nuansa kuno, seolah telah melewati pencucian waktu yang tak terhitung, namun tetap utuh tanpa kehilangan sedikit pun meski usang.
Apa yang ada di sisi lain, Han Sen tidak tahu. Tapi kerangka itu menatap gulungan sambil membuka mulutnya seolah sedang melafalkan sesuatu. Bahkan Han Sen bisa mendengar suaranya yang ternyata tidak terisolasi oleh gunung aneh ini.
Kreek... kreek...
Namun pada akhirnya kerangka tetaplah kerangka. Gerak-geriknya yang mirip bicara justru menghasilkan bunyi benturan tulang rahang atas dan bawah yang terdengar sangat mengerikan.
Tapi dengan suara dentuman tulang yang dikeluarkan kerangka, gulungan kuno itu tiba-tiba memancarkan cahaya ungu yang berkilauan dan mistis seperti kabut ungu.
Han Sen langsung merasakan aura mengerikan yang meluap dari gulungan kuno itu. Tanpa basa-basi, dia berbalik dan langsung lari menuruni gunung. Dia tidak tahu kedalaman kekuatan kerangka ini, tidak mau gegabah bertarung.
Bagaimana jika itu Makhluk Dewa Super yang sedang mengamuk? Tidak lari berarti harus bertarung mati-matian.
Lagipula, begitu banyak makhluk mutan berkumpul di kaki gunung. Entah berapa banyak makhluk mengerikan yang sudah naik ke atas. Jika dia bertarung dengan kerangka itu, bukankah itu sama saja membiarkan makhluk lain mengambil keuntungan?
Han Sen yang biasa mencari keuntungan, mana mungkin mau dikalahkan orang lain. Dia langsung ingin menerjang turun gunung untuk menghindar. Arah yang ditujunya tepat ke medan perang dua monster raksasa. Dalam hatinya berhitung: jika kerangka itu mengejar, dia bisa mengalihkan masalah ke timur dengan memanfaatkan dua monster itu sebagai perisai.
Dor!
Han Sen yang hampir mencapai puncak gunung tiba-tiba menabrak dinding tak terlihat. Tubuhnya terhempas hingga seluruh tulang terasa mau remuk. Hidungnya penyok mengeluarkan darah.
Sambil menutup hidungnya, Han Sen melihat garis ungu terpancar mengelilingi puncak gunung. Sinar jingga ungu menyembur dari dalam garis itu, menyelubungi seluruh puncak bak mangkuk transparan raksasa berwarna ungu yang terbalik.
Saat menoleh ke arah menara kuno, kerangka itu masih menggenggam gulungan kuno terbuka sambil mengeluarkan suara 'krak-krak'. Cahaya ungu dari gulungan itu semakin terang berkilauan.
Han Sen tanpa basa-basi langsung memanggil Ksatria Pemberontak dan malaikat kecil, sambil menghunus Pedang Suci Phoenix dan pedang Tai A. Dengan satu sabetan pedang, ia menghantam kubah cahaya ungu yang terbentuk.
Denting! Dinding cahaya ungu terbelah oleh Pedang Suci Phoenix yang setengah bilahnya tertancap. Namun celah yang terbelah itu langsung dijahit kembali secepat kilat, hingga pedang pun terjepit di dalam.
Ekspresi Han Sen berubah drastis. Dengan susah payah ia menarik kembali pedangnya. Untunglah Pedang Suci Phoenix yang berat dan tajam itu berhasil membelah lagi cahaya ungu secara paksa.
Han Sen bertekad bulat. Kubah cahaya ini mengandung keanehan. Ia tak berani menabraknya sembarangan—bagaimana jika terjebak setengah jalan? Sungguh memilukan.
Karena tidak bisa menerobos keluar, Han Sen bertekad bulat, berniat membawa malaikat kecil mereka kembali untuk menghantam kerangka itu. Tiba-tiba dia menyadari cahaya ungu juga menyala di bawah kakinya.
Seluruh platform di puncak gunung, selain menara kuno itu, dipenuhi cahaya ungu. Bebatuan berubah seperti kristal ungu bercahaya.
